Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYIMPAN darah tali pusat sang buah hati kini menjadi tren di antara orang tua yang baru memiliki bayi. Sel punca (stem cell) dari darah tali pusat anak sewaktu-waktu dapat menjadi pengobatan mujarab ketika sakit. Selebritas seperti Indra Bekti, Indy Barends, dan Ashanty menyimpan darah tali pusat anak mereka sebagai investasi kesehatan di masa depan.
Tingginya minat masyarakat menyimpan darah tali pusat anak-anaknya itu seiring dengan kehadiran bank-bank sel punca di Indonesia, seperti Cellsafe, Babybanks, Cryocord, dan Stemcord. Biaya penyimpanan yang mereka tawarkan juga bervariasi, tergantung masa penyimpanan. Di Stemcord, misalnya, tarif penyimpanan tahunan ialah US$ 225 atau sekitar Rp 3 juta dengan opsi penyimpanan terlama 21 tahun, yang ongkosnya berkisar US$ 6.500 atau setara dengan Rp 86 juta. Kebanyakan dari bank sel punca itu baru melayani penyimpanan dari sumber darah tali pusat.
Di luar negeri, sumber sel yang disimpan di bank sel punca mulai bervariasi. Orang tua kini tertarik menyimpan pulpa gigi anak-anaknya sebagai sumber sel. Berdasarkan riset, sel punca yang diekstraksi dari pulpa suatu saat bisa menumbuhkan kembali gigi yang tanggal, bahkan berpotensi menyembuhkan beberapa penyakit.
Vinna Kurniawati Sugiaman, pakar biologi oral Universitas Kristen Maranatha Bandung, mengatakan penyimpanan sel punca dari pulpa gigi memang sedang menjadi tren di luar negeri sebagai alternatif pengobatan di masa depan. "Namun belum bisa dipastikan tren itu untuk kepentingan riset atau sudah masuk standar pengobatan," katanya saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.
Menurut kandidat doktor di Universitas Padjadjaran ini, sel punca yang diambil dari pulpa gigi perlu diteliti lebih jauh karena jumlah sel punca yang mungkin diperoleh dari pulpa gigi amat terbatas. Luas penampang jaringan yang kecil menjadi alasan. Luas penampang pulpa hanya 1 milimeter x 1 sentimeter.
Vinna kini justru sedang mengembangkan riset inovasi pengobatan gigi dari sel punca yang diambil dari jaringan lemak. Dia melakukan riset itu karena ketiadaan metode pengobatan kelainan dan kerusakan pulpa gigi. "Jika pulpa gigi seseorang rusak, satu-satunya cara mengobatinya ialah mematikan pulpa itu," dia berujar.
Riset Vinna kini sudah memasuki tahap uji pada hewan. Dia mematikan pulpa gigi seekor anjing (Canis lupus), lalu pulpa mati itu disuntik dengan sel punca yang dipanen dari jaringan lemak. "Sel di pulpa itu terlihat hidup lagi setelah sel punca masuk," tuturnya.
Vinna berharap risetnya memperkaya metode pengobatan dengan sel punca bagi gigi di masa depan. Sebab, menurut data Persatuan Dokter Gigi Indonesia, 75 persen atau sekitar 175 juta jiwa penduduk Indonesia punya riwayat sakit gigi.
Pemanfaatan sel punca pun kelak diperkirakan tak terbatas pada reparasi organ. Peneliti di Universitas Airlangga, Surabaya, sedang mengembangkan riset sel punca dengan memanfaatkan organ yang telah mati.
Dengan prinsip kerja sel punca yang memperbaiki sel-sel rusak, injeksi sel induk baru pada organ yang telah mati bakal menghidupkan lagi organ itu. Metode ini disebut replace. "Organ mati yang bisa bekerja kembali setelah diinjeksi sel punca langsung ditransplantasikan ke tubuh resipien," kata Ferdiansyah, Ketua Pusat Kedokteran Regeneratif dan Stem Cell Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-Rumah Sakit Dr Soetomo, Jumat pekan kedua April lalu.
Ferdiansyah, 53 tahun, menegaskan bahwa uji coba tersebut termasuk kemajuan berarti dalam pemanfaatan sel punca. Penyebabnya, sel yang mampu berubah menjadi berbagai jenis sel lain itu selama ini baru dimanfaatkan untuk pengobatan kulit, tulang, jantung, dan persendian.
Pengembangan metode replace baru sampai pada tahap uji prosedur transplantasi pada seekor babun (Papio hamadyras). Melalui rekayasa jaringan, sel asli pada ginjal babun yang mati diambil. "Sel-sel tersebut lalu disterilkan menggunakan alat khusus," ujar Ferdiansyah.
Pada saat bersamaan, peneliti mengambil sel punca dari ginjal seekor babun yang masih hidup. Sel tersebut lalu diinjeksikan ke ginjal yang mati. Organ yang semula tak berfungsi akhirnya bisa dihidupkan lagi.
Metode replace ini dikembangkan sebagai salah satu solusi minimnya jumlah donor organ. Akibatnya, angka kematian pasien yang membutuhkan transplantasi organ makin meningkat. "Minimnya donor organ terjadi di banyak negara dan sering kali kesulitan mendapatkan donor berakibat pada kematian pasien," kata Ferdiansyah, yang khusus mempelajari sel dan jaringan di National University of Singapore.
Riset sel punca yang memanfaatkan organ mati juga bisa memperpanjang harapan hidup pasien. Ferdiansyah optimistis penyakit yang tak dapat disembuhkan atau diobati secara memadai (terminal illness), seperti gagal ginjal, gagal jantung, dan sirosis, bisa diatasi dengan terapi replace ini.
Syarat utama agar metode ini sukses adalah sebisa mungkin donor dalam keadaan hidup. Sekalipun donor telah meninggal, sirkulasi sel dalam tubuhnya harus masih berjalan. Adanya sirkulasi sel dalam organ menandakan organ itu masih hidup sehingga layak ditransplantasikan ke tubuh resipien.
Ferdiansyah memastikan riset yang melibatkan organ yang telah mati tak berbenturan dengan etika kedokteran dan regulasi pemerintah. Soal pemanfaatan organ donor, pemerintah mengaturnya secara ketat, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014. Salah satu isinya menyebutkan pemanfaatan organ donor tak boleh mengabaikan norma agama, moral, dan etika. "Riset kami tetap dalam koridor etika," dia menjelaskan.
Purwati, Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, mengatakan riset sel punca yang makin progresif dan inovatif tak seharusnya membuat terapi ini kelak makin mahal. Pemerintah wajib membantu agar semua kelas masyarakat bisa mengaksesnya. "Bisa ditempuh jalur subsidi," ujarnya Selasa pekan lalu.
Memang terapi sel punca tak murah. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, harga satu sel Rp 1,2-1,5. Sementara itu, sekali suntik membutuhkan puluhan hingga ratusan juta sel, tergantung proporsi berat badan. Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengaku harus membayar Rp 30 juta sekali suntik sel punca. Dia menyebutkan ongkos terapi di luar negeri jauh lebih mahal, sekitar Rp 2,5 miliar untuk enam kali suntikan.
Tingginya ongkos pengobatan dengan sel punca, menurut Purwati, bisa disiasati dengan mendaftarkannya ke layanan yang ditanggung jaminan kesehatan nasional. Selain menekan biaya berobat, peserta jaminan sosial yang berasal dari semua kelas punya kesempatan menikmatinya. "Sebelum bisa terdaftar, pengobatan sel punca harus bisa membuktikan manfaat yang konsisten dan lebih signifikan dibanding metode pengobatan konvensional," Purwati menjelaskan.
Pengajar di Universitas Airlangga sekaligus anggota Asosiasi Sel Punca Indonesia itu optimistis beberapa penyakit, seperti osteoartritis (radang sendi) dan luka bakar, yang dapat diatasi dengan sel punca, bisa ditanggung jaminan kesehatan. "Penyakit-penyakit yang butuh satu kali suntik sel punca tak akan mahal," ujar Purwati.
Anggota Komite Pengembangan Sel Punca dan Rekayasa Jaringan Kementerian Kesehatan, Tubagus Djumhana Atmakusuma, mengatakan kemudahan akses pengobatan sel punca di masa depan saja tak cukup. Riset untuk menemukan sumber-sumber baru sel punca harus makin intensif.
Sayangnya, menurut dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu, dana riset khusus sel punca sangat terbatas. "Saya mendorong ada dermawan yang konsisten mendukung pendanaan riset sel punca agar pengobatan ini makin bermanfaat di Indonesia," kata Djumhana.
Raymundus Rikang, Artika Rachmi Farmita (surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo