Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim kemarau adalah mimpi buruk bagi Komang Eli Saputra, 18 tahun, pemuda Desa Tunjuk, Tabanan, Bali. Udara panas membuat kulitnya jadi bersisik. Mirip kulit ular. Gatalnya bukan main. Saban kali digaruk, seperti disaksikan Tempo pekan lalu, saban kali pula kulit pemuda ini mengelupas. Berdarah. ”Dia sudah menderita begini sejak bayi,” kata Ketut Suparlan, 49 tahun, ayah Eli Saputra.
Penyakit Eli, anak ketiga Ketut Suparlan, sudah terdeteksi pada hari ketujuh sejak dia dilahirkan. Kulit di sekujur tubuhnya memerah, mengeras, dan mengelupas. Bibir dan kulit di sekitar mata Eli pun tiba-tiba membengkak. ”Orang-orang bilang, ini balasan atas dosa-dosa saya di masa lalu,” kata Suparlan.
Dosa apa, masa lalu yang mana, pemilik bengkel motor ini sendiri tak mengerti. Yang jelas, semakin hari penyakit anaknya bertambah parah dan membuat dia terasing dari pergaulan.
Sekitar 100 kilometer timur laut dari tempat tinggal Eli, di Kabupaten Bangli, penyakit kulit bersisik serupa menyerang Ni Komang Gama. Gadis 14 tahun ini menyandang gejala itu sejak bayi.
Bagi kedua orang tua Gama, I Wayan Nomor dan Ni Nengah Astiti, situasi yang mereka hadapi bukanlah hal baru. Sebelumnya, kedua kakak Gama juga mengalami nasib sama. Namun keduanya tak sanggup bertahan hidup lama. Si sulung meninggal ketika berusia 27 hari, dan adiknya meninggal saat dia belum genap empat bulan.
Pasangan Nomor dan Astiti adalah saudara sepupu, orang tua mereka kakak-adik. Perkawinan antarsaudara dekat memang sering terjadi di desa-desa di Bali. Tak mungkin ada dampak buruk pada anak cucu, begitu keyakinan mereka. ”Buktinya, cuma anak kami yang seperti itu. Yang lain tidak,” kata Pak Nomor.
Gama pernah dibawa ke rumah sakit. Namun penjelasan teknis dari dokter tidak bisa dipahami. ”Yang saya ingat, dokter bilang penyakit anak saya belum ada obatnya,” katanya. Pak Nomor kemudian membawa Gama ke balian (dukun). Sayang, balian tak juga bisa berbuat banyak.
Masih di Bangli, mari bertemu dengan Komang Gentos, anak ketiga pasangan Wayan Wirawan dan Nengah Darmini. Semenjak tiga jam setelah lahir, kulit tubuh si bayi memerah, mengeras, dan kemudian mengelupas. Hal ini terus berulang dan berulang sampai kini Gentos sudah berumur delapan bulan.
Kecemasan meremuk orang tua Gentos. Mereka merasa tak berdaya, terlebih karena tak ada dana untuk berobat ke dokter. Kondisi Gentos yang memelas bahkan sempat membuat Wirawan ingin bunuh diri. Tapi senyum bocah ini juga yang mengurungkan niat pedagang kain keliling ini mengakhiri hidup.
Wirawan teringat kejadian sebelas tahun lalu. Seolah mengulang film lama, kulit sekujur tubuh anak pertamanya kala itu mengelupas. Jabang bayi ini hanya sanggup bertahan hidup 27 hari. Sedih menembus ulu hati. ”Sampai lima tahun saya tak berani punya anak lagi,” kata Wirawan, yang masih terikat tali saudara dengan Darmini—kedua kakek mereka saudara sekandung.
Takdir berkata lain. Pada 2000, anak kedua Wirawan-Darmini lahir. Tentu dengan iringan rasa waswas. Syukurlah, bayi perempuan yang diberi nama Kadek Daniasih ini tumbuh wajar. Tak terhingga kebahagiaan mereka menyaksikan kulit Daniasih sehat tanpa sisik. Mereka pun sepakat untuk memiliki anak ketiga. Eh, tak dinyana, tragedi datang untuk kedua kalinya. ”Kenapa sekarang anak ketiga saya seperti ini lagi?”
Segunung pertanyaan bukan hanya mengusik Wirawan. Di seantero Bali, tercatat 26 penderita kulit bersisik yang tersebar di tiga kabupaten, yaitu Bangli (10 orang), Tabanan (13 orang), dan Karangasem (3 orang). Hal serupa juga dikabarkan menimpa tiga anak di Probolinggo, Jawa Timur.
Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa kulit anak-anak ini justru menyakiti, bahkan membunuh diri mereka sendiri?
Pemeriksaan jaringan kulit pasien pun digelar tim dokter Rumah Sakit Tabanan, Bali. Hasilnya, bocah-bocah malang tadi didiagnosis menderita iktiosis—berasal dari kata ichtyo, dari bahasa Yunani, yang bermakna ikan.
Penyakit kulit bersisik ada berbagai jenis, demikian penjelasan dr AAGP Wiraguna, spesialis penyakit kulit dari RSUP Sanglah, Denpasar. Psoriasis dan eksema, contohnya, ditandai dengan gatal hebat dan kulit bersisik di area terbatas dengan pola berganti-ganti. Namun, pada iktiosis, kulit bersisik terjadi di hampir sekujur tubuh dan konsisten bertahun-tahun.
Iktiosis sendiri masuk kelompok genodermatosis. ”Penyakit kulit yang diturunkan secara genetis,” kata Wiraguna. Terjadi mutasi genetis—materi yang diwariskan orang tua kepada anak—yang mengganggu jaringan pendukung sistem kulit.
Seperti tercantum di www.ichtyosis.org.uk, sebagian penderita iktiosis mengalami mutasi pada gen pengatur produksi protein keratin. Sebagian pasien lain mengalami mutasi pada gen pengatur produksi lemak kulit. Berbagai jenis mutasi ini membuat lapisan kulit tumbuh cacat, kurang protein, tak cukup lemak, dan tak mampu menahan penguapan air dari tubuh.
Gejala iktiosis biasanya sudah muncul sejak lahir. Pada tahap ringan, disebut collodion baby, kulit si bayi tampak seperti dilapisi lem. Kondisi yang parah, disebut harlequin fetus, ditandai dengan kulit bersisik sangat tebal, pecah-pecah, mulut seperti ikan (eclabium), dan mata menonjol (ectropion).
Biasanya, penderita collodion baby dapat bertahan hidup lama. Seiring dengan pertambahan usia, sisik pada kulit berkurang meski tidak hilang total. Tapi, ”Penderita harlequin fetus lebih sering meninggal beberapa hari setelah lahir,” kata Wiraguna. Ini terjadi karena adanya gangguan metabolisme, kesulitan bernapas yang hebat, dan nyawa si bayi pun melayang.
Pada kasus Bali, ada benang merah yang layak disoroti. Hampir semua orang tua penderita iktiosis di sini memiliki pertalian darah. Seperti diketahui, perkawinan antarkerabat dekat memang cenderung berdampak negatif. Gen-gen resesif, yang bermutasi atau berkaitan dengan sifat-sifat lemah, berpeluang lebih besar untuk bersatu dan terwujud dalam berbagai penyakit. ”Termasuk iktiosis ini,” tutur Wiraguna.
Benar, perkawinan antarsaudara dekat tidak serta-merta menghasilkan anak iktiosis. Selalu ada kemungkinan gen resesif tidak diwariskan sehingga yang lahir adalah jabang bayi yang sehat walafiat.
Di Amerika, penyakit ini tercatat berpeluang pada satu dari 300 bayi lahir. Adapun di Inggris, peluang kejadiannya satu banding 250 bayi lahir. Bagi Indonesia, prevalensi iktiosis masih gelap karena masih lemahnya sistem pendataan kesehatan di negeri ini.
Lalu, adakah iktiosis bisa disembuhkan? Sayang, belum ada kabar gembira untuk soal ini. Dokter hanya sanggup membantu meringankan gejala pada pasien. Misalnya, dengan memberikan obat penghambat penguapan cairan kulit. ”Supaya kulit tidak gampang mengelupas,” kata Wiraguna.
Berbagai ikhtiar telah digelar. Pemerintah Daerah Tabanan, misalnya, telah mendatangkan tim dokter spesialis bedah plastik dari Rumah Sakit AiBee, Bogor, Jawa Barat. Tim yang dipimpin Prof Dr Tejo Handoyo ini akan menerapkan metode baru. Namanya terapi sel. Caranya, sel-sel kulit baru ditanam untuk mengganti sel kulit yang rusak.
Menurut Tejo Handoyo, metode ini akan mempercepat proses pembentukan sel kulit baru. Secara alamiah, sel kulit terkelupas dan berganti baru dalam tempo 30 hari. Nah, dengan terapi sel, proses pembentukan kulit dipercepat hingga hanya butuh waktu dua hari. ”Kalau ini berhasil, kulitnya akan segera membaik,” kata Tejo Handoyo.
Ongkos terapi ini lumayan mahal. Rp 20 juta untuk sekali terapi. Agar sembuh total, setiap pasien harus mengikuti empat kali terapi. Sementara ini, pemerintah Tabanan menanggung seluruh biaya pengobatan meskipun dirasa cukup berat. ”Kami sudah mengirim surat ke Menteri Kesehatan. Mudah-mudahan mendapat perhatian,” kata Bupati Tabanan Wiryatama.
Namun, bukan soal dana saja yang jadi sorotan. Terapi sel ala Tejo Handoyo masih dipertanyakan para ahli, termasuk Wiraguna. ”Ini kan metode baru. Harus jelas dulu, apa dampaknya, siapa saja yang boleh melakukannya,” demikian serentet pertanyaan dokter spesialis kulit itu. Prosedur keamanan memang mutlak diuji dan dipertanyakan secara ketat. ”Manusia kan bukan binatang percobaan,” katanya.
Bagaimanapun, langkah terus diayun. Dua pekan lalu, 13 pasien iktiosis di Tabanan sudah menjalani terapi sel. Belum banyak kemajuan dilaporkan seusai terapi awal ini. Tejo Handoyo sendiri tidak risau dengan keraguan atas metode yang dikembangkannya. ”Silakan kalau dokter di sini belum bisa menerima,” katanya, ”Saya tetap menghormati.”
Suseno, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo