Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Babak Kedua Yudhoyono-Kalla

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eep Saefulloh Fatah
  • Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

    Duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla sesungguhnya mempertemukan dua karakter yang tidak hanya menarik, tetapi juga menjanjikan.

    Betapa tidak? Seorang intelektual tentara bersua dengan saudagar. Seorang yang terbiasa berpikir besar berjumpa dengan seorang yang terbiasa bertindak cepat. Seorang normatif bertemu dengan seorang pragmatis tulen. Penghindar konflik bersekutu dengan pengambil risiko. Seorang yang senang teramankan birokrasi berkolaborasi dengan penyiasat birokrasi. Seorang yang cenderung hati-hati ketimbang sigap bergandeng tangan dengan seorang sigap yang kurang hati-hati. Seorang yang cenderung berorientasi populis bekerja bersama seorang yang lebih berorientasi teknokratis.

    Manakala kedua karakter itu saling tambal, saling sokong, maka yang potensial terbangun adalah duet kepemimpinan yang saling melengkapi, menggenapi, menguatkan. Inilah potensi keunggulan terpenting Yudhoyono-Kalla.

    Tapi, celakanya, itu pulalah potensi kelemahan terbesar mereka. Manakala masing-masing karakter itu tak saling bertemu dan melebur, yang potensial terbangun justru akumulasi sisi negatif masing-masing. Hasil akhirnya: kepemimpinan yang tak hati-hati dan tak sigap dengan orientasi kebijakan tak populis minus pertimbangan teknokratis yang terjaga-saksama.

    Inilah duet yang berpotensi sukses secara mengesankan atau terancam gagal secara menyakitkan. Manakala sukses, mereka akan dikenang sebagai dwitunggal modern Indonesia dan sangat boleh jadi diganjar dengan termin kedua, 2009-2014. Manakala gagal, mereka pecah bersimpang jalan dan bakal menerima hukuman kejam dari para pemilih Pemilu 2009.

    Sukses atau gagalkah yang lebih terbuka? Jawabannya sangat bergantung pada kemampuan keduanya berbaku-padu melalui proses komunikasi dan negosiasi untuk menyepadankan langkah. Semakin tinggi kemampuan baku-padu, jalan menuju sukses makin terbuka. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan itu, jalan menuju gagal terbuka lebar.

    Maka, perjalanan duet ini sejak terpilih hingga entah kapan, sejatinya adalah penyiasatan titik temu dan titik pecah. Semakin pandai mereka bersiasat, titik pecah terkendalikan, titik temu teroptimalkan. Jika tak pandai bersiasat, titik pecah menenggelamkan titik temu. Duet tergelincir menjadi duel.

    Dalam kerangka itu, hubungan Yudhoyono-Kalla sepanjang 2004-2009 adalah permainan siasat dalam tiga babak. Mengemukanya konflik Yudhoyono versus Kalla di seputar pendirian Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) menandai berakhirnya babak pertama, dan babak kedua sedang berlangsung.

    Babak pertama terjadi pada masa-masa awal pemerintahan ketika keduanya berusaha menjaga citra bahwa pemerintahan solid, kompak, dan berjalan ke alamat dan lewat trayek yang sama. Dalam babak ini, segenap analisis mengenai perbedaan dan potensi konflik di antara keduanya ditepis sebagai rumor. Ketika tanda-tanda konflik menyeruak, keduanya melakukan pendekatan personal untuk menepisnya: bertemu, berbicara akrab, baku senyum, lalu berikrar di depan wartawan, ”Hubungan kami baik-baik saja, kok.”

    Potensi konflik ditutup dengan menjaga dan merekayasa citra personal. Cara ini hanya efektif dalam jangka pendek. Proyek ”jaim” alias ”jaga imej” personal ini hanya bisa bekerja di masa-masa awal, ketika keduanya sedang menyamakan nada dasar, mengkonsolidasikan pemerintahan, dan membangun fondasi politik. Di babak ini, kebutuhan konsolidasi internal dan pembentukan citra diri menjadi titik temu yang menenggelamkan titik pecah.

    Tapi, cerita berbeda di babak kedua. ”Kerukunan personal” digeser ”perbedaan pandangan dan orientasi kebijakan”. Konflik-konflik yang awalnya bisa ditepis sebagai rumor, menegas dan mengemuka, lalu terlihat publik secara telanjang. Kebebasan pers telah menyebabkan perbedaan pandangan dan sikap di antara keduanya—serta aktor dan kelompok politik maupun semu-politik di sekitar mereka—terhidang sebagai menu sarapan, makan siang, dan makan malam orang banyak.

    Pada titik itulah debat soal UKP3R kita letakkan. Untuk pertama kali, konflik di antara keduanya tampil telanjang. Media tidak hanya beroleh kutipan juru bicara dan orang-orang di seputar mereka, tapi juga kutipan langsung dari keduanya. Sekalipun argumen dan kontra-argumen tak dipajang berdampingan, siapa pun tahu bahwa baku argumen dan saling berbalas pantun telah dan tengah terjadi.

    Tak ada penjelasan sederhana mengenai konflik terbuka Yudhoyono-Kalla dalam isu UKP3R ini. Tetapi, penjelasan mendasar atasnya mau tak mau melibatkan variabel rumitnya pencampuran sistem pemilu proporsional, sistem multipartai, pemilihan langsung presiden-wapres dalam sistem ”presidensialisme kikuk”, serta reformasi birokrasi yang gagap selepas Orde Baru.

    Pemberian bobot kuasa besar kepada DPR bertemu dengan fragmentasi kekuatan politik di dalamnya yang diproduksi melalui campuran sistem multipartai dan pemilu proporsional. Presiden-wapres hasil pilihan langsung pun mau tak mau melakukan kohabitasi: memperbesar dan memperkuat kaki pemerintahan di DPR melalui koalisi partai-partai penyokong pemerintahan.

    Dalam konteks itu, kemenangan Kalla dalam Munas VII Partai Golkar tahun 2005 mempermulus hubungan pemerintah-DPR sekaligus memperumit hubungan Yudhoyono-Kalla. Wapres yang—seperti Presiden—merupakan hasil pilihan langsung, memperkuat kakinya lewat penguasaan Golkar.

    Fakta itulah yang bertemu dengan presidensialisme-kikuk, sebuah pilihan ambigu antara presidensialisme dan parlementarianisme. Hasilnya: Presiden berkecenderungan mengoptimalkan dimensi presidensialisme untuk memfasilitasi penguatan dirinya, sementara Wapres memanfaatkan celah-celah parlementarianisme dengan memelihara sebuah ”segi tiga pengaman”. Segi tiga (Wapres-Partai Golkar-Pre-siden) inilah yang menjadi senjata Kalla menentang Yudhoyono dalam isu UKP3R.

    Kompleksitas di atas diperumit oleh reformasi birokrasi yang gagap dalam lembaga kepresidenan. Tata kelola ”Kantor Eksekutif Presiden” belum juga terlihat bentuknya hingga sekarang, setelah keduanya berkuasa dua tahun lebih. Bahkan, sejak kemunduran Soeharto di ujung Mei 1998, urusan penting dan genting ini memang terabaikan.

    Sebetulnya, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, penataan ulang Kantor Eksekutif Presiden pernah dirancang. Sekretariat Negara hendak direposisi dan dikurangi kekuasaannya sebagai superbirokrasi dalam kabinet, lalu difungsikan sebagai sekretariat bagi fungsi-fungsi kenegaraan dan lembaga asistensi bagi kepala negara. Sementara itu, beberapa fungsi kesekretariatan pemerintahan hendak diberdayakan dengan antara lain kehadiran semacam ”Kepala Staf Kantor Eksekutif Presiden”, langsung di bawah presiden sebagai ”kepala kantor”-nya.

    Untuk keperluan itu, beberapa diskusi terbatas dan lokakarya sudah diadakan. Bahkan, beberapa mantan Kepala Staf Kantor Eksekutif Presiden dari beberapa negara (seperti mantan kepala staf-nya Presiden AS Jimmy Carter dan Presiden Peru) sudah diundang dan diajak berdiskusi mengenai kemungkinan penataan ulang itu. Tapi, sejarah mencatat bahwa upaya semacam itu tak berlanjut secara produktif hingga sekarang.

    Akhirnya, terlepas dari perbedaan partai dan kepentingan di antara Yudhoyono dan Kalla (yang akan menegas dalam babak ketiga hubungan mereka, menjelang akhir termin pemerintahan mereka nanti), ada baiknya Presiden dan Wapres segera mengintensifkan pembicaraan mengenai rancang bangun dan tata kelola Kantor Eksekutif Presiden. Targetnya: membangun sistem kelola baru yang mengintegrasikan Istana Presiden dan Wapres beserta perangkat-perangkat kerja di dalamnya dalam satu institusi yang padu.

    Jika itu dikerjakan, orang banyak tak akan terlalu dibuat risau oleh perbedaan dan konflik manusiawi di antara Presiden dan Wapres. Sebab, orang tahu bahwa di seputar keduanya tetap tersedia sebuah institusi birokrasi yang bekerja efektif dan produktif untuk kemaslahatan orang banyak.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus