Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika MPR semakin bulat menggelar sidang istimewa, Presiden Abdurrahman Wahid justru berkukuh bahwa dirinya akan tetap tinggal di Istana. Seorang tokoh Partai Kebangkitan Bangsa menyatakan bahwa segala sumber kekuatan yang masih tersisa akan dikerahkan habis-habisan. Presiden bahkan telah menyiapkan dekrit keadaan darurat, yang segera diumumkan.
Dalam pertemuan dengan pimpinan PKB di Istana, Gus Dur berulang kali menyebut ihwal dekrit itu. Hal yang didukung penuh oleh jajaran pimpinan partai itu. Presiden Abdurrahman juga masih menunggu hasil pertemuan 5.000 ulama NU di Pondok Pesantren Asshidiqiyah, milik KH Noer Iskandar Sq. di Tangerang, untuk mengambil langkah selanjutnya.
Gus Dur memang tidak mengakui keabsahan sidang istimewa itu. Maka, kata Rodjil Gufron dari PKB, apa pun keputusan Majelis, Gus Dur bakal tetap di Istana. Ia malah mengingatkan bahwa sidang tersebut, jika jadi menjatuhkan bosnya, bakal menghasilkan dualisme kepemimpinan nasional. ”Akan ada presiden kembar,” kata Rodjil.
Gus Dur akhirnya jatuh, dan tidak ada presiden kembar. Kini, setelah lima tahun berselang, wacana dualisme kepemimpinan kembali mengemuka meski dalam kondisi yang sangat berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sebagai pemimpin yang harus berkompromi dengan wakilnya, Jusuf Kalla, untuk mengambil setiap keputusan penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo