Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kola dan Tulang Keropos
Siang panas terik, menenggak minuman bersoda dingin pasti nikmat. Tapi, hati-hati, kelewat banyak minuman ringan, terutama jenis kola, berisiko menggerogoti tulang. Efek ini lebih nyata pada perempuan ketimbang laki-laki. Begitulah hasil riset yang dilaporkan American Journal of Clinical Nutrition edisi terbaru.
Penelitian digelar oleh tim yang dipimpin Katherine Tucker, ahli epidemiologi dan nutrisi dari Universitas Tufts, New York, AS. Mereka mengamati 2.500 responden perempuan berusia sedikit di bawah 60 tahun. Riset dilakukan di sebuah klinik bernama Framingham Osteoporosis Study. Kepadatan tulang responden, yakni di pinggul dan tulang belakang, diukur secara periodik.
Tucker menyimpulkan, responden yang minum kola saban hari terbukti memiliki kepadatan tulang yang lebih rendah empat persen dibanding mereka yang minum kola sekali sepekan. Memang, hanya 4 persen. Tapi, ”Ini angka yang signifikan jika kita bicara tentang kepadatan tulang,” kata Tucker.
Lebih lanjut, Tucker menjelaskan, efek kola terhadap pengeroposan tulang hanya terjadi pada wanita. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan mekanisme hormonal yang berbeda.
Mone Zaidi, Direktur Program Tulang di Mount Sinai School of Medicine, New York, mendukung hasil penelitian Tucker. Kafein yang terkandung dalam kola, menurut Zaidi, mengganggu penyerapan kalsium sehingga pembentukan mineral tulang jadi terhambat. Walhasil, kata Zaidi, ”Jika ingin menghindari osteoporosis, ada baiknya Anda mengurangi kebiasaan minum kola sedari muda usia.”
Pedang Baru buat Kanker
Telah terbit harapan baru bagi penderita kanker. Jason Cheney dari JG Brown Cancer Center, Kentucky, AS, menyuguhkan hasil riset tentang pendekatan anyar penanganan kanker. Presentasi digelar dalam sebuah kongres tentang kanker di Praha, Republik Cek, seperti dilaporkan Reuters Health, pekan lalu.
Selama ini kanker dilawan dengan kemoterapi, yakni membanjiri tubuh pasien dengan pembunuh kanker dosis tinggi. Semua sel—baik dan jahat—ditumpas habis tanpa kecuali, termasuk sistem kekebalan tubuh.
Cheney mengawali jurusnya dengan menggebuk sel pengatur T. Ini sekelompok sel yang kerjanya menghalau sistem kekebalan tubuh ketika kanker berbiak. Dengan membuat kawanan sel T lemah, sistem imun tetap bisa bekerja aktif untuk melawan kanker. ”Ini pendekatan baru yang menjanjikan,” demikian komentar Alexander Eggermont, ahli bedah onkologi di Universitas Rotterdam, Belanda, salah seorang pemimpin kongres.
Memang, riset Cheney masih sangat dini. Tujuh pasien dengan kanker kulit tahap akhir diberi obat kombinasi racun difteria dan interleukin 2. Gabungan obat inilah yang secara spesifik menghantam aksi gerombolan sel T. Berikutnya, setelah sel T ambruk, tubuh dengan sendirinya mengaktifkan barisan sistem imun untuk melawan kanker.
Sejauh ini eksperimen Cheney cukup berhasil. Lima dari tujuh pasien kanker kulit yang dia tangani berangsur membaik. Kanker pada kulit mereka berkurang signifikan atau paling tidak stabil.
Para ahli menyambut gembira pendekatan Cheney. ”Sebuah tonggak baru yang akan mengubah penanganan kanker masa depan,” demikian pujian Anna Pavlick, ahli kanker dari Universitas New York.
Perokok dan Bayi Tabung
Telah lama merokok diketahui mengganggu kesuburan. Kali ini datang lagi bukti tentang hal tersebut. Perempuan perokok terbukti lebih sulit mencapai sukses menjalani program bayi tabung atau IVF (in-vitro fertilization).
Adalah Sergio Soares dari klinik bayi tabung di Lisabon, Portugal, yang melakukan penelitian tentang perempuan perokok dan bayi tabung. Bersama sekelompok ilmuwan, Soares membandingkan tingkat kesuksesan program bayi tabung pada dua grup responden. Kelompok pertama, 44 wanita perokok berat yang mengisap lebih dari 10 batang rokok sehari. Grup kedua adalah 785 wanita yang bukan perokok atau tergolong perokok ringan.
Hasilnya, seperti dilaporkan dalam jurnal Human Reproduction yang dikutip Reuters Health pekan lalu, perempuan perokok berat lebih sulit menerima embrio yang ditanam dalam rahim. Tingkat kehamilan kelompok ini hanya 31,4 persen. Bandingkan dengan tingkat kesuksesan pada grup bukan perokok yang mencapai 52,2 persen.
Soares belum dapat memastikan apa persisnya komponen dalam rokok yang menghalangi suksesnya penanaman embrio. Menurut dia, perlu dilakukan studi lanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo