Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Pramuka adalah sarana pendidikan yang memiliki tujuan utama sebagai pembentuk kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia.
Namun, belakangan ini terjadi fenomena bahwa minat pelajar dan mahasiswa atau Generasi Milenial juga Generasi Z untuk mengikuti Pramuka semakin berkurang.
Hal ini dibuktikan dengan anjloknya data keanggotaan di golongan penegak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Data Laporan Kwartir Daerah (Kwarda) ke Kwartir Nasional (Kwarnas) yang dirilis pada akhir 2021, menunjukkan bahwa jumlah peserta didik sekitar 24 juta. Terdiri atas Pramuka siaga sebanyak 8,8 juta dan penggalang 11,2 juta. Sementara itu, untuk pramuka penegak hanya 3,7 juta saja dan pandega 162 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sebelumnya sudah kecewa akan fenomena ini. Menurutnya, berkurangnya minat pelajar dan mahasiswa mengikuti pramuka terjadi karena metodologi dan kegiatan yang sudah usang.
“Metodologi dan bentuk kegiatan yang kurang sesuai dengan perkembangan anak muda di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi,” ujar SBY saat pidato di Bumi Perkemahan Cibubur, 14 Agustus 2016 lalu.
Selanjutnya : Presiden SBY, selaku Majelis Pembimbing Nasional Pramuka...
Presiden Yudhoyono, selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional Pramuka saat itu lalu melakukan evaluasi dengan merevitalisasi sejumlah Undang-Undang tentang Gerakan Pramuka dan Kurikulum Pendidikan. Namun, hingga saat ini, nyatanya usaha itu tidak cukup berhasil untuk mengoptimalkan gerakan pramuka agar menarik minat generasi muda.
Menurut Sekretaris Komisi Komunikasi dan Informasi Kwarnas Gerakan Pramuka, Untung Widyanto, salah satu penyebab lainnya adalah materi latihan dan kegiatan pramuka tidak menarik minat anak muda sekarang.
Materi keterampilan kepramukaan masih mendominasi. Misalnya, tali temali, semaphore, yel-yel, dan lain sebagainya.
“Bayangkan, di gudep SMP, materi keterampilan kepramukaan yang tradisional masih mendominasi. Pun di tingkat SMA dengan penambahan materi pengenalan kompas, pionering, sandi, survival, yel-yel, sejarah pramuka dan keterampilan lainnya,” tulis Widyanto dikutip TEMPO dari penelitiannya berjudul Pramuka Saatnya Kembali ke Kithah dalam Majalah Tenda Edisi 1/2021.
Selain itu, Widyanto juga menyoroti masalah birokratisasi di kwartir, terutama gudep. Dia memaparkan, dari 250 ribu Gudep di seluruh Indonesia, di lapangan ternyata tidak banyak yang aktif.
Sehingga, menyebabkan keterbatasan tenaga pendidik. Masalah di gudep dan tenaga pendidik Pramuka, kata Widyanto, tidak lepas dari lemahnya kepemimpinan, kebijakan dan pengorganisasian oleh kwartir
HARIS SETYAWAN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.