WAKTU anjing dilemparkan ke angkasa luar dalam pesawat antariksa
perkumpulan penyayang binatang di negeri-negeri Barat pada
protes. Kalau anjing itu diganti dengan buaya, mungkin dari
Indonesia akan ada juga yang protes -- mungkin. Siapa tahu orang
yang bernama Lukman Arifin atau Mariono Santoso. Siapakah
beliau-beliau ini?
Lukman seorang pawang buaya berusia 57 tahun. Tahun 60-an, ia
mengaku, ia memiliki paling tidak 3 ribu ekor buaya sebesar
tokek. Sekarang jumlah itu tumbuh susut menjadi sekitar 5 sampai
7 ratus. Tapi di antaranya-ada buaya bernama si Bongkok yang
berusia jalan 19 tahun. Sedangkan Mariono, lelaki usia 44 tahun,
hanya memiliki sepasang buaya yang kini baru berusia 6 tahun.
Kedua orang ini adalah sebagian dari warganegara kita di Jakarta
yang memiliki pekerjaan ada-ada.
Pada awalnya, buaya Mariono yang tinggal di Jalan Surabaya itu,
juga kecil seperti tokek. Ia mendapatkannya sebagai oleh-oleh
dari seorang kawan yang memasuki hutan Palembang. Rasa iseng
untuk mendapat jenis binatang yang agak lain -- ia seorang
penyayang binatang -- mendadak menjadi rasa sayang, setelah
menggauli buaya itu bertahun-tahun.
Reptil yang bentuknya primitif itu pada awalnya hanya disuapi
udang dan serangga. Setelah beranjak besar, ia makan 1 Kg
bandeng. Lalu Mariono mendapat pelajaran bahwa: binatang itu
tidak makan setiap hari, tapi semingu dua kali. "Buaya ini
binatang yang anteng (tenang). Dia jinak dengan siapa yang kasih
dia makan. Tapi dikasih daging busuk atau sedikit bau saja ia
tidak mau, apalagi bangkai."
Perkawinan
Mariono pernah mendapat tawaran dari kebun binatang: menukar
kedua buaya itu dengan binatang lain. Tapi Mariono tidak sudi.
Entah karena tokek-tokek itu sudah tumbuh dengan pesat: yang
jantan panjangnya sudah 3,5 meter, sedang yang betina, 2,5
meter. Harganya bisa menjadi ratusan ribu, kalau dinilal dengan
uang.
Mariono memang penasaran juga: setelah 6 tahun merawat, ia ingin
tahu bagaimana binatang itu berkembang biak. Menurut buku-buku
yang menyibak soal buaya, perkawinan bisa terjadi sesudah buaya
berusia 15-20 tahun. Cukup lama juga, tapi penyayang binatang
ini sudah bertekad untuk mcnunggu. "Biar apa pun, kalau ada yang
mau membeli saya tidak mau. Sebab pasti akan dibunuh, untuk
diambil kulit dan sebagainya. Kasihan!", kata Mariono kepada
Linda Djalil dari TEMPO.
Memang kesenangan orang macam-macam. Tidak kurang separuh dari
700 meter persegi tanah yang dihuni Mariono, sudah dijadikannya
milik binatang. Di sana, di samping buaya, ada burung, kera,
anjing-anjing serta ayam Madura.
Bayangkan berapa besar biaya yang harus disisihkan setiap bulan.
Padahal pegawai PN Gas ini memiliki tanggungan 7 orang anak.
Tapi sama sekali ternakternaknya itu tak nampak sebagai beban.
Mungkin karena seluruh keluarga sudah kompak. Meskipun meruap
bau tak sedap dari kandang ayam Madura, tapi kokoknya yang
panjang setiap pagi sudah menjadi sebagian dari kegembiraan
keluarga itu.
Mariono merawat dengan telaten. Anak-anaknya semua ikut sibuk
setiap pagi mengurus makanan penghuni kebun binatang keluarga
itu. Mariono akanberdiri di dekat kandang dengan tongkatnya. Ia
selalu memanggil binatang itu dengan bunyi: sst, sst, atau ck,
ck. Lalu mengetok-ngetokkan tongkat ke tanah di samping kolam
yang terdapat dalam kandang. Sampai sekarang kedua buaya itu
masih patuh dan lucu.
Kecuali kalau sedang benar-benar kelaparan, ia berbahaya: bisa
ngamuk kalau didekati. Tapi kepatuhan makhluk yang keras dan
biadab itu barangkali sebagian dari imbalan yang membuat Mariono
tidak menghitung-hitung biaya. Kesenangan semacam itu juga
didapatkannya dari burung-burungnya yang sering hinggap di
bahunya berjamjam sementara bekerja -- atau yang dengan setianya
menunggu ia tidur di samping bantal.
Buaya Irian
Berbeda dengan Mariono, awal cinta Lukman Arifin pada buaya
adalah pembunuhan. Ngeri tidak? Lelaki berdarah kuning ini
adalah menantu Tjie Hwatlong, seorang pengusaha kulit buaya,
ular dan biawak. Awalnya ia seorang sopir truk dan oplet -
maklum pendidikannya hanya SD. Di rumah mertuanya ia banyak
bergaul dengan pawang-pawang buaya. Sekali peristiwa, di tahun
1950, ia ikut berburu buaya di rawa-rawa Lampung. Menurut
pengakuannya kepada Klarawijaya dari TEMPO, berapa kali ia ikut,
beberapa kali pula ia sakit. Betapa tidak. buaya itu ternyata
begitu gagah--berapa kali saja ditombak masih saja mampu
menggelepar. "Melihat itu saya panas dingin," tutur Lukman.
Setelah terbiasa, ia menjadi ieorang pawang juga pada akhirnya.
Ia sanggup menyarangkan dengan telak tombaknya yang runcing ke
sasaran, atau menlancing dengan kail model jangkar yang terbua
dari baja ukuran kelinglcing. Lukman menjadi seorang pembunuh
buaya. Besar, kecil, sedang, ia sikat terus derni perdagangan
kulit buaya. Bayangkan: di tahun itu satu meter kulit buaya laku
sampai 20 atau 30 ribu rupiah. Harga sekarang sudah mencapai Rp
120 ribu.
Tak puas hanya jadi orang kedua, Arifin memproses sendiri
hasil-hasil pembunuhan itu. Kulitnya dimasak, langsung dijadikan
tas atau ikat pinggang. Tapi sayang sekali dalam pemasaran ia
mendapat kesulitan. "Sistim konsinyasi membuat saya mati,"
ungkapnya mengenang kegagalan usaha itu. Banyak barangnya yang
dibawa pedagang tidak terjual. Barang-barang itu kembali, lantas
tidak ada gunanya sama sekali. Nasib inilah yang kemudian
menghantarkan Lukman dari seorang pembunuh menjadi penyayang
buaya.
Lukman tinggal di Bandengan Utara, terjepit di kompleks
dagang yang memiliki banyak pabrik. Dalam areal tanah seluas
5000 MÿFD ia membangun sebuah kompleks yang dinamakannya 'Taman
Buaya'. Barangkali taman satu-satunya di Indonesia ini yang
berhasil menghadapi ratusan buaya bertahun-tahun.
Binatang-binatang ini ditempatkan dalam kandang-kandang yang
masing-masing memiliki kolam. Mereka bergelimpangan bagai
balok-balok yang tua dan malas. Di antaranya ada yang berasal
dari Irian Barat. Masih muda, tetapi jelas memperlihatkan
ciri-ciri yang berbeda dari buaya kepulauan lainnya. Ia
memiliki mata dan kulit yang lebih hitam.
Alligator
"Yang besar-besar itu yang disebut crocodile. Usianya, bisa
mencapai 150 tahun," tutur Lukman. Kemudian ia menunjuk ke
kandang yang lebih kecil. Di sana puluhan ekor buaya yang
masih muda tampak memiliki moncong yang lebih runcing.
Warnanya kecoklatan. "Ini yang dinamakan orang alligator,
usianya mencapai 200 tahun. Buaya ini jauh lehih bandel
dari crocodille. tidak bisa diat~ur~."~
Lukman yang bicara tentang buaya seperti bicara tentang
anak-anaknya, juga menceritakan betapa binatang yang hidupnya
bertumpukan itu memang tak selamanya bisa rukun. Sering ada
perkelahian. "Kalau itu terjadi di kandang si Bongkok, maka
begitu dia lewat, buayabuaya itu berhenti berkelahi. Kalau di
kandang yang lain ya dipisah dengan teguran-teguran - kalau dia
dengar, sebab buaya tidak punya kuping!"
Kompleks Lukman terbagi dalam 9 buah kandang. Termasuk kandang
ular, biawak dan sebuah tempat untuk atraksi. Tiap hari air di
masing-masing kolam harus diganti dengan air dari sumur pompa.
Untuk ini Lukman dibantu oleh 4 pawang lain. Kalau musim hujan
datang, kewaspadaan ditingkatkan - karena saudara-saudara buaya
ini cenderung gemar bercanda, dan canda tersebut bisa berubah
jadi perkelahiam Kalau perkelahian seru, seekor buaya bisa
terlontar keluar kandan. Ini berbahaya.
Lebih-lebih karena kompleks tersebut disewakan untuk para
pengunjung. Mereka membayar Rp 100 per kepala pada hari-hari
biasa, dan Rp 250 di hari Minggu. Hasil karcis inilah yang
dijadikannya modal untuk menyediakan minimal 700 Kg ikan sekali
makan. Itu berarti Rp 40 ribu. "Memang dapat ditutup dari
pengunjung, tapi pas-pasan," kata Lukman. Mungkin itu sebabnya
setiap hari linggu diadakan atraksi dengan buaya dan ular
dengan bayaran lebih. Lukman juga mengusahakan sebuah restoran
yang melayani orang yang doyan makan sate biawak dan ular - di
samping ngobyek jadi calo jual beli rumah.
Lukman menolak keras anggapan bahwa ia telah mengkomersiilkan
buayanya. Ia mengaku sejak 20 tahun yang lalu berniat membuka
Taman Buaya. "Untuk kepentingan pariwisata Indonesia," katanya
dengan gagah. DKI Jaya memang telah mengandung maksud untuk
membantunya dengan sebuah tempat khusus di Proyek Otorita Pluit.
"Tapi betapa pun untuk pelaksanaannya nanti saya tak mau join,"
katanya dengan tegas.
Kecintaannya pada buaya menular juga pada pawang-pawang lainnya.
Salah seorang asistennya dengan sungguhsungguh menyatakan memang
tidak dijanjikan masa depan apa-apa oleh buayabuaya itu. "Tapi
saya merasa senang sekali memelihara binatang yang dirawat
sejak kecil itu dan dapat berkembang biak. Saya asik melihat
pertumbuhannya dari hari ke hari. Apalagi ini satusatunya
sekarang di Indonesia," katanya sambil melirik ke arah si
Bongkok.
Sebagai pawang yang juga menyelenggarakan atraksi main-main
dengan buaya, Lukman punya sejumlah pantangan. "Pokoknya tidak
boleh zina. Kalau mau kawin-kawinlah. Sekali main perempuan bisa
celaka," ujarnya. Salah seorang asistennya yang bernama Arsad
disabet buaya Nopember yang lalu. Tapi ini bukan akibat zina
melainkan karena kurang konsentrasi.
Waktu itu ada berita isteri Arifin sakit keras, sehingga
orang-orang memang sedikit lengah. Dan buaya ternyata selalu
galak. Tampangnya saja yang lesu seperti orang stoned, tapi
reaksinya amat cepat. Kalau ia mengamuk tembok beton setebal 10
Cm bisa digebraknya hancur. "Itulah sebabnya saya keberatan
menyerahkan piaraan saya kepada orang lain. Khawatir mereka tak
sanggup memeliharanya," ujar Lukman.
Usaha Lukman mengembang-biakkan buaya, setelah memeliharanya
sekian tahun, baru dimulai September lalu. Pada sebuah kolam ia
membuat lubang-lubang yang saling berhubungan. Buaya-buaya yang
sudah bertelur dikasih tanda merah sedikit di moncong. Pada masa
perkawinan buaya betina biasanya menguak untuk memanggil
jantannya. Praktek perkawinan kemudian berlangsung di bawah air.
Pertengkaran juga bisa terjadi di sini. Dan kalau buaya
bertengkar, menurut seorang asisten Arifin, mereka tidak akan
berhenti kalau salah satu belum kalah. Dan kalah berarti lari.
Dan lari berarti salah satu bagian tubuhnya sobek. Seringkali
kepala. Karenanya tak jarang ada buaya yang sakit saraf atau
Begar otak. Biasanya yang sakit ini lalu putar-putar terus,
kubak-kubek di air dan lumpur.
Jadi buaya juga bisa sakit. Dan kalau ini terjadi, apa yang
harus dilakukan? "Ya diobati," jawab Lukman. Diobati dengan apa?
Lukman mengangguk-angguk tenang lalu berkata: "Yah biasa, paling
super tetra."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini