Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Awal cinta pada buaya

Kisah penyayang dan pawang buaya di jalan surabaya dan bandengan utara jakarta. mariono mulanya hanya iseng merawat binatang yang agak lain ini. sedang lukman arifin dulunya pembunuh binatang itu.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU anjing dilemparkan ke angkasa luar dalam pesawat antariksa perkumpulan penyayang binatang di negeri-negeri Barat pada protes. Kalau anjing itu diganti dengan buaya, mungkin dari Indonesia akan ada juga yang protes -- mungkin. Siapa tahu orang yang bernama Lukman Arifin atau Mariono Santoso. Siapakah beliau-beliau ini? Lukman seorang pawang buaya berusia 57 tahun. Tahun 60-an, ia mengaku, ia memiliki paling tidak 3 ribu ekor buaya sebesar tokek. Sekarang jumlah itu tumbuh susut menjadi sekitar 5 sampai 7 ratus. Tapi di antaranya-ada buaya bernama si Bongkok yang berusia jalan 19 tahun. Sedangkan Mariono, lelaki usia 44 tahun, hanya memiliki sepasang buaya yang kini baru berusia 6 tahun. Kedua orang ini adalah sebagian dari warganegara kita di Jakarta yang memiliki pekerjaan ada-ada. Pada awalnya, buaya Mariono yang tinggal di Jalan Surabaya itu, juga kecil seperti tokek. Ia mendapatkannya sebagai oleh-oleh dari seorang kawan yang memasuki hutan Palembang. Rasa iseng untuk mendapat jenis binatang yang agak lain -- ia seorang penyayang binatang -- mendadak menjadi rasa sayang, setelah menggauli buaya itu bertahun-tahun. Reptil yang bentuknya primitif itu pada awalnya hanya disuapi udang dan serangga. Setelah beranjak besar, ia makan 1 Kg bandeng. Lalu Mariono mendapat pelajaran bahwa: binatang itu tidak makan setiap hari, tapi semingu dua kali. "Buaya ini binatang yang anteng (tenang). Dia jinak dengan siapa yang kasih dia makan. Tapi dikasih daging busuk atau sedikit bau saja ia tidak mau, apalagi bangkai." Perkawinan Mariono pernah mendapat tawaran dari kebun binatang: menukar kedua buaya itu dengan binatang lain. Tapi Mariono tidak sudi. Entah karena tokek-tokek itu sudah tumbuh dengan pesat: yang jantan panjangnya sudah 3,5 meter, sedang yang betina, 2,5 meter. Harganya bisa menjadi ratusan ribu, kalau dinilal dengan uang. Mariono memang penasaran juga: setelah 6 tahun merawat, ia ingin tahu bagaimana binatang itu berkembang biak. Menurut buku-buku yang menyibak soal buaya, perkawinan bisa terjadi sesudah buaya berusia 15-20 tahun. Cukup lama juga, tapi penyayang binatang ini sudah bertekad untuk mcnunggu. "Biar apa pun, kalau ada yang mau membeli saya tidak mau. Sebab pasti akan dibunuh, untuk diambil kulit dan sebagainya. Kasihan!", kata Mariono kepada Linda Djalil dari TEMPO. Memang kesenangan orang macam-macam. Tidak kurang separuh dari 700 meter persegi tanah yang dihuni Mariono, sudah dijadikannya milik binatang. Di sana, di samping buaya, ada burung, kera, anjing-anjing serta ayam Madura. Bayangkan berapa besar biaya yang harus disisihkan setiap bulan. Padahal pegawai PN Gas ini memiliki tanggungan 7 orang anak. Tapi sama sekali ternakternaknya itu tak nampak sebagai beban. Mungkin karena seluruh keluarga sudah kompak. Meskipun meruap bau tak sedap dari kandang ayam Madura, tapi kokoknya yang panjang setiap pagi sudah menjadi sebagian dari kegembiraan keluarga itu. Mariono merawat dengan telaten. Anak-anaknya semua ikut sibuk setiap pagi mengurus makanan penghuni kebun binatang keluarga itu. Mariono akanberdiri di dekat kandang dengan tongkatnya. Ia selalu memanggil binatang itu dengan bunyi: sst, sst, atau ck, ck. Lalu mengetok-ngetokkan tongkat ke tanah di samping kolam yang terdapat dalam kandang. Sampai sekarang kedua buaya itu masih patuh dan lucu. Kecuali kalau sedang benar-benar kelaparan, ia berbahaya: bisa ngamuk kalau didekati. Tapi kepatuhan makhluk yang keras dan biadab itu barangkali sebagian dari imbalan yang membuat Mariono tidak menghitung-hitung biaya. Kesenangan semacam itu juga didapatkannya dari burung-burungnya yang sering hinggap di bahunya berjamjam sementara bekerja -- atau yang dengan setianya menunggu ia tidur di samping bantal. Buaya Irian Berbeda dengan Mariono, awal cinta Lukman Arifin pada buaya adalah pembunuhan. Ngeri tidak? Lelaki berdarah kuning ini adalah menantu Tjie Hwatlong, seorang pengusaha kulit buaya, ular dan biawak. Awalnya ia seorang sopir truk dan oplet - maklum pendidikannya hanya SD. Di rumah mertuanya ia banyak bergaul dengan pawang-pawang buaya. Sekali peristiwa, di tahun 1950, ia ikut berburu buaya di rawa-rawa Lampung. Menurut pengakuannya kepada Klarawijaya dari TEMPO, berapa kali ia ikut, beberapa kali pula ia sakit. Betapa tidak. buaya itu ternyata begitu gagah--berapa kali saja ditombak masih saja mampu menggelepar. "Melihat itu saya panas dingin," tutur Lukman. Setelah terbiasa, ia menjadi ieorang pawang juga pada akhirnya. Ia sanggup menyarangkan dengan telak tombaknya yang runcing ke sasaran, atau menlancing dengan kail model jangkar yang terbua dari baja ukuran kelinglcing. Lukman menjadi seorang pembunuh buaya. Besar, kecil, sedang, ia sikat terus derni perdagangan kulit buaya. Bayangkan: di tahun itu satu meter kulit buaya laku sampai 20 atau 30 ribu rupiah. Harga sekarang sudah mencapai Rp 120 ribu. Tak puas hanya jadi orang kedua, Arifin memproses sendiri hasil-hasil pembunuhan itu. Kulitnya dimasak, langsung dijadikan tas atau ikat pinggang. Tapi sayang sekali dalam pemasaran ia mendapat kesulitan. "Sistim konsinyasi membuat saya mati," ungkapnya mengenang kegagalan usaha itu. Banyak barangnya yang dibawa pedagang tidak terjual. Barang-barang itu kembali, lantas tidak ada gunanya sama sekali. Nasib inilah yang kemudian menghantarkan Lukman dari seorang pembunuh menjadi penyayang buaya. Lukman tinggal di Bandengan Utara, terjepit di kompleks dagang yang memiliki banyak pabrik. Dalam areal tanah seluas 5000 MÿFD ia membangun sebuah kompleks yang dinamakannya 'Taman Buaya'. Barangkali taman satu-satunya di Indonesia ini yang berhasil menghadapi ratusan buaya bertahun-tahun. Binatang-binatang ini ditempatkan dalam kandang-kandang yang masing-masing memiliki kolam. Mereka bergelimpangan bagai balok-balok yang tua dan malas. Di antaranya ada yang berasal dari Irian Barat. Masih muda, tetapi jelas memperlihatkan ciri-ciri yang berbeda dari buaya kepulauan lainnya. Ia memiliki mata dan kulit yang lebih hitam. Alligator "Yang besar-besar itu yang disebut crocodile. Usianya, bisa mencapai 150 tahun," tutur Lukman. Kemudian ia menunjuk ke kandang yang lebih kecil. Di sana puluhan ekor buaya yang masih muda tampak memiliki moncong yang lebih runcing. Warnanya kecoklatan. "Ini yang dinamakan orang alligator, usianya mencapai 200 tahun. Buaya ini jauh lehih bandel dari crocodille. tidak bisa diat~ur~."~ Lukman yang bicara tentang buaya seperti bicara tentang anak-anaknya, juga menceritakan betapa binatang yang hidupnya bertumpukan itu memang tak selamanya bisa rukun. Sering ada perkelahian. "Kalau itu terjadi di kandang si Bongkok, maka begitu dia lewat, buayabuaya itu berhenti berkelahi. Kalau di kandang yang lain ya dipisah dengan teguran-teguran - kalau dia dengar, sebab buaya tidak punya kuping!" Kompleks Lukman terbagi dalam 9 buah kandang. Termasuk kandang ular, biawak dan sebuah tempat untuk atraksi. Tiap hari air di masing-masing kolam harus diganti dengan air dari sumur pompa. Untuk ini Lukman dibantu oleh 4 pawang lain. Kalau musim hujan datang, kewaspadaan ditingkatkan - karena saudara-saudara buaya ini cenderung gemar bercanda, dan canda tersebut bisa berubah jadi perkelahiam Kalau perkelahian seru, seekor buaya bisa terlontar keluar kandan. Ini berbahaya. Lebih-lebih karena kompleks tersebut disewakan untuk para pengunjung. Mereka membayar Rp 100 per kepala pada hari-hari biasa, dan Rp 250 di hari Minggu. Hasil karcis inilah yang dijadikannya modal untuk menyediakan minimal 700 Kg ikan sekali makan. Itu berarti Rp 40 ribu. "Memang dapat ditutup dari pengunjung, tapi pas-pasan," kata Lukman. Mungkin itu sebabnya setiap hari linggu diadakan atraksi dengan buaya dan ular dengan bayaran lebih. Lukman juga mengusahakan sebuah restoran yang melayani orang yang doyan makan sate biawak dan ular - di samping ngobyek jadi calo jual beli rumah. Lukman menolak keras anggapan bahwa ia telah mengkomersiilkan buayanya. Ia mengaku sejak 20 tahun yang lalu berniat membuka Taman Buaya. "Untuk kepentingan pariwisata Indonesia," katanya dengan gagah. DKI Jaya memang telah mengandung maksud untuk membantunya dengan sebuah tempat khusus di Proyek Otorita Pluit. "Tapi betapa pun untuk pelaksanaannya nanti saya tak mau join," katanya dengan tegas. Kecintaannya pada buaya menular juga pada pawang-pawang lainnya. Salah seorang asistennya dengan sungguhsungguh menyatakan memang tidak dijanjikan masa depan apa-apa oleh buayabuaya itu. "Tapi saya merasa senang sekali memelihara binatang yang dirawat sejak kecil itu dan dapat berkembang biak. Saya asik melihat pertumbuhannya dari hari ke hari. Apalagi ini satusatunya sekarang di Indonesia," katanya sambil melirik ke arah si Bongkok. Sebagai pawang yang juga menyelenggarakan atraksi main-main dengan buaya, Lukman punya sejumlah pantangan. "Pokoknya tidak boleh zina. Kalau mau kawin-kawinlah. Sekali main perempuan bisa celaka," ujarnya. Salah seorang asistennya yang bernama Arsad disabet buaya Nopember yang lalu. Tapi ini bukan akibat zina melainkan karena kurang konsentrasi. Waktu itu ada berita isteri Arifin sakit keras, sehingga orang-orang memang sedikit lengah. Dan buaya ternyata selalu galak. Tampangnya saja yang lesu seperti orang stoned, tapi reaksinya amat cepat. Kalau ia mengamuk tembok beton setebal 10 Cm bisa digebraknya hancur. "Itulah sebabnya saya keberatan menyerahkan piaraan saya kepada orang lain. Khawatir mereka tak sanggup memeliharanya," ujar Lukman. Usaha Lukman mengembang-biakkan buaya, setelah memeliharanya sekian tahun, baru dimulai September lalu. Pada sebuah kolam ia membuat lubang-lubang yang saling berhubungan. Buaya-buaya yang sudah bertelur dikasih tanda merah sedikit di moncong. Pada masa perkawinan buaya betina biasanya menguak untuk memanggil jantannya. Praktek perkawinan kemudian berlangsung di bawah air. Pertengkaran juga bisa terjadi di sini. Dan kalau buaya bertengkar, menurut seorang asisten Arifin, mereka tidak akan berhenti kalau salah satu belum kalah. Dan kalah berarti lari. Dan lari berarti salah satu bagian tubuhnya sobek. Seringkali kepala. Karenanya tak jarang ada buaya yang sakit saraf atau Begar otak. Biasanya yang sakit ini lalu putar-putar terus, kubak-kubek di air dan lumpur. Jadi buaya juga bisa sakit. Dan kalau ini terjadi, apa yang harus dilakukan? "Ya diobati," jawab Lukman. Diobati dengan apa? Lukman mengangguk-angguk tenang lalu berkata: "Yah biasa, paling super tetra."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus