POPO Iskandar lahir di Garut 17 Desember 1927. Ia tamat dari
Seni Rupa ITB 1958, langsung mengajar di perguruan itu sampai
1961. Kemudian pindah kandang menjadi pengajar IKIP sampai kini.
Sejak 1971 ia diangkat juga menjadi anggota Akademi Jakarta.
Selain terus dengan getolnya melukis masih sempat juga menulis
artikel kebudayaan, pendidikan, sosial dan sebagainya.
Wawancara di bawah ini dilakukan di ruang pameran. Kebetulan ada
pelukis Danarto yang ikut memberondongnya dengan pertanyaan.
Benar-benarkah Popo telah bertekad mengukuhkan derajat 'kucing'?
Beberapa jawabannya kami sambung untuk lebih memperjelas jalan
fikirannya.
Kenapa anda terus-terusan melukis kucing?
Popo: Kucing merupakan sebagian dari lingkungan saya yang tetap.
Meskipun saya juga punya anjing, tapi ia belum dapat mendukung
perasaan dan visi saya. Fenomen kucing dapat saya munculkan dari
berbagai aspeknya terutama kemungkinan-kemungkinan fisik yang
aneka ragam. Dari sini muncul ide tentang intensitas. Lewat
kucing saya mencoba menampilkan intensitas yang pada masyarakat
kini seang diabaikan, baik masyarakat Indonesia maupun luar
Indonesia. Oranglebih banyak terkesan oleh gejala kulit.
Andaikan bukan dengan kucing, saya akan mengarah ke sana juga.
Sudahkah anda puas dengan kucing, sehingga tidak memikirkan
keterlibatan sosial yang disukai para pelukis muda sekarang?
Popo: Itu terbalik. Bukan pelukis yang harus melibatkan diri
pada gejala sosial. Dalam beberapa hal, seniman mendahului apa
yang terjadi dalam masyarakat. Karena itulah seniman ditakuti
dalam masyarakat komunis, dianggap bisa mempengaruhi kondisi
sosial yang ada. Seniman menjadi penyebab kondisi yang baru,
mungkin secara tidak sadar. Itu bedanya dengan politikus.
Seniman lebih bertolak pada pertumbuhan. Anak-anak muda memang
memiliki berbagai macam kompleks. Yang sangat menonjol kompleks
keakuan. Salah satu cara adalah penampilan dengan cara lain dari
yang lain. Yang selalu diabaikan adalah kwalitas, sehingga hanya
merupakan kejutan sepintas. Saya lihat di Paris misalnya,
senirnan muda memang mendapat tempat di musium 'D'art Moderne,'
tapi itu bukan merupakan tonggak, lebih merupakan kuburan.
Apakah kucing bagi anda sekarang sudah merupakan konsep,
sebagaimana halnya Hemy More menganggap keluarga adalah konsep,
sehingga segala sesuatu anda kucingkan?
Popo: Bukan begitu. Bagi saya kucing bukan konsep, ia tetap
hanya medium. Dari kucing itu sendiri, yang menjadi
bulan-bulanan saya cuma satu: kejiwaannya. Kejiwaan ini saya
pegang. Saya tidak begitu tertarik pada kucing sebagai gejala
fisik, tapi pada kejiwaannya yang misterius. Dengan melukis
kucing terus-menerus saya meneruskan konsep saya yaitu bahwa
mencipta adalah soal pembebasan diri. Saya seorang yang
emosionil, tapi lukisan bagi saya adalah campuran ide, imajinasi
dan emosi. Material dan bentuk tidak pernah bisa berdiri
sendiri. Lihatlah Vasarely, orang yang berusaha keras
menciptakan warna dan efek-efek visuil, menimbulkan hasil yang
bukan hanya masaalah kerupaan dan kebentukan -- tapi juga
soal-soal psikologis. Dalam hal ini teknik adalah bagian penting
dari senilukis. Bagi saya tidak pernah menjadi panglima.
Mungkinkah para pelukis senior seperti anda, Rusli, Nashar, O.E,
akan berubah seandainya menggunakan material lain sebagaimana
halnya Seni Rupa Baru - jadi bukan hanya cat di kanvas?
Popo: Saya kira persoalannya terbalik juga. Medialah yang
berubah kalau tujuan penciptaannya berubah. Rusli misalnya,
beberapa waktu yang lalu menolak akrilik, tapi tiba-tiba di
Bali, ee, dia memakai akrilik di kertas sebagai kelanjutan
periode aquarelnya. Jadi begitu, setiap seniman senior sifatnya
lebih hati-hati. Tidak begitu gemar hal-hal kebetulan. Saya
sendiri setelah pulang dari Eropah dipengaruhi banyak warna. Ada
yang bilang saya dipengaruhi: Karela Appel. Saya kita itu tidak.
Appel seorang eksperimentalis, saya bukan. Dia beberapa tahun
lebih tua dari saya, tapi sebagai angkatan mungkin saya lebih
tua. Saya lebih condong pada Matisse, Picasso dan Braque. Saya
bertolak dari ekspresi kejiwaan.
PW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini