DENGAN celana kedodoran, bersandal jepit dan berjalan ala tukang
martabak dari Krekot, regu India memasuki gelangg3ng bridge
Timur Ja-m ke 21 di Manila awal Nopember lalu. ereka duduk
berhadapan dengan pendatang baru Bangladesh. Menang 8 -- 0.
Regu Indonesia memasuki arena dengan seragam batik, warna biru,
berhadapan dengan Australia. Begitu papan pertama dimainkan,
Australia melakukan protes terhadap pasangan Fransz/Karamoy,
karena dianggap telah memberikan infinasi yang salah. Protes
Australia diterima pimpinan pertandingan. Indonesia kena
hukuman. Akan tetapi, di akhir ronde, regu Indonesia mencatat
kemenangan telak 8 - 0.
Ofisial Indonesia lantas optimis. Kapten Selandia Baru dan
Pakistan mengatakan, bahwa kini kans Indonesia terbuka untuk
keluar sebagai juara. Ramalan ini memang berdasar. India muncul
dengan muka baru. Taiwan menampilkan empat pemain muda.
Australia keletihan. Regu lainnya, di ker tas relatif lemah.
Berikutnya Indonesia kalah lawan Thailand. Tapi optimisme masih
menyala. Sejak dulu Indonesia memang lebih sering kalah melawan
regu Thai. Kekecutan mulai membayang ketika kalah tipis lawan
Bangladesh. Namun terobati sewaktu menang telak lawan Jepang.
Ketika ditaklukkan oleh India, walau di setengan sesion menang
18 IMP, rasa pesimis tak terelakkan lagi.
Pengamat bridge lalu berpaling ke India. Ofisial Indonesia agak
kesal dan kecut dengan pendatang dari kaki Himalaya ini. Mengapa
tidak? Begitu Frans/Karamoy duduk berhadapan dengan mereka
lantas mereka protes dan tidak sudi bermain. Alasannya, sistim
Frans terlalu semrawut, penuh artifisial.
Dingin
Begitulah India, dengan pola agak "kampungan" maju perlahan
mengumpulkan angka demi angka. Bila berhaapan dengan lawan yang
di kertas relatif lemah, mereka pukul lawan mereka dengan angka
telak. Jika lawan kuat, mereka bertahan bagai tembok. Bila tidak
menang, kalah pun boleh asal kalah tipis. Sebaliknya regu
Indonesia: menang lawan yang kuat, tapi kalah melawan regu yang
relatif lemah. Sehingga ketinggalan terus dalam pengumpulan
angka.
Tingkah pemain India ini kurang simpatik memang. Tak tercermin
intelektualitasnya. Bergaul pun tidak. Tapi, mereka tak peduli.
Mereka memasuki gelanggang dengan pola yang sama: bergerombol
dan senyum cuma pada sesamanya. Pada yang lain, mereka bersikap
diam dan dingin.
Ketidakperdulian mereka pada sekitarnya memang menolong mereka
untuk tidah adanya interfensi perang urat syaraf. Bahkan sadar
atau pun tidak, taktik mereka ini merupakan perangkap psy-war.
Begitulah, papan demi papan mereka mainkan secara biasa:
melakukan penawaran menurut apa adanya, tak lebih dan tak
kurang. Lawan yang tak sabar, terperosok ke dalam jebakan. Dan
mereka manggut-manggut tak peduli, bila lawan bertengkar di
meja.
Tapi bukannya mereka tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka
sudah digodok: bila pasangan salah diam saja. Di luar arena,
yang salah cuma bilang "sorry" dan habisiah cerita. Tak berdebat
dan tidak berdiskusi.
Sebaliknya, NPC (Non Playing Captain) India M.C. Mitter, penuh
dengan senyum dan terus menguntit regunya yang sedang bermain.
Senyumnya murah ke kiri dan kanan. Senyum pada situasi regunya
menang maupun kalah.
Lugu Dan Polos
India menurunkan pemain-pemain Brahmachary, K. Gosh, R. Gosh,
Mukherjee dan Singha. Yang kurus tinggi, yang lain rata-rata
gemuh pendek dengan NPC tipe India yang biasa kita lihat di
Pasar Baru Jakarta.
Menurut Mitter, pemain India kali ini, yang sekedar bercanda
disebutkan oleh kolumnis Amerika Truseott sehari regu yang
berhasil menundukkan Mount Everest, adalah pemain-pemain dari
satu kumpulan. Keuntungannya ialah bahwa mereka praktis
mempunyai satu sistim. Selain itu mereka dibina dengan seragam
dan mudah.
Konvensi yang mereka gunakan pun sederhana sekali yaitu
American Standard dengan asking-bid Guberson yang sudah kuno.
Dari kesederhanaan ini, mereka sebetulnya lugu dan polos. Tidak
ada indikasi mencari-cari dan menguber angka. Tampak santai.
Mereka ke luar sebagai juara berkat perangkap mereka dan
mengumpulkan angka dari kehilapan lawan.
Dari mulai bermain sampai usai, kondisi fisik mereka relatif
baik. Fit terus. Salah seorang, tetap dengan terus di tangan.
Yang lain, bila pingin minum, cukup meminta air es yang tidak
pakai tarif. Dan salah satu pendorong mental mereka: duta besar
India hampir tiap malam nongkrong di arena pertandingan. Juga
sebuah kendaraan siap di muka hotel, untuk urusan pesiar jika
perlu. Tapi mereka jarang menggunakannya dan lebih banyak
berjalan sebagai gerak badan mereka di setiap pagi.
Itulah regu India juara bridge Timur Jauh tahun ini. Modal
untuk jadi juara memang mereka miliki, yaitu adanya disiplin,
mental baja, kompak satu sanla lain, dan menjaga kondisi fisik
dengan baik. Lain dari itu, mereka juga tahu, bahwa untuk jadi
juara diperlukan pengumpulan angka terbanyak. Untuk itu, mereka
taklukkan lawan yang relatif lemah dengan angka telak dan
bertahan lawan regu kuat.
Regu Indonesia kali ini, juga tahu akan siasat untuk jadi juara
seperti itu. Karena itu dua bulan sebelum berangkat, strategi
seperti itu diterapkan. Tapi di arena Manila dan yang diberikan,
diarahkan dan dibentuk oleh Amran Zamzami sebagai proyek
ofiser, cuma masuk kuping kiri kehlar huping kanan. Hilang tanpa
kesan. Maka, Indonesia hanya mempati urutan ke-5. Puas? Tentu
saja tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini