Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku kumpulan tulisan dan wawancara Bens Leo, wartawan majalah musik Aktuil.
Merekam perjalanan Bens Leo mengarungi jurnalisme musik.
Gaya wawancara Bens Leo renyah, akrab, egaliter, dan blak-blakan
SEPTEMBER 1973, The Rollies manggung di Gedung Olahraga Tenun Malang, Jawa Timur. GOR Tenun Malang saat itu merupakan tempat yang diperhitungkan bagi musikus rock. Salah satu lagu yang disajikan Rollies adalah lagu Sunda “Manuk Dadali” yang diaransemen bergaya brass rock (rock dengan formasi terompet). Di Jakarta, koresponden Aktuil, Bens Leo, setahun kemudian masih penasaran soal eksperimen itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa Rollies tak melanjutkan eksperimen-eksprimen demikian? Bens Leo berinisiatif mewawancarai Benny Rollies. Wawancaranya itu dimuat dalam majalah Aktuil nomor 152 tahun 1974 berjudul “Ngecap tanpa Sensor dengan Benny Rollies”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenapa cuma 'Manuk Dadali' dari Sunda yang kalian tonjolkan, sedang untuk gamelan ini Jawa punya ciri lain, Surabaya lain, dan Bali pun juga lebih energik?”
Benny menjawab panjang pertanyaan Bens tersebut. Mereka selanjutnya berdialog. Benny membantah anggapan bahwa formasi baru Rollies yang cenderung jazz rock membuat band ini turun kualitasnya. Rollies, kata Benny, tetap berkiblat kepada grup brass rock Amerika Serikat, Blood Sweat Tears dan Chicago.
Kepada Bens, Benny juga bercerita, Rollies ingin membeli pabrik piringan hitam agar bisa leluasa eksperimen tanpa didikte cukong. Dalam wawancara itu, Bens terasa “membela” Rollies . Dia ingin mengetengahkan kepada pembaca bahwa Rollies tetap salah satu band terdepan Indonesia dan bukan sekadar “Nite Club Combo”.
Majalah Aktuil terbit pada 1967. Benny Hadi Utomo alias Bens Leo masuk sebagai koresponden Jakarta pada 1971. Dan dia terlihat sangat aktif sampai Aktuil bubar pada 1978. “Ide buku Bens muncul tahun 2020 setelah Museum Musik Indonesia (MMI) membuat buku katalog majalah Aktuil yang di-support UNESCO. Kami sampaikan ide ini kepada Bens, tidak langsung diterima. Setelah beberapa bulan baru dia setuju,” ucap Hengki Herwanto, mantan koresponden Aktuil di Malang yang kini Direktur MMI.
Dari 254 edisi majalah Aktuil 1967-1978, MMI mengoleksi 200 majalah. “Tim MMI lalu menginventarisasi tulisan Bens. Ada sekitar 1.400 tulisan dan foto Bens,” ujar Hengki. Setelah berbulan-bulan berkoordinasi via WhatsApp dan telepon, menyeleksi tulisan, serta kunjungan Bens ke Malang, akhirnya lahirlah buku itu.
Bens adalah saksi mata lahirnya generasi musikus Indonesia dengan talenta dan selera bermutu pada 1970-an. Dalam tulisannya di Aktuil nomor 181 tahun 1975 berjudul “Eksperimen Musik Bocah Bocah Indonesia”, dia merasa bergairah melihat “Manuk Dadali” versi Rollies sebagai tanda banyaknya grup rock melakukan pencarian. Dari Guruh Sukarnoputra yang bereksperimen dengan gamelan Bali hingga God Bless dan Barong Band (Eros Djarot dan kawan-kawan).
Khusus untuk Guruh, bahkan Bens seolah mengawal ide Guruh membuat album eksperimen Guruh Gypsi, dari sebelum sampai sesudah rekaman. Tatkala album Guruh Gypsi masih digodok, Bens sempat-sempatnya ke Bali meminta opini musikus tradisi Bali, Tjokorda Agung Mas, dan pelukis Mario Blanco (Aktuil nomor 198 tahun 1976). Kepada Bens, mereka mengatakan eksperimen demikian merusak kemurnian gamelan Bali.
Kembali ke Jakarta, Bens meminta tanggapan balik Guruh. Dan Guruh dengan keras menjawab: “Musik Bali itu juga bisa dijajarkan dengan peradaban musik dunia masa kini. Jadi, itu alasan kenapa saya membuat eksperimen Bali-rock.” Bens agaknya memiliki perhatian terhadap kemungkinan asimilasi musik pop, rock, dan gamelan.
Saat mewawancarai Harry Roesli yang moncer karena Rock Opera Ken Arok, ia tak lupa bertanya kepada Harry bagaimana ia belajar karawitan kepada tokoh karawitan Sunda, Tatang Karwita. Dan saat dia meliput World Pop Song Festival di Tokyo pada 1976, Bens menuliskan bahwa aransemen Idris Sardi atas lagu Guruh, “Renjana”, yang dibawakan Grace Simon, memiliki sisipan unsur gamelan.
Kebanyakan wawancara Bens renyah, akrab, egaliter, dan kadang blakblakan. Dibaca sampai sekarang pun masih lumayan gurih. Dari wawancara-wawancaranya kita bisa membayangkan bagaimana ekosistem industri rekaman Indonesia bergerak pada 1970-an. Bagaimana band-band seperti Panbers, Rasela, Gembell’s, The Mercy’s, Rhythm King’s, Jopie Item, Giant Step, Koes Plus, dan musikus semacam Ireng Maulana, Adjie Bandi, Jockie Suryopranogo, serta Arthur Kaunang berada dalam pusaran industri rekaman, antara lain label Yukawi, Remaco, Musica, Irama Tara, dan Irama Mas.
Buku Bens Leo dan Aktuil/Tempo
Buku: Bens Leo dan Aktuil
Jumlah Halaman: 250
Editor: Hengky Herwanto
Penerbit: Museum Musik Indonesia
Cetakan Pertama: Agustus 2021
Selalu ada isu yang ditanyai Bens kepada para musikus. Kepada kakak-adik Koes Plus ia bisa menggali hal yang berbeda. Kepada Tony Koeswoyo, ia mempertanyakan mengapa Koes Plus mengeluarkan seri album pop Melayu, apakah semata untuk kepentingan komersial? Kepada Nomo Koeswoyo, yang keluar dari Koes Plus dan tiba-tiba membuat album sendiri, ia menggali bagaimana rivalitas mereka. Ia bahkan mewawancari Pak Koeswoyo, ayah Koes Plus, tentang dinasti Koeswoyo dalam musik Indonesia. Dalam wawancara di Aktuil nomor 173 tahun 1975, yang menggelikan, tercuat bahwa Pak Koeswoyo heran mengapa band anak-anaknya itu begitu populer, padahal banyak band lain yang lebih bagus.
Dan penciuman Bens terhadap bakat-bakat besar cukup tajam. Aktuil nomor 160 tahun 1975 menurunkan wawancara Bens dengan seorang drummer muda asal Medan yang tergabung dalam band Minstrel’s. Bens seolah memperkirakan drummer ini akan makin moncer. Ternyata betul. Dia adalah Jelly Tobing. Artikel itu diberi judul: “Jelly Tobing ‘Gua mau Diadu di Mana Saja dengan Empat Stick, Bereksprimen’”. Ada kalanya memang pertanyaan-pertanyaan Bens jahil. Dalam wawancaranya dengan Ucok Harahap dan calon istrinya saat itu, Frieda, Bens misalnya bisa mengorek Ucok dan Frieda ternyata juga menjadi pasangan penari striptease di sebuah night club. Wawancaranya bahkan diberi judul “Utjok Harahap & Ida: ‘Aku Mulai Main Striptease’”.
Juga saat ia meliput pementasan Suzi Quatro, pemusik top Amerika, di Jakarta pada Aktuil nomor 184 tahun 1976. Bens mereportase kedatangan Suzi di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Saat mewawancarai Suzi, Bens membawa dua tape recorder. Satu untuk merekam wawancara, satunya lagi untuk memutar kaset. Kaset apa yang dibawa Bens? Ternyata kaset ludruk. Bens membawa ludruk untuk diperdengarkan kepada Suzi dan kemudian meminta tanggapannya. Kaset ludruk itu kemudian dihadiahkan Bens kepada Suzi. Dan judul yang turun di Aktuil: “Suzi Quatro. Pulang membawa Kaset Gamelan Ludruk”.
Tak hanya musikus rock, Bens mewawancarai artis film, seperti Farouk Afero, Yessi Gusman, Titik Qadarsih, atau bintang cilik seperti Chica Koeswoyo, Ibu Kasur, Gesang, dan pensiunan jenderal polisi, Hoegeng. Bahkan ia mewawancarai W.S. Rendra. Dalam sebuah wawancara, Rendra blakblakan mengkritik pedas penari Sardono W. Kusumo. Jarang sekali kita membaca pernyataan Rendra demikian di media lain. Juga wawancara komponis Slamet Abdul Syukur yang judulnya menggigit: “Musik Indonesia Ketinggalan 200 Tahun”.
Banyak hasil jepretan Bens yang menjadi sampul depan Aktuil. Dari foto Arthur Kaunang, Harry Roesli, Titik Qadarsih, Farouk Afero, hingga Grace Simon. Ini menandakan Bens juga tangkas memotret. Artikel terakhir dalam buku ini adalah liputan Bens atas pementasan Leo Kristi di Taman Ismail Marzuki pada 16 Agustus 1978 dan wawancara Chrisye. “Semua artikel ini yang memilih Bens sendiri, kami hanya menyediakan materinya,” tutur Hengki.
Selepas Aktuil bubar, Bens kemudian masuk majalah Gadis (1983-1992). Di sini dia mengembangkan format tulisan, mengikuti kegiatan seorang artis sehari penuh. Pernah ia mengikuti kegiatan Erwin Gutawa dan Jay Subiyakto saat mereka menghadiri North Sea Jazz Festival di Belanda dan Montreux Jaz Festival, Jenewa, Swiss, pada 1987. Saat tak lagi menjadi wartawan, Bens malang melintang di dunia showbiz serta berbagai kegiatan penjurian musik dan anugerah budaya.
Ada satu cerita menarik yang saya ingat ketika Bens menjadi juri. Sejak 2014 sampai tahun ini, Bens selalu menjadi juri Anugrah Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi. Pada 2020, penghargaan Kementerian Kebudayaan salah satunya diberikan kepada penyair Umbu Landu Paranggi, atas kepeloporannya membuat komunitas sastra di Yogyakarta dan di Bali. Sebagai syarat penerimaan penghargaan, para juri harus mengunjungi para nomine untuk diwawancarai. Persoalannya, Umbu sangat jarang mau ditemui. Ia misterius. Pada 2019, Akademi Jakarta misalnya memberikan penghargaan bagi dia. Tapi pada malam penghargaan dia tak hadir.
Bens tertarik menemui Umbu yang tinggal di Denpasar. Bens selama ini tak pernah berjumpa dengan Umbu. “Tapi saya pernah dengar namanya dulu dari Ebiet G. Ade. Dia penguasa Malioboro,” ujar Bens. Ternyata Umbu bersedia bertemu dengan Bens. Bens bercerita, ketika dibawa ke “persembunyian” Umbu, di pagar Umbu sudah berteriak menyambut kedatangannya. “Bens, aku dulu membaca tulisan-tulisanmu, umurmu saiki piro (berapa sekarang)?”
Ternyata, pada 1970-an, Umbu sering membaca tulisan Bens di Aktuil, makanya ia menerima hangat Bens. “Mungkin kalau bukan saya, Umbu enggan menerima award,” kata Bens, bercanda. Foto-foto Bens Leo bersama Umbu langsung dikirim Bens ke grup WhatsApp para juri. Sekarang keduanya telah wafat. Rest in peace.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo