BERITA itu sangat mengejutkan. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan pasukan komando Baret Merah semasa penumpasan PKI di tahun 1965-1966, terkena strok. Jenderal berumur 64 tahun itu -- yang segar bugar -- kini masih dirawat di Metropolitan Medical Center (MMC) Jakarta. Serangan itu datang mendadak, Senin 6 Februari lalu. Separuh tubuh Pak Sarwo tiba-tiba lumpuh. Padahal sehari sebelum strok, ia masih menyetir mobilnya, dalam perjalanan Bandung-Jakarta. Menurut penuturan keluarganya, waktu itu ia tampak sehat, dan tidak ada keluhan apa-apa. Sampai kini, bekas Ketua BP-7 dan bekas Gubernur Akabri itu sudah dua minggu dirawat di ruang Gawat Darurat. Kondisinya, sampai akhir pekan lalu, belum jelas. Pihak MMC maupun tim dokter yang merawatnya belum bersedia memberikan keterangan. Konon ada tanda-tanda kondisinya membaik, setelah dua pekan lalu kesadarannya tiba-tiba hilang. Menurut keterangan keluarganya, Pak Sarwo menderita darah tinggi, penyakit yang salah satu risikonya terburuk ialah strok. Namun bagaimana hubungan penyakit ini dengan strok yang terjadi, tidaklah jelas. Juga masih jadi pertanyaan: apakah strok terjadi karena penyumbatan pada pembuluh darah di otak, atau karena pendarahan di otak. Yang pasti, strok itu tidak identik dengan serangan jantung. Memang, mungkin strok terjadi karena ada gangguan pada jantung. Tapi strok hanya menyerang otak, bukan jantung. Penyubatan aliran darah dan pendarahan itu sendiri merupakan penyebab strok. Akibatnya, terjadi defisit oksigen di otak, hingga merusakkan sistem saraf. Suplai oksigen terhambat -- atau terhenti sama sekali -- karena aliran darah tersumbat, atau bahkan pembuluh darahnya pecah. Bila pendarahan atau penyumbatan terjadi di belahan otak kanan dan merusakkan sistem saraf di bagian ini, perintah otak untuk menggerakkan tubuh bagian kiri terputus. Maka terjadilah kelumpuhan di bagian tubuh ini. Sebaliknya, bila kerusakan terjadi di belahan otak kiri, tubuh bagian kananlah yang akan mengalami kelumpuhan. Para peneliti ilmu kedokteran hingga kini masih terus berusaha untuk menemukan metode terapi baru. Tujuannya: untuk menekan kemungkinan terjadinya kelumpuhan akibat strok. Ada tanda-tanda, terapi itu bergantung pada cepat-tidaknya pertolongan diberikan. Di samping itu, juga bergantung pada penyebabnya. Terapi baru -- yang sekarang sedang diteliti dimaksudkan khusus untuk mengatasi penyumbatan pada pembuluh otak. Jadi, bukan menanggulangi pendaraban akibat pecahnya pembuluh darah otak. Dr. David Levy, dari Cornell University Medical Center New York, menemukan: bila pertolongan diberikan terlambat -- misalnya lebih dari 1 jam setelah terjadinya strok -- kelumpuhan yang terjadi bisa parah. Pemulihannya akan memerlukan waktu panjang. Sebaliknya, bila penderita strok -- akibat penyumbatan -- segera mendapat pertolongan, kepulihan spontan bisa terjadi. Hingga kini Levy masih melakukan percobaan klinis, untuk memastikan terapi baru itu. Terapi itu berupa pertolongan dengan menggunakan cairan infus TPA (Tissue Plasminogen Actiator). Fungsi TPA adalah untuk mencairkan gumpalan darah yang menyumbat. Dalam percobaan itu. Levy menemukan hal-hal yang mengejutkan. Misalnya kepulihan seorang penderita strok yang mendapat pertolongan 55 menit setelah serangan terjadi. Pasien itu terkena strok pada pukul 10 pagi, dan separuh tubuhnya segera mengalami kelumpuhan. Setelah mendapat TPA, pukul 02.30 pagi keesokan harinya, tubuhnya mulai bisa digerakkan. "Mula-mula kaki kiri, kemudian tangan kiri, akhirnya juga jari-jari tangan," kata Levy. "Saya sendiri terkejut melihat kenyataan itu." Dalam beberapa hari, pasien itu bisa berjalan kembali. Namun menurut Levy, TPA tidak bisa digunakan untuk menolong penderita stroke akibat pendarahan. Dalam percobaan klinis terungkap, lingkaran pendarahan di otak malah menjadi lebih luas. Sementara itu, Dr. John R. Meier, dari National Health Institute (NIH), masih belum berani menjamin secara pasti, khasiat TPA. "Kalau memang berhasil masih perlu dicari standar dosisnya," katanya. Sekarang ini, menurut Meier, selain di Cornell University Medical Center, juga di NIH sedang dilakukan percobaan klinis penggunaan TPA secara besar-besaran. "Tapi sekalipun kemampuan TPA sudah terbukti, masih ada berbagai masalah lain," kata Meier. Masalah itu adalah bagaimana menentukan standar gejala strok, agar bila serangan itu datang, penderita segera bisa dilarikan ke rumah sakit. Di satu sisi dokter harus menetapkan gejala-gejala klinis yang pasti, dan di sisi lain menyebarkan informasi, tentang gejala itu kepada masyarakat. Di samping itu, perlu disusun diagnosa yang dengan cepat bisa menentukan, apakah stroke terjadi akibat penyumbatan, atau pendarahan. Pemeriksaan untuk menentukan penyebab itu memerlukan berbagai peralatan, hingga hasilnya tidak bisa cepat diketahui. Teoretis, masih menghambat pemberian TPA yang harus sesegera mungkin. Sayang, justru ketika TPA sedang diteliti, strok menyerang Pak Sarwo. Tampaknya cairan infus ini belum bisa digunakan untuk menolong bekas dubes di Korea Selatan itu. Lagi pula masih belum ada informasi, apakah strok yang dialaminya itu terjadi akibat penyumbatan atau pendarahan, dan berapa lama setelah kena strok, Pak Sarwo dilarikan ke rumah sakit.Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini