ADI Suhendra tidaklah seceria bayi-bayi seusianya. Ernawaty, ibunya, tidak pula sebahagia ibu-ibu lainnya. Wajahnya selalu disaput mendung, prihatin memikirkan nasib Adi Suhendra yang mengidap kelainan jantung. Lebih dari itu, operasi jantung yang akan dilakukan atas Adi Suhedra pekan depan sulit diharapkan berhasil. Kelainan jantung yang diderita bayi ini sudah berkomplikasi. Karena itu pula, usai salat Jumat 10 Maret lalu, sekitar 300 karyawan PT United Sumatera Plantations (USP), Kisaran, Sumatera Utara tempat kerja Mijan, suami Ernawaty -- membacakan doa khusus bagi keselamatan Suhendra. Bayi yang malang ini dibawa ke Jakarta 27 Februari lalu dalam kondisi mengkawatirkan. Kini, di RS Jantung Harapan Kita, anak yang berusia 21 bulan itu diamati secara sangat seksama oleh tim dokter, yang antara lain beranggotakan ahli bedah jantung dr. Tarmizi Hakim dan ahli jantung dr. Lily I. Rilantono. Ibunya selalu mendampingi, sementara sang ayah menjaga adiknya, Adi Suhendri, di Kisaran. Seperti luas diberitakan, pasangan kembar siam Adi Suhendra-Adi Suhendri telah dipisahkan tim dokter RS Pirngadi, Medan, 2 Januari 88. Ketika itu 29 dokter RS terbesar di Sumatera Utara itu mesti menjalani detik demi detik yang menegangkan, untuk memisahkan hati dan usus kedua Adi, dengan biaya sekitar 250 juta rupiah. Saat itu, mereka juga sudah tahu, ada yang tak beres di jantung Adi Suhendra. Ia menderita Ventricular Septal Defect (VSD), yakni kebocoran di sekat, antara bilik jantung kanan dan kiri. Akibat bocornya sekat kedua bilik itu, darah bersih yang ada di bilik kiri, yang normalnya disalurkan ke seluruh tubuh, sebagian masuk ke bilik kanan, bercampur dengan darah kotor di situ. Akibat kebocoran ini, antara lain, jantung Suhendra mesti bekerja ekstrakeras, untuk bisa menyuplai darah ke semua bagian tubuh. Menurut Direktur RS Kartini di Kisaran, dr. Adi Surya Zein, kebocoran itu juga mengganggu pertumbuhan Suhendra, hingga kalah cepat dibanding adiknya. "Saat dibawa ke Jakarta, berat Suhendra hanya 9 kilo, sedangkan adiknya 12 kilogram," kata Adi Surya. Menurut ahli bedah jantung RS Harapan Kita, dr. Tarmizi Hakim, kebocoran itu juga menyebabkan paru-paru Suhendra banjir. "Gangguan itu menyebabkan rusaknya pembuluh arteri paru-paru, yang kemudian menyebabkan munculnya hipertensi pulmonal, tekanan darah tinggi di pembuluh paru," kata Tarmizi. Hipertensi pulmonal itulah yang terutama mengancam jiwa Suhendra sekarang ini. Para ahli sebetulnya bisa meneliti sejauh mana kerusakan itu mengancam operasi bedah jantung yang akan dijalankan. Untuk ini mereka dapat berpedoman pada angka tes resistensi pembuluh paru terhadap oksigen yang diberikan (PAR). Bila angka PAR kecil, misalnya di bawah 4, operasi boleh dibilang aman. Tapi bila angka PAR antara 8 dan 12, risikonya tinggi. Nah, pada Adi Suhendra, angka PAR ini berada di atas 50. Kendati risikonya luar biasa tinggi, tampaknya tak ada pilihan lain: operasi penutupan kebocoran harus dijalankan, demi menyelamatkan nyawa Adi Suhendra. Kalau operasi ditunda, maka konplikasi akan semakin sulit, baik itu komplikasi pada paru maupun pada jantung. Tarmizi sendiri sudah menjalankan operasi jantung sejenis terhadap 8 pasien lain. Dan semuanya berhasil. Hanya bedanya, ke-8 pasien itu memiliki PAR yang jauh lebih kecil dari Suhendra. Alhasil, sekarang Tarmizi dan kawan-kawan terus melakukan pemantauan ketat dan konsultasi jarak jauh -- ke Australia -- demi menyelamatkan Suhendra. "Apa pun yang akan kami lakukan, itu adalah pilihan yang terbaik bagi Suhendra," tutur Tarmizi. "Dia sudah saya anggap sebagai anak sendiri."Syafiq Basri (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini