Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang istimewa di pagi itu bagi Lou. Ia bangun seperti biasa, bersiap-siap mandi. Udara cerah, cukup nyaman untuk berangkat dari apartemennya di Kota Guangzhou, Cina, ke kantornya, sebuah stasiun televisi di pusat kota. Sebagai produser salah satu acara di stasiunnya, di hari-hari menjelang Natal 2003 itu banyak yang harus ia kerjakan.
Saat melangkah ke kamar mandi, Lou tertegun. Seonggok bangkai anak tikus tergeletak di bak mandi. Tapi, di kompleks apartemennya, sudah biasa bila tikus ataupun kecoa masuk rumah. Lou pun mengambil sumpit, lalu menjepit bangkai tikus itu dan membuangnya ke luar jendela.
Lou sudah melupakan bayi tikus itu ketika sepekan kemudian ia merasa tidak enak badan. Awalnya hanya batuk-batuk kecil, lalu disusul panas badan yang tidak kunjung turun. Kian hari, demam yang ia derita kian hebat. Tapi bukan itu yang membuat Lou menderita. Yang sangat mengejutkan pria 32 tahun itu adalah vonis dokter di Rumah Sakit Rakyat Guangzhou, tempatnya diopname. Vonis itu singkat tapi mematikan: Lou terjangkit virus SARS.
Ya, inilah virus yang menghebohkan dunia dua tahun lalu. Muncul pertama kali—juga di Guangzhou, kota asal Lou—pada 16 November 2002, bak transmisi satelit virus ini segera menyebar ke seluruh pelosok dunia. Tercatat 29 negara, termasuk Indonesia, melaporkan penemuan kasus SARS ke badan kesehatan dunia, WHO. Hingga WHO menyatakan secara resmi virus ini telah dapat ditumpas pada 26 September 2003, jumlah kasus yang tercatat mencapai 8.098 kasus dengan korban tewas 774 orang.
Dua tahun lalu, pemerintah Cina berusaha keras menutup-nutupi berjangkitnya wabah itu. Tapi kini mereka telah belajar banyak. Tak lebih dari sepekan setelah Lou masuk rumah sakit, Departemen Kesehatan Cina pada 27 Desember menyatakan secara resmi bahwa Lou terjangkit SARS.
Cina pun geger. Inilah kasus pertama sejak WHO menyatakan SARS telah punah dari negeri itu pada Juni 2003 lalu. Tak urung, kepanikan merebak. Apalagi pekan lalu pemerintah Cina kembali mengumumkan ada korban baru. Kali ini pengidapnya pelayan wanita sebuah restoran di Guangzhou berusia 20 tahun.
Dengan cepat, kepanikan merambat ke luar daratan Cina. Di Hong Kong, monitor pemantau suhu tubuh penumpang yang sempat digudangkan akhirnya dipasang lagi di bandara internasional mereka. Di Singapura, petugas medis memelototi para penumpang yang baru turun di Bandara Changi, khususnya mereka yang datang dari Hong Kong dan Cina. Setiap minggu setidaknya ada 87 penerbangan dari Hong Kong dan 12 dari Guangzhou.
Jakarta juga tak kalah bersiaga. Meski suasana di Bandara Soekarno-Hatta masih normal, Departemen Kesehatan sudah menyiapkan langkah-langkah pengamanan. Mereka antara lain segera menyiagakan petugas di lini depan. "Kami akan menyiapkan tim di pelabuhan-pelabuhan dan bandara," kata Umar Fahmi, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2ML), kepada Tempo News Room di Jakarta, Jumat, 9 Januari.
Rakyat Cina makin panik ketika para ahli mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hong Kong menduga virus SARS pada Lou kemungkinan berasal dari daging musang. Secara genetis, virus di tubuh musang mirip virus corona yang bermigrasi ke tubuh Lou. "Saya khawatir virus ini mungkin lebih mudah menular pada manusia," kata Profesor Yuen Kwok Yung, Kepala Departemen Mikrobiologi Universitas Hong Kong.
Musang adalah santapan favorit warga Guangzhou. Artinya, jika teori musang berbulu virus itu benar, korban potensial SARS akan mencapai ribuan orang. Teori musang pula yang membuat Departemen Kesehatan Cina mengeluarkan keputusan drastis. Mereka memerintahkan membantai sedikitnya 10 ribu musang yang diperjualbelikan di pasar bebas. Bangkai-bangkai musang itu juga harus disucihamakan dan dikubur agar tak menular. Larangan makan dan memperjualbelikan hewan-hewan liar yang diduga bisa menularkan virus SARS juga ditempel di mana-mana.
Tapi Lou, yang pekan lalu berangsur sembuh, membantah teori itu. Kepada wartawan, pria berusia 32 tahun yang identitas jelasnya tak diungkap ini mengaku, terakhir ia menyantap musang adalah sebulan sebelum demam. Artinya, jauh dari masa inkubasi virus SARS yang berkisar 7 hingga 14 hari.
Para peneliti di WHO pun meragukan bahwa dosa musang sudah begitu besar . "Kami belum melihat bukti kuat musang adalah binatang pembawa virus," kata Ketua Tim SARS WHO, Julie Hall, yang sudah siaga di Beijing, Cina, kepada BBC. Penjelasan yang terlambat, karena ribuan musang tak berdosa telanjur dibantai.
Musang atau bukan penyebabnya, yang pasti sampai sekarang para ahli medis masih belum mampu memecahkan misteri mengapa SARS yang telah punah bisa bangkit dari kuburnya untuk membalas dendam. Yang bisa mereka berikan baru sejumlah spekulasi. Salah satunya, dugaan bahwa virus SARS kali ini adalah jenis yang telah mengalami mutasi genetis. "Jelas itu virus corona, tapi tes genetis menunjukkan karakter virus ini berbeda dengan SARS tahun lalu," kata Chen Qiuxia, peneliti di Pusat Pencegahan Penyakit Menular Guangdong.
Masih ada teori lain. Menurut Lawrence K. Altman, penulis kolom kesehatan di koran berpengaruh Amerika, New York Times, terlalu dini menyimpulkan telah terbit sejenis virus maut baru. "Kemungkinan yang terjadi, sebetulnya Lou sudah mengidap SARS ketika virus itu menyerang tahun lalu, tapi baru aktif sekarang," kata Altman.
Julie Hall, yang timnya masih terus memonitor kasus ini, mengaku teori "reaktivasi virus" itu adalah salah satu yang sedang mereka kaji kemungkinannya. Teori ini memang lebih menenteramkan. Sebab, jika benar terjadi mutasi genetis, upaya pembasmiannya akan lebih sulit.
L. Burhan Sholihin, Ayu Cipta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo