KALAU boleh dipertandingkan, nampaknya TBC masih bertahan dalam
ranking "tiga besar penyakit rakyat" -- di samping malaria dan
muntah berak. WHO sendiri menggolongkan negara kita ke dalam
high prevalence country, sebuah gelar untuk negeri yang tinggi
tingkat penularan TBC. Saban tahun yang terbunuh berkisar antara
30 ribu sampai 40 ribu jiwa. Berbareng dengan itu tiap tahunnya
muncul penderita baru sekitar 200 ribu orang (TEMPO, 6 September
1975).
Keadaan tersebut tentu saja membikin masyarakat dan pemerintah
prihatin Lebih-lebih efektivitas yang dicapai pengobatan secara
konvensionil dengan Streptomycin, kombinasi INH dan PAS
dirasakan ketinggalan langkah. Meskipun lebih tepat jika
dikatakan bahwa resistensi terhadap senjata konvensionil
tersebut lebih banyak tergantung pada disiplin pengobatan dan
kondisi sosial ekonomi penderita.
Hadiah Nobel
Untuk meningkatkan pemberantasan terhadap TBC (dan penyakit
infeksi lainnya) itu, sejak beberapa tahun yang lalu sebuah
perusahaan farmasi asing. Dow-Lepetit, bekerjasama dengan
perusahaan nasional Kimia Farma, telah memperkenalkan Rifampicin
untuk dipakai di Indonesia. Sementara tahun lalu. Ciba Geigy
Indonesia tercatat yang pertama melakukan serangkaian percobaan
klinis dengan antibiotika tersebut di kalangan ABRI dan terhadap
sejumlah penderita TBC di Jawa-Timur. Meskipun kesimpulannya
belum final, namun dari laporan dr Soekadis Tjokrosedono di
Medika (Pebruari, 1976), dapat dikatakan bahwa jangka waktu
penyembuhan dengan rifampicin (merek dagang: Rimactane)
mengalami perpendekan. Dibandingkan dengan pengobatan dengan
kombinasi INH dan PAS yang makan waktu relatif lama, rifampicin
nampaknya memiliki ciri-ciri keunggulan lainnya dari
streptomycin. Yang disebut terakhir ini tidak jarang menimbulkan
efek samping berupa kuping budek. Lagi pula kalau pengobatan
dengan streptomycin lewat jarum injeksi, rifampicin yang
berbentuk kapsul (150 dan 300 mg) lewat mulut.
Rifampicin berasal dari jamur Streptomyces mediterranei. Pertama
berhasil diisolasi oleh Lepetit pada tahun 1957 dengan nama
preparat Rifamycin. Kemudian pada tahun 1963, antibiotika
rifamycin ini oleh Profesor Vladimir Prelog dari Federal
Inshtute of Technology, Swiss, bekerjasama dengan laboratorium
Lepetit Italia, ditingkatkan menjadi rifampicin yang kini
dikenal dengan merek dagang Rifadin (Kimia Farma) dan rimactane
(Ciba Geigy). Proses kimianya menjelimet dan makan biaya. Itu
pula sebabnya rifampicin mahal harganya. Satu butir kapsul (300
mg) sekitar Rp 300. Profesor Prelog sendiri pada tahun 1975
kemarin, mendapat anugrah hadiah Nobel berkat jasa-jasanya di
bidang kedokteran.
Cari Makan
Bagaimana menjadikan rifampicin konsumsi penderita TB yang pada
umumnya bergelimang dalam kondisi sosial ekonomi yang lemah?
Harapan itu mudah-mudahan saja bisa terkabul. Tanggal 4 Maret
yang lalu Unit Produksi Kimia Farma Bandung telah meresmikan
berdirinya pabrik bahan baku rifampicin itu. Pembukaannya
dilakukan oleh Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan drs. Sunarto
Prawirosujanto sendiri. Pabrik rifampicin yang terletak dalam
kompleks pabrik kina Kimia Farma Bandung itu dinilai Ditjen POM
sebagai "arti yang penting dalam usaha mensukseskan program
pemerintah dalam pemberantasan penyakit TBC". Pengadaan bahan
baku itu sendiri merupakan bahan baku yang ke-7 yang diproduksi
Kimia Farma. Dan diharapkan Dirjen akan merangsang pabrik-pabrik
lain untuk berbuat hal serupa sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah yang mengharuskan pembuatan bahan baku obat-obat
impor di dalam negeri. Menurut keterangan, Ciba Geigy Indonesia
pada awal April ini akan meresmikan pernbukaan proyek rifampicin
nya pula di Jalan Raya Jakarta-Bogor. Dengan kapasitas produksi
bahan baku 4 ton setahun (1 kg: $ 900 AS) yang dimiliki Kimia
Farma, apakah proyek Ciba Geigy itu tidak menimbulkan saingan ?
"Saya tidak ingin menggunakan istilah itu. Yang lebih tepat,
kita sama-sama cari makan. Sama-sama menyediakan obat yang
diperlukan rakyat", kata Direktur Utama PT Kimia Farma, drs.
Sukarjo. Perlu dijelaskan kampanye rifampicin (Rifadin) oleh
Kimia Farma selain ditujukan untuk TBC, juga ditekankan sebagai
antibiotika ampuh terhadap pemberantasan penyakit urogenital
(penyakit saluran kencing dan lelamin). Sementara rimactane-nya
Ciba nampaknya khusus ditujukan pada TBC saja. "Hal itu
semata-mata kami menganggap untuk memberantas penyakit
urogenital, masih cukup tersedia antibiotika lainnya", kata
Direktur Medis Ciba Geigy, dr. F.H. Tsai, tanpa menolak adanya
kemungkinan rifampicin dipakai untuk mengobati penyakit lainnya.
Adakah ricampicin-nya Kimia Farma dan Ciba Geigy dapat diterima
oleh Departemen Kesehatan ke dalam program P3M (Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Menular)? "Kami sedang mempertimbangkan"
kata Dijen P3M, dr. Bachrawi, "soalnya harus diteliti dulu
efektifitasnya, baik dari segi teknik medis maupun dari segi
pembiayaannya". Yang pasti, makin murah dia makin dekat pada
rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini