TEGUH, pemimpin grup lawak Srimulat, duduk di bangku Wisma Seni.
Rambutnya tampak pirang karena semir rambut. Mukanya kelihatan
agak sedih, meskipun ia tetap tenang sebagaimana biasanya. Di
dekatnya, dengan muka yang agak kecut, duduk Effendi yang biasa
jadi tokoh Drakula. Hari itu ia kelihatan agak susut tubuhnya.
Sementara pembantunya yang menjadi asisten sutradara kelihatan
lebih banyak berpikir dari waktu-waktu sebelumnya. Berkata
Teguh: Mentalitas orang-orang Srimulat yang pindah itu saya kira
sudah rusak. Tapi saya mengerti kenapa mereka lari ke Jakarta,
saya malahan akan heran kalau mereka tidak pergi. Wong ada
bancaan (kenduri) kok tidak pergi?'
Sementara itu Johny Gudel, tokoh lawaknya yang meninggalkan
Srimulat dan hijrah menetap di Jakarta, tampak tenang-tenang. Ia
tampak tambah yakin pada dirinya sendiri. Tatkala seorang
wartawan mencoba menggodanya, dengan menakut-nakuti bahwa
--mungkin Teguh bossnya yang lama -- bisa melancarkan tenung,
Gudel berkata langsung: "Biarin. Nanti 'kan tenungnya balik
sendiri". Orang ini kelihatannya tidak menyembunyikan lagi
perangnya dengan Srimulat. Kini sejumlah orang-orang kuat
Srimulat, seperti Suroto yang kurus tapi tak pernah kering dari
lelucon, Karjo si AC-DC yang selalu muncul sebagai wanita dengan
gaya brutal, Sumiati primadona yang tidak pernah layu --
beramai-ramai bergabung ke Jakarta.
Sesudah bertahun-tahun berkumpul, dan dari kalangan para pelawak
yang semula tak berarti lahir itu lahir bintang-bintang yang
dikejar oleh para penonton, tak mungkin rasanya sebuah rombongan
Srimulat tidak pecah. Teguh, seorang penggagas cerita komedi
yang telah menelorkan ribuan nomor cerita yang berkwalitas baik,
masih tetap bersemboyan "pertunjukan tanpa bintang". Dengan ide
ini, ia menempatkan sutradara tetap sebagai sentral dalam setiap
pertunjukan. Begitulah kwalitas pertunjukan demi pertunjukan
dapat dikontrol bertahun-tahun, dan bertahan dalam takaran mutu
yang stabil, kalau tidak boleh dikatakan maju perlahan-lahan. Di
situlah rahasia pamor dari Srimulat, yang setiap hari main di
THR Surabaya itu, yang sering menjadi pusat keheranan orang: kok
bisa-bisanya bertahan, bahkan pada malam Minggu bisa main dua
kali.
Tapi orang seperti Johny Gudel -- seorang badut berbakat besar
seperti kata Teguh sendiri -- pada akhirnya tidak bisa menolak
kenyataan bahwa dia seolang bintang. Terutama karena tuntutan
kehidupan pribadinya sudah ia menangkan, karena hidup bersetia
pada grup rupanya ada batasnya juga. Gudel memasuki Jakarta
dengan gampang. Ia sudah merintis jalan sebelumnya, lewat
Srimulat yang selalu dibanjiri penonton kalau main di Teater
Terbuka TIM. Yang salah kemudian adalah buntut sampingannya.
Yakni di satu pihak bagaimana pun juga Gudel tentunya ingin juga
supaya di tempatnya yang baru ia ditemani kawan-kawannya yang
lama. Teman-temannya itu sendiri banyak yang kemudian lari ke
Jakarta, membuntuti jejak Gudel, karena harapan untuk hidup
lebih baik lebih berharga dari kesetiaan. "Biarlah", kata Teguh
menyembunyikan rasa sedihnya, "masih banyak kader, masih banyak
yang setia pada Srimulat, dengan itu saya akan membikin sesuatu
yang baru lagi, yang lebih baik dari apa yang mereka tiru
sekarang dari Srimulat".
Pada tanggal 5 Maret malam, waktu hujan mulai lagi turun di
Jakarta, rombongan Srimulat (main di TIM 5 sampai 9 Maret) yang
sedang mau makan ke warung tak jauh dari TIM kepergok dengan
rombongan Ria Jaya Johny Gudel yang rupanya sudah kebiasaan juga
makan di sekitar tempat itu. Sebagaimana diketahui, tanggal itu
juga Gudel dan kawan-kawannya memulai karir barunya memberikan
acara rutin di APHJ (lihat Box). Kedua belah pihak tampak
kemalu-maluan. Tetapi kemudian tangan-tangan sama-sama terulur
dan berjabatan. Meskipun agak tersendat-sendat, mereka tak
menolak untuk makan satu meja. Yang menarik adalah kedua belah
pihak tampak jauh lebih necis dari sebelumnya. Santoso dan
kawan-kawan nya yang dahulu memperkuat rombongan-musik Srimulat
tampak memakai jas biru muda yang rapi. Sementara Edy Geyol,
yang masih setia pada Srimulat, juga kelihatan lebih bersih dari
perawakannya yang lalu. Seseorang lalu nyeletuk: "Dari segi
ekonomi rupanya ada untungnya mereka pecah".
Srimulat Mundur
Tetapi pihak TIM awal-awal sudah tampak ragu dengan keuntungan
yang bisa diperolehnya kali ini tanpa Gudel. Poster-poster
Srimulat kelihatan disebar lebih dari biasanya. Entah oleh siapa
di beberapa tempat kelihatan bekas direnggut dengan paksa.
Apalagi suasana hujan yang kembali mengancam Jakarta sudah
terang tak membantu. Malam pertama saja, tatkala cuaca masih
dapat disabarkan agar tidak hujan sebelum pertunjukan berakhir,
seperempat bangku kosong. Kejadian ini tak pernah terjadi
sebelumnya dengan Srimulat. Malam itu dimainkan cerita Suami
Isteri Majemuk, tentang kehidupan keluarga yang simpang siur.
Judulnya saja sudah menarik perhatian, belum lagi
penyelesaiannya yang khas Srimulat. Teguh sendiri mengaku bahwa
rombongannya kali ini masih mencoba mendekati standarnya yang
lama. Kepergian mendadak orang-orang seperti Sumiati, Karjo dan
Suroto membuat mereka terpaksa putar otak untuk menambalnya
dengan segera. "Padahal ada niat saya untuk menyempurnakan
pertunjukan agar menjadi lebih halus lagi. Misalnya
menghilangkan adanya tokoh lelaki jadi wamta, yang bagaimanapun
terasa seperti agak anu", ujar Teguh. "Tetapi karena penonton di
sini sudah terbiasa dengan adanya tokoh itu kami terpaksa
menggantikan Karjo dengan Effendi". Begitulah ffendi seakan-akan
diusahakan menggantikan tempat Karjo. Tentu saja spesialis
Drakula ini agak kewalahan karena Karjo yang lebih terkenal
dengan panggilan AC-DC itu memang sukar ditandingi.
Pengunjung Srimulat bertambah sepi lagi karena adanya hujan.
Meskipun banyak orang masih ngotot membuka payung dan
menyaksikan pertunjukan malam minggu yang berjudul: Koleksi
Selir. Inipun sudah boleh dianggap sebagai kemunduran tragis
mengingat Srimulat dalam kunjungannya yang lalu masih begitu
jayanya: mobil sampai berjubel ke luar daerah TIM. Sampai-sampai
dengan sukses dilangsungkan Pertunjukan Tengah Malam -- yang
belum ada duanya untuk ukuran rombongan hiburan di TIM. Ini
harus diakui, betapapun kwalitas dagelan yang dimainkan tidak
banyak bedanya. Banyak juga yang merasakan bahwa ketawa agak
tersendat-sendat -- tapi ini mungkin karena faktor dalam diri
penonton sendiri karena merasa kehilangan Gudel, Sumiati dan
sebagainya. Ada memang muncul bakat-bakat baru yang penuh
harapan. Tapi apalah artinya itu, kalau penonton sudah datang
hanya untuk menguji bahwa kali ini mereka memang tidak bisa
ketawa. Nurlela si Kuda Lari itu juga masih datang. Bahkan
datang pula seorang biduanita bernama Wiwiek yang berhasil
meniru gaya dan suara Margie Segers plus Rien Djamain yang
menyanyi dengan irama jazz itu. Wiwiek dengan suara yang kasat,
kering tapi likat sebetulnya harta yang baik. Tetapi memang
penonton sudah terlanjur ingin mengatakan bahwa rombongan yang
tidak utuh ini, baik dagelan maupun musiknya sudah mundur.
"Saya belum kehabisan, masak saya bisa kehabisan", ujar Teguh
yang rupanya bertekad untuk segera mengadakan
perubahan-perubahan pada acara-acara yang akan datang. "Untuk
selanjutnya cerita-cerita kami mungkin akan lebih cenderung pada
cerita-cerita fantasi yang bukan merupakan kenyataan mentah.
Tetapi akan selalu ada sesuatu yang aneh, terutama dalam
penyelesaiannya. Karena kalau tidak ada sesuatu yang aneh ketawa
akan hambar saja", ujar Teguh. Ia sempat juga bilang bahwa
dahulu pernah ia ditawari untuk memindahkan Srimulat ke Jakarta.
Ia menolak, karena paling hanya bisa menawarkan cabang, bukan
boyongan. "Kami ini sudah dianggap warga dari kota Surabaya,
masak begitu saja harus pergi. Sekarang inipun sebetulnya saya
agak tidak enak juga, kalau-kalau persoalan yang ada sekarang
ini sampai membuat ada pejabat yang saling tidak enak", katanya.
Ia menerangkan bagaimana derasnya datang utusan-utusan rahasia
untuk membujuk anak buahnya untuk bergabung dengan Johny Gudel.
Ada yang dipancing dengan jumlah-jumlah uang yang memang membuat
beberapa orang menjadi tergiur juga. "Seorang wartawan
memperlihatkan kepada saya bahwa seorang pemain bekas dari
Srimulat mendapat gaji Rp 75 ribu sebulan. Kalau cuma untuk
jumlah itu saya kira rugi dia, karena di Surabaya dia bisa
mendapat sampai Rp 100 ribu sebulan karena main panggilan di
luar acara Srimulat. Belum lagi standar hidup yang berbeda besar
antara Jakarta dan Surabaya", ujar Teguh memberi komentar
terhadap anak buahnya yang lari dengan alasan mengejar hidup
yang lebih baik.
Dengan cukup ironis pada malam dimainkannya cerita
Drakula-Piaraan, pengunjung sekitar tiga perempat dari Teater
Terbuka --muncul tokoh dalang dalam acara eksentrik. Ia
mula-mula mengaku menjadi dalang yang bangkrut karena
wayang-wayangnya habis ludas kebanjiran di Jakarta. "Sekarang
tinggal cuma satu", ujarnya sambil memperlihatkan tokoh Arjuna.
"Jadi kapok sekarang pergi ke Kulon ! " Penonton
terpingkal-pingkal tatkala ia melanjutkan permainan wayangnya
dengan menyanyikan sebuah lagu rock and roll. Tapi ada juga yang
merasa kasihan melihat nasib Srimulat yang ditinggal warganya.
Sementara itu Ali Sadikin dalam pertemuan dengan pemain-pemain
Srimulat yang pindah ke Ria Jaya Johny Gudel -- benar-benar
meminta wartawan untuk mencatat bahwa jangan sampai disangka
Jakarta sengaja menyedot artis-artis daerah. "Saya sebenarnya
tidak pernah mengundang mereka, apalagi untuk berdomisili di
Jakarta", kata Gubernur itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini