Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Sisa-sisa srimulat

Anggota srimulat pindah ke jakarta. untuk mengejar masa depan yang lebih baik. teguh, pimpinan srimulat, bersemboyan "pertunjukan tanpa bintang", tapi kemunduran grup itu tak dapat disembunyikan. (hb)

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEGUH, pemimpin grup lawak Srimulat, duduk di bangku Wisma Seni. Rambutnya tampak pirang karena semir rambut. Mukanya kelihatan agak sedih, meskipun ia tetap tenang sebagaimana biasanya. Di dekatnya, dengan muka yang agak kecut, duduk Effendi yang biasa jadi tokoh Drakula. Hari itu ia kelihatan agak susut tubuhnya. Sementara pembantunya yang menjadi asisten sutradara kelihatan lebih banyak berpikir dari waktu-waktu sebelumnya. Berkata Teguh: Mentalitas orang-orang Srimulat yang pindah itu saya kira sudah rusak. Tapi saya mengerti kenapa mereka lari ke Jakarta, saya malahan akan heran kalau mereka tidak pergi. Wong ada bancaan (kenduri) kok tidak pergi?' Sementara itu Johny Gudel, tokoh lawaknya yang meninggalkan Srimulat dan hijrah menetap di Jakarta, tampak tenang-tenang. Ia tampak tambah yakin pada dirinya sendiri. Tatkala seorang wartawan mencoba menggodanya, dengan menakut-nakuti bahwa --mungkin Teguh bossnya yang lama -- bisa melancarkan tenung, Gudel berkata langsung: "Biarin. Nanti 'kan tenungnya balik sendiri". Orang ini kelihatannya tidak menyembunyikan lagi perangnya dengan Srimulat. Kini sejumlah orang-orang kuat Srimulat, seperti Suroto yang kurus tapi tak pernah kering dari lelucon, Karjo si AC-DC yang selalu muncul sebagai wanita dengan gaya brutal, Sumiati primadona yang tidak pernah layu -- beramai-ramai bergabung ke Jakarta. Sesudah bertahun-tahun berkumpul, dan dari kalangan para pelawak yang semula tak berarti lahir itu lahir bintang-bintang yang dikejar oleh para penonton, tak mungkin rasanya sebuah rombongan Srimulat tidak pecah. Teguh, seorang penggagas cerita komedi yang telah menelorkan ribuan nomor cerita yang berkwalitas baik, masih tetap bersemboyan "pertunjukan tanpa bintang". Dengan ide ini, ia menempatkan sutradara tetap sebagai sentral dalam setiap pertunjukan. Begitulah kwalitas pertunjukan demi pertunjukan dapat dikontrol bertahun-tahun, dan bertahan dalam takaran mutu yang stabil, kalau tidak boleh dikatakan maju perlahan-lahan. Di situlah rahasia pamor dari Srimulat, yang setiap hari main di THR Surabaya itu, yang sering menjadi pusat keheranan orang: kok bisa-bisanya bertahan, bahkan pada malam Minggu bisa main dua kali. Tapi orang seperti Johny Gudel -- seorang badut berbakat besar seperti kata Teguh sendiri -- pada akhirnya tidak bisa menolak kenyataan bahwa dia seolang bintang. Terutama karena tuntutan kehidupan pribadinya sudah ia menangkan, karena hidup bersetia pada grup rupanya ada batasnya juga. Gudel memasuki Jakarta dengan gampang. Ia sudah merintis jalan sebelumnya, lewat Srimulat yang selalu dibanjiri penonton kalau main di Teater Terbuka TIM. Yang salah kemudian adalah buntut sampingannya. Yakni di satu pihak bagaimana pun juga Gudel tentunya ingin juga supaya di tempatnya yang baru ia ditemani kawan-kawannya yang lama. Teman-temannya itu sendiri banyak yang kemudian lari ke Jakarta, membuntuti jejak Gudel, karena harapan untuk hidup lebih baik lebih berharga dari kesetiaan. "Biarlah", kata Teguh menyembunyikan rasa sedihnya, "masih banyak kader, masih banyak yang setia pada Srimulat, dengan itu saya akan membikin sesuatu yang baru lagi, yang lebih baik dari apa yang mereka tiru sekarang dari Srimulat". Pada tanggal 5 Maret malam, waktu hujan mulai lagi turun di Jakarta, rombongan Srimulat (main di TIM 5 sampai 9 Maret) yang sedang mau makan ke warung tak jauh dari TIM kepergok dengan rombongan Ria Jaya Johny Gudel yang rupanya sudah kebiasaan juga makan di sekitar tempat itu. Sebagaimana diketahui, tanggal itu juga Gudel dan kawan-kawannya memulai karir barunya memberikan acara rutin di APHJ (lihat Box). Kedua belah pihak tampak kemalu-maluan. Tetapi kemudian tangan-tangan sama-sama terulur dan berjabatan. Meskipun agak tersendat-sendat, mereka tak menolak untuk makan satu meja. Yang menarik adalah kedua belah pihak tampak jauh lebih necis dari sebelumnya. Santoso dan kawan-kawan nya yang dahulu memperkuat rombongan-musik Srimulat tampak memakai jas biru muda yang rapi. Sementara Edy Geyol, yang masih setia pada Srimulat, juga kelihatan lebih bersih dari perawakannya yang lalu. Seseorang lalu nyeletuk: "Dari segi ekonomi rupanya ada untungnya mereka pecah". Srimulat Mundur Tetapi pihak TIM awal-awal sudah tampak ragu dengan keuntungan yang bisa diperolehnya kali ini tanpa Gudel. Poster-poster Srimulat kelihatan disebar lebih dari biasanya. Entah oleh siapa di beberapa tempat kelihatan bekas direnggut dengan paksa. Apalagi suasana hujan yang kembali mengancam Jakarta sudah terang tak membantu. Malam pertama saja, tatkala cuaca masih dapat disabarkan agar tidak hujan sebelum pertunjukan berakhir, seperempat bangku kosong. Kejadian ini tak pernah terjadi sebelumnya dengan Srimulat. Malam itu dimainkan cerita Suami Isteri Majemuk, tentang kehidupan keluarga yang simpang siur. Judulnya saja sudah menarik perhatian, belum lagi penyelesaiannya yang khas Srimulat. Teguh sendiri mengaku bahwa rombongannya kali ini masih mencoba mendekati standarnya yang lama. Kepergian mendadak orang-orang seperti Sumiati, Karjo dan Suroto membuat mereka terpaksa putar otak untuk menambalnya dengan segera. "Padahal ada niat saya untuk menyempurnakan pertunjukan agar menjadi lebih halus lagi. Misalnya menghilangkan adanya tokoh lelaki jadi wamta, yang bagaimanapun terasa seperti agak anu", ujar Teguh. "Tetapi karena penonton di sini sudah terbiasa dengan adanya tokoh itu kami terpaksa menggantikan Karjo dengan Effendi". Begitulah ffendi seakan-akan diusahakan menggantikan tempat Karjo. Tentu saja spesialis Drakula ini agak kewalahan karena Karjo yang lebih terkenal dengan panggilan AC-DC itu memang sukar ditandingi. Pengunjung Srimulat bertambah sepi lagi karena adanya hujan. Meskipun banyak orang masih ngotot membuka payung dan menyaksikan pertunjukan malam minggu yang berjudul: Koleksi Selir. Inipun sudah boleh dianggap sebagai kemunduran tragis mengingat Srimulat dalam kunjungannya yang lalu masih begitu jayanya: mobil sampai berjubel ke luar daerah TIM. Sampai-sampai dengan sukses dilangsungkan Pertunjukan Tengah Malam -- yang belum ada duanya untuk ukuran rombongan hiburan di TIM. Ini harus diakui, betapapun kwalitas dagelan yang dimainkan tidak banyak bedanya. Banyak juga yang merasakan bahwa ketawa agak tersendat-sendat -- tapi ini mungkin karena faktor dalam diri penonton sendiri karena merasa kehilangan Gudel, Sumiati dan sebagainya. Ada memang muncul bakat-bakat baru yang penuh harapan. Tapi apalah artinya itu, kalau penonton sudah datang hanya untuk menguji bahwa kali ini mereka memang tidak bisa ketawa. Nurlela si Kuda Lari itu juga masih datang. Bahkan datang pula seorang biduanita bernama Wiwiek yang berhasil meniru gaya dan suara Margie Segers plus Rien Djamain yang menyanyi dengan irama jazz itu. Wiwiek dengan suara yang kasat, kering tapi likat sebetulnya harta yang baik. Tetapi memang penonton sudah terlanjur ingin mengatakan bahwa rombongan yang tidak utuh ini, baik dagelan maupun musiknya sudah mundur. "Saya belum kehabisan, masak saya bisa kehabisan", ujar Teguh yang rupanya bertekad untuk segera mengadakan perubahan-perubahan pada acara-acara yang akan datang. "Untuk selanjutnya cerita-cerita kami mungkin akan lebih cenderung pada cerita-cerita fantasi yang bukan merupakan kenyataan mentah. Tetapi akan selalu ada sesuatu yang aneh, terutama dalam penyelesaiannya. Karena kalau tidak ada sesuatu yang aneh ketawa akan hambar saja", ujar Teguh. Ia sempat juga bilang bahwa dahulu pernah ia ditawari untuk memindahkan Srimulat ke Jakarta. Ia menolak, karena paling hanya bisa menawarkan cabang, bukan boyongan. "Kami ini sudah dianggap warga dari kota Surabaya, masak begitu saja harus pergi. Sekarang inipun sebetulnya saya agak tidak enak juga, kalau-kalau persoalan yang ada sekarang ini sampai membuat ada pejabat yang saling tidak enak", katanya. Ia menerangkan bagaimana derasnya datang utusan-utusan rahasia untuk membujuk anak buahnya untuk bergabung dengan Johny Gudel. Ada yang dipancing dengan jumlah-jumlah uang yang memang membuat beberapa orang menjadi tergiur juga. "Seorang wartawan memperlihatkan kepada saya bahwa seorang pemain bekas dari Srimulat mendapat gaji Rp 75 ribu sebulan. Kalau cuma untuk jumlah itu saya kira rugi dia, karena di Surabaya dia bisa mendapat sampai Rp 100 ribu sebulan karena main panggilan di luar acara Srimulat. Belum lagi standar hidup yang berbeda besar antara Jakarta dan Surabaya", ujar Teguh memberi komentar terhadap anak buahnya yang lari dengan alasan mengejar hidup yang lebih baik. Dengan cukup ironis pada malam dimainkannya cerita Drakula-Piaraan, pengunjung sekitar tiga perempat dari Teater Terbuka --muncul tokoh dalang dalam acara eksentrik. Ia mula-mula mengaku menjadi dalang yang bangkrut karena wayang-wayangnya habis ludas kebanjiran di Jakarta. "Sekarang tinggal cuma satu", ujarnya sambil memperlihatkan tokoh Arjuna. "Jadi kapok sekarang pergi ke Kulon ! " Penonton terpingkal-pingkal tatkala ia melanjutkan permainan wayangnya dengan menyanyikan sebuah lagu rock and roll. Tapi ada juga yang merasa kasihan melihat nasib Srimulat yang ditinggal warganya. Sementara itu Ali Sadikin dalam pertemuan dengan pemain-pemain Srimulat yang pindah ke Ria Jaya Johny Gudel -- benar-benar meminta wartawan untuk mencatat bahwa jangan sampai disangka Jakarta sengaja menyedot artis-artis daerah. "Saya sebenarnya tidak pernah mengundang mereka, apalagi untuk berdomisili di Jakarta", kata Gubernur itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus