Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

15 gitar i.g.i

Malam pesta gitar yang diselenggarakan igi di teater besar tim dibanjiri peminat. tampil johnny legoh dan carl tanjong. (ms)

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA gitar di Teater Besar TIM (awal Maret) seperti membuka halaman baru yang penuh harapan tahun ini. Di luar dugaan, para peminat besar sekali jumlahnya, terutama dari kalangan remaja. Mereka seakan-akan berebut untuk mendapatkan tempat duduk -- Rp 300 sampai Rp 1000 tetapi toh banyak yang terpaksa pulang kendatipun sudah ada kursi tamhahan. Danny Tumiwa, ketua IGI (Ikatan Gitaris Indonesia, didirikan 9 September 1975) tampaknya puas sekali dengan penyelenggaraan kali ini. Dengan ditemani oleh ke-15 anggota IGI, ia telah menampilkan pada malam gitar itu suara gemerincing gitar klasik, flamenco, keroncong, pop dan jazz yang mendapat sambutan baik dari hadirin. Apalagi di barisan gitarnya terselip wajah-wajah, paling sedikit nama yang sudah dikenal oleh umum. Misalnya: Carl Tanjong (d/h Carl Tjakraningrat), Gesit, Johnny R. Legoh, Nelson W. Rumantir dan Danny Tumiwa sendiri. Mungkin berlimpah ruahnya penonton lantaran pada masa ini di Jakarta sedang ada demam kursus gitar, sebagai kelanjutan dari musim orang menoleh pada yang dinamakan folk song. Tentu saja di antara para penonton banyak terdapat murid-murid kursus gitar yang ingin melihat kepintaran suhu-suhu mereka. Mereka ini semua dengan kompaknya sambung menyambung. Puncak acara barangkali boleh dikatakan terletak pada permainan solo dari Carl yang pada malam pertama membawakan lagu lembut bernama Prelude No. 7. Diteruskan kemudian oleh kwartet Nelson, Virya Lesmana, Johnny Legoh dan Gesit membawakan Granada dan La Playa yang mendapat sambutan gemuruh. Gtanada yang dinamis itu agak luas dikenal sebelumnya, sehingga kwartet mendapat peluang yang baik untuk mengunci malam gitar itu dengan mengesankan. Ciptaan Danny Danny Tumiwa yang telah menyusun hampir 100 komposisi terutama untuk gitar, dua malam itu mencoba melemparkan ciptaannya yang ia sebut Pamungkah. Aransemennya sudah disiapkan sejak 1973, merupakan percobaan untuk menggaet musik tradisionil Bali. Tapi Danny sendiri tampaknya agak ragu pada dirinya sendiri sampai-sampai bertanya: "Gamelan Balinya terasa nggak ya?" Sebagian penonton memang belum merasa kerasnya bau Bali dari lagu yang melambung dengan lembut di tangan 13 orang gitaris itu Ensemble ini dinyatakan mengalami kesulitan sebelumnya dalam soal latihan. Bukan saja karena mereka sesama solois, tetapi juga karena punya kerja ganda. Akibanya memang dua malam pertunjukan itu yang lebih menonjol adalah pertunjukan tunggal, duet, trio atau kwartet. Danny sendiri rnengadu bahwa Pamungkah yang sesungguhnya diperuntukan untuk 4 gitar, pernah ditolak gitaris pribumi. "Barulah sesudah dimainkan oleh gitaris luar negeri, gitaris Indonesia mau memainkannya", kata Danny. Danny sendiri membawakan Morov Gitano de Granada Granadina. Gitaris yang baru pulang dari Sepanyol ini menepuk-nepuk lambung gitar, bagaikan tambur saja, mempermainkan kelima jari kirinya sambil menekan senar, dan sebagainya sedemikian rupa hingga penonton memberi keplok. Entah karena gaya gerak badan entah karena bagusnya itu permainan. Begitu pula entah karena senyum simpul Gesit, naka lagu yang ditariknya pada malam pertama Begadang & Anciet) yang terasa pop, mendapat sambutan meriah. Senyum itu menolong cacad permainannya pada malam kedua Begadang & Getting Old) yang terasa agak kacau. Insinyur listrik ini ternyata sudah kelupaan meskipun sudah berusaha mengulang pada refrain, sehingga ia hanya bisa judeg di kamar rias. "Wah, saya lupa tadi di mana ujungnya", sesalnya kemudian. Ada juga Jali-Jali Di samping Carl yang membawakan lagu seperti orang sedang dirundung cinta, dapat diketengahkan juga permainan dari H. Ronny Irianto -- guru musik di Yayasan Musik Indonesia dan YSMI yang berusia 25 tahun -- memainkan Mood for a day (Steve Howe). Kelima jarinya menyobek-nyobek lambung gitar dengan cekatan, sehingga penonton tak sabar memberi keplok sebelum lagu berakhir. Padahal kabarnya ia menyiapkan gitar tunggalnya itu hanya dalam beberapa hari saja. Sementara Adis Sugata -- 41 tahun menyelesaikan pula dengan baik Tres Flamenco (Ferruca, Alegrias por Rosa Tanguilo) dengan keplok panjang dari hadirin. Tah kurang dari itu, Nelson W. Rumantir bersama Cesit dan Virya sempat menyabet lagu Jali-Jali dalam irama keroncong yang membuat malam pertunjukan itu cukup beraneka warna juga. Meskipun sampai akhir 2 malam pertunjukan, semuanya berlangsung dengan baik, toh Danny masin merasa perlu juga mengeluh. Misalnya untuk duet gitar Ronny Irianto dan Johny Legoh yang membawakan El Vito dan Adios Granada -- pada malam kedua -- yang memang terasa fals ia berbisik: "Wah sayang, kenapa tidak distem dulu". Di samping itu memang perlu sekali peralatan tata suara dari gedung lebih diatur dengan teliti, agar gemerincing gitar-gitar itu tak ternoda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus