PESTA gitar di Teater Besar TIM (awal Maret) seperti membuka
halaman baru yang penuh harapan tahun ini. Di luar dugaan, para
peminat besar sekali jumlahnya, terutama dari kalangan remaja.
Mereka seakan-akan berebut untuk mendapatkan tempat duduk -- Rp
300 sampai Rp 1000 tetapi toh banyak yang terpaksa pulang
kendatipun sudah ada kursi tamhahan. Danny Tumiwa, ketua IGI
(Ikatan Gitaris Indonesia, didirikan 9 September 1975) tampaknya
puas sekali dengan penyelenggaraan kali ini. Dengan ditemani
oleh ke-15 anggota IGI, ia telah menampilkan pada malam gitar
itu suara gemerincing gitar klasik, flamenco, keroncong, pop dan
jazz yang mendapat sambutan baik dari hadirin. Apalagi di
barisan gitarnya terselip wajah-wajah, paling sedikit nama yang
sudah dikenal oleh umum. Misalnya: Carl Tanjong (d/h Carl
Tjakraningrat), Gesit, Johnny R. Legoh, Nelson W. Rumantir dan
Danny Tumiwa sendiri.
Mungkin berlimpah ruahnya penonton lantaran pada masa ini di
Jakarta sedang ada demam kursus gitar, sebagai kelanjutan dari
musim orang menoleh pada yang dinamakan folk song. Tentu saja di
antara para penonton banyak terdapat murid-murid kursus gitar
yang ingin melihat kepintaran suhu-suhu mereka. Mereka ini semua
dengan kompaknya sambung menyambung. Puncak acara barangkali
boleh dikatakan terletak pada permainan solo dari Carl yang pada
malam pertama membawakan lagu lembut bernama Prelude No. 7.
Diteruskan kemudian oleh kwartet Nelson, Virya Lesmana, Johnny
Legoh dan Gesit membawakan Granada dan La Playa yang mendapat
sambutan gemuruh. Gtanada yang dinamis itu agak luas dikenal
sebelumnya, sehingga kwartet mendapat peluang yang baik untuk
mengunci malam gitar itu dengan mengesankan.
Ciptaan Danny
Danny Tumiwa yang telah menyusun hampir 100 komposisi terutama
untuk gitar, dua malam itu mencoba melemparkan ciptaannya yang
ia sebut Pamungkah. Aransemennya sudah disiapkan sejak 1973,
merupakan percobaan untuk menggaet musik tradisionil Bali. Tapi
Danny sendiri tampaknya agak ragu pada dirinya sendiri
sampai-sampai bertanya: "Gamelan Balinya terasa nggak ya?"
Sebagian penonton memang belum merasa kerasnya bau Bali dari
lagu yang melambung dengan lembut di tangan 13 orang gitaris itu
Ensemble ini dinyatakan mengalami kesulitan sebelumnya dalam
soal latihan. Bukan saja karena mereka sesama solois, tetapi
juga karena punya kerja ganda. Akibanya memang dua malam
pertunjukan itu yang lebih menonjol adalah pertunjukan tunggal,
duet, trio atau kwartet. Danny sendiri rnengadu bahwa Pamungkah
yang sesungguhnya diperuntukan untuk 4 gitar, pernah ditolak
gitaris pribumi. "Barulah sesudah dimainkan oleh gitaris luar
negeri, gitaris Indonesia mau memainkannya", kata Danny.
Danny sendiri membawakan Morov Gitano de Granada Granadina.
Gitaris yang baru pulang dari Sepanyol ini menepuk-nepuk lambung
gitar, bagaikan tambur saja, mempermainkan kelima jari kirinya
sambil menekan senar, dan sebagainya sedemikian rupa hingga
penonton memberi keplok. Entah karena gaya gerak badan entah
karena bagusnya itu permainan. Begitu pula entah karena senyum
simpul Gesit, naka lagu yang ditariknya pada malam pertama
Begadang & Anciet) yang terasa pop, mendapat sambutan meriah.
Senyum itu menolong cacad permainannya pada malam kedua Begadang
& Getting Old) yang terasa agak kacau. Insinyur listrik ini
ternyata sudah kelupaan meskipun sudah berusaha mengulang pada
refrain, sehingga ia hanya bisa judeg di kamar rias. "Wah, saya
lupa tadi di mana ujungnya", sesalnya kemudian.
Ada juga Jali-Jali
Di samping Carl yang membawakan lagu seperti orang sedang
dirundung cinta, dapat diketengahkan juga permainan dari H.
Ronny Irianto -- guru musik di Yayasan Musik Indonesia dan YSMI
yang berusia 25 tahun -- memainkan Mood for a day (Steve Howe).
Kelima jarinya menyobek-nyobek lambung gitar dengan cekatan,
sehingga penonton tak sabar memberi keplok sebelum lagu
berakhir. Padahal kabarnya ia menyiapkan gitar tunggalnya itu
hanya dalam beberapa hari saja. Sementara Adis Sugata -- 41
tahun menyelesaikan pula dengan baik Tres Flamenco (Ferruca,
Alegrias por Rosa Tanguilo) dengan keplok panjang dari hadirin.
Tah kurang dari itu, Nelson W. Rumantir bersama Cesit dan Virya
sempat menyabet lagu Jali-Jali dalam irama keroncong yang
membuat malam pertunjukan itu cukup beraneka warna juga.
Meskipun sampai akhir 2 malam pertunjukan, semuanya berlangsung
dengan baik, toh Danny masin merasa perlu juga mengeluh.
Misalnya untuk duet gitar Ronny Irianto dan Johny Legoh yang
membawakan El Vito dan Adios Granada -- pada malam kedua -- yang
memang terasa fals ia berbisik: "Wah sayang, kenapa tidak distem
dulu". Di samping itu memang perlu sekali peralatan tata suara
dari gedung lebih diatur dengan teliti, agar gemerincing
gitar-gitar itu tak ternoda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini