Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Malam pertama gudel

Grup lawak ria jaya johny gudel-pecahan dari srimulat mulai manggung di jakarta. mereka tampil banyak mengulang apa yang pernah diperoleh di srimulat. (hb)

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN lakon Boyong ke Kota, grup baru "Ria Jaya Johny Gudel" memulai perdagangan ketawanya di gedung pertemuan APHJ -- kompleks Arena Pekan Raya Jakarta, 4 Maret yang lalu. Ruang yang hanya memiliki daya tampung 600 tampak penuh. Dalam cahaya lampu yang remang, sementara rombongan musik mulai meningkah dengan Keroncong Moritsko, tampak terselip di antara penonton orang-orang terkenal seperti Ali Said, Bardosono dan Wakil Gubernur DKI Urip Widodo. "Mudah-mudahan adanya grup ini di Jakarta akan bisa melonggarkan syaraf bapak-bapak yang selalu tegang dengan segala macam urusan", ucap Subroto Kusmarjo ketua Yayasan Dharma Bhakti yang mendalangi pembukaan itu. Langsung saja kemudian Karjo -- yang masih tetap memakai busana kaum hawa -- tampil sebagai babu Atmonadi. Tak bedanya dengan pola penyuguhan cerita dalam Srimulat, babu inipun dibiarkan dulu memuntahkan isi perutnya yang lucu-lucu. Sampai kemudian datang seorang tamu. Tamu pertama yang kepingin bertemu dengan Atmonadi cepat pergi, setelah tahu tuan rumah tak ada. Beruntun kemudian menyusul 3 tamu lainnya dengan segala macam urusan di antaranya nagih rekening listrik. Terakhir muncullah Gudel yang rupanya ingin menemui Atmonadi yang disebutnya keluarga. Karjo tak percaya, sehingga timbul perang mulut. Perang itu baru reda setelah keluar isteri Atmonadi diikuti oleh Atmonadi sendiri yang memakai surjan. Tak disangka tuan rumah ini malu melihat Gudel yang kelihatan kampungan. Bertentangan dengan isterinya yang mau menerima Gudel, Atmonadi mengusir adiknya itu. Akibatnya Gudel terpaksa angkat kaki -- bahkan isteri Atmonadipun ikut angkat kaki juga. Melodrama ini cepat-cepat ditutup dengan layar babak pertama. Sutradara & Penulis Lakon Sebelum babak dua, kembali para penyanyi membawakan lagu-lagu pop, keroncong dan langgam Jawa. Acara ini pernah juga menjadi bingkisan tetap Srimulat. Tetapi kini sudah diganti dengan tari-tarian. Singkat cerita, memasuki babak kedua, kembali seorang jongos tampak membersihkan beranda yang mewah. Tak bedanya dengan babak terdahulu, jongos inipun tampak sedang menunggu tamu. Tatkala para tamu datang beruntun, tampaklah Sumiati muncul dengan gayanya yang santai sebagaimana biasanya. Tak tersangka pada saat ada tetamu keluarga, muncul pula wajah bloon dari Johny Gudel yang ternyata adalah suami Sumiati. Berturut-turut kemudian muncul pula isteri Atmonadi yang diikuti oleh seorang pengemis -- eh, ternyata pengemisnya adalah Atmonadi sendiri. Selebihnya dapat diduga sendiri. Dengan jelas terpapar moral apa yang hendak diajarkan oleh dagelan ini, karena Gudel kemudian membalas kejahatan kakaknya dengan kebaikan. Menurut beberapa pengamat, Ria Jaya Johny Gudel ini (di samping anggotanya 90% bekas anak buah Srimulat) jelas maunya mengulang apa yang sudah dilakukan oleh Teguh. Baik dalam pembagian babak, baik dalam penyuguhan musik. Tapi mungkin sekali karena demam malam pertama, mungkin karena keadaan panggung yang terasa memang terlalu sempit, mungkin juga karena adanya beberapa orang yang belum menemukan bentuk kerjasama yang sip, seringkali banyolan terasa bertele-tele. Lalu malahan jadi serius. Yang jelas ada kelemahan dalam pembangunan cerita yang menjadi dasar tolak dari raja-raja badut yang sekarang sudah berkumpul itu. Ini membutuhkan seorang penulis cerita, dan kemudian seorang sutradara yang sanggup menempatkan raja-raja itu pada posisinya yang pas. Sehingga setiap orang muncul dengan kocaknya pada setiap sudut, baik sudut yang besar maupun sudut yang kecil. Catur Mungkin perlu diperhatikan apa yang dikatakan oleh Mustopha -- asisten Teguh yang banyak mengamati perkembangan Gudel di Jakarta. "Gudel dan Karjo bukan pemain catur, mereka harus pandai-pandai dicarikan kesempatan yang pas dengan keunggulan mereka. Berbeda dengan Suroto dan Totok Hidayat misalnya yang banyak gagasan, Gudel dan Karjo jangan disuruh berfikir. Kalau dibebani adegan di mana dia harus berpikir akan gagal", katanya di Wisma Seni. Sementara itu Teguh yang pernah andil dalam mendidik Gudel, Kardjo dan Suroto hanya memberi komentar: "Gudel memang seorang pelawak yang besar sekali kemampuannya, tapi dia memerlukan seorang sutradara". Memang belum waktunya meramal pada saat ini. Atmonadi dan Gudelnya tentunya tidak akan begitu bodoh untuk menyia-nyiakan kesempatan memiliki seorang sutradara dan penulis cerita sebab Ria Jaya Johny Gudel dimaksudkan akan berjalan rutin. Bahkan Ali Sadikin telah menjanjikan sebuah gedung. Hanya saja kalau kelemahan-kelemahan kecil itu mulai dipersetankan sekarang, memang akan sayang sekali. Jangan lupa Jakarta juga pernah punya Lenggang Jakarta. Beroperasinya di tempat operasi Ria Jaya Johny Gudel sekarang, yang dibangun dengan semangat dan idealisme, yang mungkin sama besarnya dengan ambisi pada Gudel sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus