Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU siang awal Oktober, ada acara peluncuran obat disfungsi ereksi di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Cahaya di ruangan tempat acara temaram karena hanya ada penerangan puluhan lilin. ”Obat kami menyalakan kembali keutuhan menjadi lelaki,” kata si empunya acara. Gambar nyala lilin dipakai sebagai lambang oleh BayerGlaxoSmithKline saat meluncurkan Levitra hari itu.
Produk perusahaan obat asal Jerman itu adalah obat disfungsi ereksi atawa antiimpoten kedua setelah Viagra, yang diluncurkan Pfizer hampir lima tahun lalu. Satu lagi yang bakal masuk Indonesia adalah Cialis, produksi Eli Lilly and Co. dan Icos Corp. dari Amerika Serikat. Impoten rupanya menjadi bisnis yang makin menggiurkan. Viagra saja bisa mendatangkan US$ 1,2 miliar per tahun (sekitar Rp 10,2 triliun) untuk Pfizer, produsennya. Lagi pula, impotensi bukan penyakit yang enteng diobati, dan penderitanya kian banyak saja. Pada 1995, menurut studi McKinlay, ada 125 juta lelaki impoten di seluruh dunia, dan akan bertambah menjadi 322 juta pada 2025.
Berbagai penyakit yang bersarang di dalam tubuh seperti diabetes, hipertensi, atau terlalu banyak lemak bisa menyebabkan impoten. Gaya hidup yang kurang sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, dan menderita depresi juga jadi penyebab layunya si ”buyung”. Saking banyaknya pasien impoten, menurut data Pfizer, Viagra diresepkan sembilan kali per detik di seluruh dunia.
Ketiga obat itu sebetulnya bekerja dengan cara yang kurang lebih sama. Tugas obat disfungsi ereksi adalah menghambat pembentukan enzim phosphodiesterase-5 atau sebagai inhibitor PDE-5. Di dalam darah, terdapat cyclic guanosine monophosphate (cGMP), enzim yang dapat menyebabkan ereksi. Tapi, karena peningkatan cGMP dapat menyebabkan ereksi tanpa henti, darah juga mengandung PDE-5, yang memecah cGMP sehingga penis bisa lemas kembali.
Orang akan menderita impoten bila terlalu banyak PDE-5. Nah, obat-obatan itu bertugas memperlama pemecahan cGMP oleh PDE-5. Berkurangnya aktivitas enzim PDE-5 berarti mempertahankan volume darah yang sudah masuk ke dalam penis. Darah yang masuk akan diperangkap di sana. Hasilnya, darah itulah yang membuat penis bisa tetap tegak. Yang membedakan adalah efeknya karena adanya perbedaan molekul dalam tiap-tiap obat.
Karena ramainya persaingan, tiap produsen menyatakan klaim lengkap dengan hasil studinya. Levitra diklaim bekerja paling cepat dan paling mujarab karena dosisnya rendah. ”Makin kecil dosis, makin poten obat itu,” kata Dokter Hady Syarief dari Bayer Indonesia. Dosis Levitra sebesar 5-20 miligram, sedangkan Viagra menjual di pasar dengan dosis 25-100 miligram. Cialis, yang kabarnya akan masuk Indonesia akhir tahun ini, berdosis 10-20 miligram.
Selain itu, menurut Presiden Direktur GSK, Irene Tanumiharja, Levitra yang dijualnya bisa dikonsumsi kapan pun, sesudah makan atau sebelum makan. Lelaki berpenyakit jantung ringan, diabetes, dan yang baru saja menjalani operasi prostat tetap bisa meminumnya. Hanya penderita stadium berat yang disarankan tidak minum. Ia menjamin Levitra aman dikonsumsi kapan pun, setiap kali ”greng”—timbul keinginan untuk melakukan hubungan seksual.
Menurut klaim produsen Levitra, dosis garam vardenafil yang mereka berikan lebih efektif dibandingkan dengan sildenafil (Viagra) atau taladafil (Cialis) untuk mencapai efek yang sama. Mereka juga mengatakan obat itu punya efek samping yang jauh lebih kecil terhadap saraf di retina mata (PDE-6) dan enzim PDE-11 yang mengontrol cara kerja jaringan pembuat sperma dan otot. Kata Direktur Pengembangan Bisnis GSK Ping Ping Hartono, dengan waktu paruh 4-5 jam, Levitra lebih aman dibandingkan dengan yang waktu paruhnya lebih panjang. ”Waktu paruh yang panjang bisa menimbulkan rasa sakit pada otot rangka,” katanya.
Bayer juga menunjukkan beberapa hasil penelitian mereka terhadap pasien disfungsi ereksi yang menderita diabetes dan yang baru saja menjalani operasi prostat (prostatektomi). Menurut data itu, Levitra paling mujarab karena memperbaiki 72 persen ereksi pria diabetis dan 71 persen pada prostatektomi. Dibandingkan dengan obat lain yang cuma 56 persen dan Viagra hanya 43 persen pada prostatektomi.
Produsen Cialis pun tak mau kalah. Kepada situs berita MSNBC, mereka mengklaim khasiat obatnya bertahan 24 jam. Bahkan disebutkan ada beberapa pria dari kelompok dalam uji klinis mereka sanggup ”melakukannya” hingga 36 jam. Tapi kabarnya badan pengawas makanan dan obat-obatan Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA), masih memerlukan studi tambahan sebelum memberikan izin pelepasan Cialis.
Manajer Humas Senior Pfizer, Shanti Shamdasani, meragukan semua klaim hasil penelitian yang membandingkan Viagra. Menurut Shanti, hingga hari ini belum ada hasil penelitian yang layak dipakai sebagai patokan untuk membandingkan kemanjuran ketiga obat itu. Jadi, klaim kemujaraban yang selalu dibuat setiap pedagang obat tak bisa begitu saja ditelan mentah-mentah. Ia juga memberikan data bahwa Viagra tetap aman dikonsumsi jika mematuhi anjuran dokter, dan masih menjadi pilihan pertama dalam resep dokter. Adapun dosis 25 miligram, katanya, sesuai dengan perilaku kebanyakan laki-laki yang melakukan hubungan seks 1-2 kali seminggu. ”Dosis yang sering malah menyebabkan zat dalam obat akan mengendap dalam tubuh,” ujarnya.
Bayer Healthcare Indonesia menyodorkan data lain yang mengkhawatirkan, yakni tingginya penjualan obat antiimpoten di jalur nonresep. Cuma 20-25 persen yang lewat gerai resmi, yakni rumah sakit dan apotek. Artinya, 75-80 persen obat itu dijual tanpa resep, sehingga bisa membahayakan pemakai yang punya penyakit komplikasi. Lagi pula, asuransi kesehatan untuk obat sejenis ini cuma ada di Jerman. Artinya, kalau terbukti ada efek samping yang membahayakan konsumen, mereka tak bisa mengajukan klaim.
Seberapa aman obat disfungsi ereksi dikonsumsi dalam jangka panjang, pakar neurologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Dokter Akmal Taher, punya pendapat. Menurut dia, ketiga obat itu mempunyai efek samping yang berbeda. Efek terhadap saraf mata ada di Viagra, karena reseptor mata rupanya ikut menangkap reaksi kimia sildenafil pada reseptor penis, sehingga pandangan mata bisa menjadi kebiruan meskipun hanya sesaat. Dua obat di luar Viagra, katanya, relatif aman untuk mata. Cialis dapat menimbulkan bektin, sakit punggung dan pinggang belakang. ”Frekuensinya tidak begitu banyak, antara 10 dan 15 persen,” katanya. Dan cuma 2 persen pasien yang berhenti minum obat karena takut pada efek sampingnya. Efek itu bisa saja dihilangkan dengan mengubah molekul pada obat. Tapi, menurut Akmal, karena efeknya relatif ringan dalam jangka panjang, perusahaan obat tidak mengubah komposisinya.
Yang membuatnya khawatir bila banyak orang membeli tanpa resep dokter. Soalnya, untuk orang berpenyakit jantung, yang biasanya juga mengkonsumsi obat mengandung nitrat, dapat menyebabkan penurunan tensi darah secara drastis yang mengancam nyawa. Menurut pengalamannya di RSCM, pasien disfungsi ereksi yang datang umumnya berumur 55-58 tahun. Usia yang termasuk kategori berisiko tinggi bila meminum obat disfungsi ereksi tanpa pengawasan dokter.
Menurut seksolog Boyke Dian Nugraha, kelemahan obat antiimpoten sama seperti obat sakit kepala, yaitu tidak mencari sumber penyakitnya, hanya pengobatan sesaat. Beberapa pasien yang sering mengkonsumsi Viagra dan datang kepadanya mengaku tak percaya diri lagi jika tanpa si obat biru.
Pengaruh negatif lainnya, semua obat disfungsi ereksi menimbulkan pusing setelah memakainya. ”Semakin panjang khasiat obatnya,” kata Boyke, ”makin panjang pula dampak sampingnya.” Cialis, dengan kemampuan sampai 36 jam, misalnya, menimbulkan gangguan pandangan berkunang-kunang, tekanan darah turun, pusing, dan mual selama 36 jam juga. Karena itu, untuk penderita penyakit jantung dan penyakit yang berpotensi menimbulkan komplikasi, Boyke memilihkan obat-obat yang lebih ringan.
I.G.G. Maha Adi, Ucok Ritonga, Ecep S. Yasa
Levitra
Produsen: BayerGlaxoSmithKline
Dosis di pasar: 5 - 20 mg
Lama reaksi: 25-60menit
Daya tahan ereksi: 4 jam
Kontraindikasi: Jantung berat, gangguan hepar berat, gagal ginjal, selepas stroke (6 bulan), hipotensi, retina degeneratif herediter, obat-obat mengandung nitrat
Persetujuan FDA: 19 Agustus 2003
Tingkat keberhasilan uji klinis: 82 persen
Anjuran dosis maksimal per hari: 20 gram
Efek samping: Pusing, penglihatan abnormal sesaat
Viagra
Produsen: Pfizer
Dosis di pasar: 25 - 100 mg
Lama reaksi: 30-60 menit
Daya tahan ereksi: 4-6 jam
Kontraindikasi: Penyakit jantung berat, diabetes, hati, gagal ginjal, obat yang dengan nitrat
Persetujuan FDA: 27 Maret 1998
Tingkat keberhasilan uji klinis: 92 persen
Anjuran dosis maksimal per hari: 25 gram
Efek samping: Pusing, pandangan kabur sesaat
Cialis
Produsen: Lilly Icos LLC
Dosis di pasar: 10-20 mg (Inggris)
Lama reaksi: 16 menit
Daya tahan ereksi: 24-36 jam
Kontraindikasi: Jantung, gagal ginjal, gangguan hepar berat, obat mengandung nitrat
Persetujuan FDA: Menunggu persetujuan FDA
Tingkat keberhasilan uji klinis: 88 persen
Anjuran dosis maksimal per hari: 20 gram (dosis uji klinis)
Efek samping: Pusing, perut melilit, sinitis
Sumber: Lembar fakta dan keterangan dari tiap-tiap produsen, dan dari berbagai sumber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo