INFLUENSA ternyata lebih misterius daripada kanker. Jangankan obat atau vaksinasi, seluk-beluk penularan penyakit ini pun belum bisa dipastikan hingga kini. Sejumlah teori tentang flu juga gagal mencapai pembuktian baik di laboratorium maupun penelitian. Yang sudah diketahui hanyalah penyakit itu diakibatkan virus dari golongan rhinovirus. Tapi pengetahuan ini tak bicara banyak, karena ada 200-300 jenis rhinovirus penyebab flu. Virus-virus itu berbeda satu dengan lainnya, tapi semuanya menimbulkan gejala yang kurang lebih sama. Jenis yang luar biasa banyak inilah yang menghambat upaya pencegahan flu melalui vaksinasi. Kalau mau dicoba juga, berarti harus disiapkan 300 vaksin dan disuntik tidak kurang dari 300 kali. Untung, flu tidak berbahaya -- kecuali bagi penderita AIDS, penyakit yang meruntuhkan pertahanan tubuh. Karena itu, tidak berbahaya pula membiarkan virusnya hidup dalam tubuh manusia. Toh antibodi dalam sistem pertahanan tubuh hampir selalu bisa mematahkan serangan virus-virus ini, kecuali bila populasi rhinovirus dalam tubuh suatu ketika meningkat. Tapi virus-virus ini pun baru menimbulkan penyakit bila kondisi tubuh melemah, dan produksi antibodi ikut menurun. Obat flu yang kebanyakan dijual bebas sama sekali bukan obat penakluk virus influensa. Kandungan obat itu cuma analgesik (penenang), antiplretik (penurun panas), dan kadang-kadang antibiotik pencegah infeksi sekunder -- yang bukan flu. Biarpun obat-obat ini berhasil mengatasi flu, cara penyembuhan yang paling manjur cuma ini: si penderita tidur dan produksi antibodi bisa kembali normal. Berabad-abad orang menyangka virus influensa mula-mula berkembang pada jaringan sekitar hidung. Kondisi sel-sel pada jaringan ini diduga memungkinkan virus flu berkembang biak. Dugaan ini ternyata salah. Metode penelitian mutakhir tentang sel memungkinkan para ahli di Universitas Virginia, Amerika Serikat, menyimpulkan lain. Menurut mereka, rhinovirus penyebab flu sama sekali tidak berkembang di sel-sel nasal (sel di jaringan hidung). Tak ada perbedaan antara sel nasal penderita flu dan sel nasal pada orang sehat," ujar Dr. Jack Gwaltney, ahli penyakit dalam dari Universitas Virginia yang sudah 30 tahun meneliti influensa. Namun, tak bisa disangkal, influensa pada kenyataannya mula-mula menyerang hidung. Gwaltney dan dua rekannya, Dr. Proud dan Dr. Robert Naclerio, menemukan sel-sel nasal penderita flu memang mengalami rusak berat. Inilah yang mengakibatkan jaringan hidung memproduksi lendir -- akibat terjadinya infeksi -- dan penderitanya pun menjadi pilek. Infeksi yang kemudian merambat ke tenggorakan ini akhirnya menimbulkan demam. Terbenturnya penelitian tentang virus flu dan hubungannya dengan sel-sel nasal menyebabkan tim Gwaltney mencari arah lain. Mereka lalu meneliti komposisi lendir yang diproduksi sel-sel nasal ketika flu menyerang. Dari sini misteri pilek sedikit terungkap. Gwaltney, Proud, dan Naclerio menemukan tingginya konsentrasi senyawa-senyawa kinin dalam komposisi lendir, juga dalam darah penderita flu. Kinin adalah sejenis protein yang terdapat dalam darah, bertugas sebagai salah satu pemantik produksi antibodi -- apabila bibit penyakit menyerang. Gwaltney juga menemukan bahwa flu menaikkan kadar kinin dalam darah. Tapi ia belum mengetahui mengapa jumlah kinin justru meningkat ketika tubuh gagal memproduksi antlbodi antiflu. Yang pasti, Gwaltney mengetahui bahwa kinin menyebabkan kerusakan sel-sel nasal. Hanya saja, ia tak bisa menjelaskan mengapa kinin menyerang sel-sel nasal. Satu-satunya perkiraan teoretis adalah di saluran pernapasan hidung terdapat jaringan yang justru berfungsi melindungi sel-sel nasal dari berlebihnya kinin. Jaringan inilah yang membengkak dan mengakibatkan hidung tersumbat ketika pilek menyerang. Namun, tak ada bukti jaringan ini menyerap kinin dari darah ke hidung. Dari penelitian yang separuh selesai itu, Gwaltney toh bisa menemukan upaya mengatasi flu. Ia bersama dua rekannya mengembangkan obat yang diberi nama bradykinin antagonist. Obat ini memiliki kemampuan memblokir peningkatan jumlah kinin dalam darah. Percobaan di laboratorium menunjukkan, bradykinin antagonist berhasil mencegah tikus percobaan dari serangan flu. Kini Gwaltney dan kedua rekannya sedang menunggu izin FDA -- otoritas obat dan makanan AS -- untuk melakukan percobaan klinis pada manusia. Selain mencari pencegah flu, Gwaltney juga meneliti cara virus flu berjangkit. Ahli penyakit dalam itu mula-mula mencoba membuktikan dua teori yang sampai kini diyakini. Pertama, penularan terjadi akibat terlemparnya virus, ketika seorang penderita bersin, hingga ingus dan ludahnya menyemprot. Teori kedua, virus flu mula-mula terdampar pada suatu permukaan, kemudian berpindah ke tangan yang menyentuhnya. Penularan terjadi ketika tangan yang bervirus itu menyentuh hidung atau mata. Percobaan-percobaan yang dilakukan Gwaltney bersama Dr. Elliot C. Dick, ahli epidemiologi dari Sekolah Tinggi Kedokteran Wisconsin, menunjukkan kedua teori itu ternyata tidak benar. Dalam percobaan, sejumlah sukarelawan yang disekap berhari-hari dengan penderita flu malah tidak tertular. Gwaltney juga menemukan bahwa virus yang terciprat pada ingus dan ludah ternyata sudah lemah. Pada percobaan selanjutnya, Gwaltney dan Dick menemukan, penjangkitan flu terjadi melalui sentuhan badan. Dari percobaan yang berulang-ulang dengan sejumlah sukarelawan, terbukti bahwa angka penularan melalui sentuhan badan senantiasa di atas 70%. Toh Gwaltney dan Dick belum juga mampu mengungkapkan bagaimana cara virus berpindah dalam kontak tubuh itu. "Maka, penularan flu masih misterius sampai sekarang," ujar peneliti influensa paling terkemuka itu. "Saya berharap masih bisa melihat misteri itu terungkap dalam hidup saya," ujarnya melanjutkan. Katakata Gwaltney ini mengisyaratkan bahwa rahasia influensa masih akan tertutup rapat, barangkali dalam waktu yang cukup lama. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini