Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Budaya Pengaruhi Rasa Sakit pada Ibu Melahirkan

Budaya dan mitos seputar perempuan membuat para ibu menderita rasa sakit yang lebih besar saat melahirkan. Di situs ilmiah 360 Info, Deborah Esan dan Blessed Oyama dari Universitas Afe Bababola di Kota Ado Ekiti, Nigeria, menulis bahwa jalan keluar dari permasalahan ini adalah pendidikan ilmu persalinan.

16 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi proses melahirkan. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mofoluwake Jones memiliki dua anak dengan proses persalinan yang sangat berbeda. Anak pertamanya lahir di Nigeria, negara dengan tradisi budaya yang menyatakan perempuan pasti menderita saat melahirkan. “Begitulah kami semua 'diprogram' melihat persalinan,” kata Mofoluwake.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayi kedua Mofoluwake lahir lima tahun kemudian di Kanada. Petugas kesehatan yang merawat dia meluangkan waktu untuk menjelaskan apa yang perlu mereka lakukan beserta alasannya dan meminta persetujuan setiap kali akan melakukan tindakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saat saya tiba di rumah sakit, mereka mulai bertanya apakah saya telah memikirkan tentang rencana manajemen nyeri saya.” Petugas kesehatan pun menjelaskan berbagai pilihan yang tersedia dan memberi informasi risiko dan manfaat dari setiap pilihan.

Rasa sakit saat bersalin, tentu saja, akan selalu ada. Namun risikonya dapat direduksi sembari memberikan kenyamanan yang optimal kepada ibu. Masalahnya, di banyak negara berkembang, pereda nyeri saat melahirkan kurang dimanfaatkan karena budaya dan mitos.

Di sejumlah budaya, ibu melahirkan diminta untuk menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Sebaliknya, di budaya lain, mereka diminta untuk menyembunyikan rasa sakit yang dialaminya. Banyak ibu melahirkan menolak obat penawar rasa sakit selama persalinan karena menganggap rasa sakit sebagai kodrat. Ada juga yang menolak dengan alasan obat tersebut bisa membahayakan jabang bayi.

Agama ikut berperan. Dalam Kristen, rasa sakit saat bersalin disebutkan dalam Alkitab sebagai hukuman Tuhan atas ketidaktaatan perempuan (Kejadian 3:16). Walhasil, nyeri persalinan dianggap sebagai hal yang normal.

Dalam budaya seperti itu, saat anak perempuan mulai dewasa, mereka diajari tentang penderitaan dan rasa sakit saat melahirkan, sehingga mereka siap saat menghadapinya. Pada masyarakat Hausa di Nigeria utara, ada tekanan sosial yang besar untuk tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan saat bersalin. Melahirkan bayi dengan tenang dan tanpa pereda nyeri menunjukkan kebajikan.

Ilustrasi seorang ibu hamil. Shutterstock

Sementara itu, anak-anak perempuan masyarakat Fulani dari Nigeria diajari sejak usia dini betapa memalukannya menunjukkan rasa takut atau menangis saat melahirkan. Orang-orang Bonny di Nigeria selatan diminta untuk percaya bahwa mereka yang bisa menahan rasa sakit saat melahirkan merupakan perempuan yang paripurna. Kepercayaan setempat menyatakan bahwa teriakan apa pun tak akan dapat mengurangi rasa sakit saat melahirkan. Jadi, lebih baik menahannya sendiri tanpa bersuara.

Persepsi tenaga kesehatan, khususnya perawat dan bidan, juga mempengaruhi penggunaan obat penghilang rasa sakit. Meskipun pereda nyeri aman untuk ibu dan bayi, sebuah studi oleh Mary McCauley, dokter kandungan di Inggris, dan rekannya menemukan lebih dari separuh pekerja medis di Etiopia khawatir akan efek pereda nyeri pada bayi, ibu, dan proses persalinan. Studi sebelumnya mendapati bahwa kekhawatiran ini juga dimiliki para ibu melahirkan, meski mereka menginginkan rasa sakit itu hilang.

Banyak tenaga kesehatan di negara berkembang tidak memberi ibu pilihan soal manajemen rasa sakit selama proses melahirkan. Yang ada hanyalah dukungan dari keluarga. Penghilang rasa sakit juga tidak dibahas dalam kelas pra-persalinan.

Kelas pra-persalinan sendiri umumnya dilaksanakan dari umur kehamilan 4 pekan hingga 36 pekan, untuk menambah pengetahuan selama masa kehamilan, saat persalinan, fisiologis di masa nifas, dan cara merawat bayi dengan baik.

Sebuah penelitian di Nigeria bagian tenggara mengungkapkan bahwa hanya 39,5 persen ibu hamil yang mengetahui pereda nyeri persalinan. Hasil serupa ditemukan di Nigeria utara. Kurangnya kesadaran adalah hambatan utama untuk lebih banyak menggunakan pereda nyeri saat melahirkan. Jika dokter kandungan mendiskusikan pilihan, manfaat, dan risiko seputar obat pereda nyeri, ibu bisa melahirkan dengan lebih tenang.

Untuk Mofoluwake Jones, setelah mendiskusikan pilihannya secara menyeluruh dengan staf medis di Kanada, dia memilih epidural untuk bayi keduanya. Seorang konsultan kelahiran melatihnya melalui tahap mengejan, membantu mengatur energinya, dan memberi nasihat ihwal waktu terbaik untuk mengejan.

“Itu merupakan pengalaman melahirkan yang sangat indah,” ujar Mofoluwake. Dia berada di rumah sakit sekitar tiga hari dan diperlakukan dengan sangat baik dan dibuat memahami bahwa persalinan tidak harus menjadi siksaan. Dia berharap tanah kelahirannya, Nigeria, mengadopsi proses persalinan seperti itu.

---

Artikel ini pertama kali terbit di 360 Info. Diterjemahkan oleh Sekar Rahma (Magang)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus