Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peluang usaha layanan jasa titip alias jastip sangat menggiurkan, apalagi tak perlu modal banyak untuk memulainya. Aneka barang yang bisa di-jastip-kan di dalam negeri disambar oleh mereka yang jeli melihat peluang. Ada layanan jastip yang melirik tren busana eksklusif, ada yang memanfaatkan pameran atau bazar produk-produk murah. Salah satu acara yang banyak diserbu pelaku jastip adalah bazar buku tahunan Big Bad Wolf, yang biasa digelar pada 6-16 Maret 2020 di BSD, Tangerang Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pelaku jastip buku di perhelatan itu adalah Dien Nurdini asal Bogor. Dien menjalankan usaha bernama Jastip Santai ini bersama sejumlah teman semasa SMA-nya. “Kami hanya membuka jastip ketika ada Big Bad Wolf. Di hari biasa sih kembali jadi ibu rumah tangga,” kata perempuan yang akrab disapa Adien itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha Jastip Santai oleh Adien dan teman-temannya dimulai empat tahun lalu. Sama seperti Shinta, Adien juga terilhami membuka jastip setelah puas memenuhi hasrat belanjanya. Mulanya, Adien dan kelima temannya memulai jastip setelah banyak dari teman mereka sendiri ingin membeli buku di Big Bad Wolf tapi tak punya waktu untuk datang ke lokasi bazar. “Karena jauh di BSD, belum tentu orang bisa ke sana.” Mereka lalu membuka jastip dengan berpromosi di akun media sosial masing-masing. Rupanya, promosi itu menyebar luas sehingga banyak orang lain yang ikut mendaftar sebagai pemesan buku.
Jastip Santai menerapkan sistem belanja yang unik. Awalnya, calon pembeli diminta mengisi formulir berisi data diri, alamat, dan nomor kontak. Para pembeli diundang untuk bergabung dalam satu grup percakapan WhatsApp di mana Adien dan kawan-kawannya juga terlibat. Karena pameran Big Bad Wolf digelar berhari-hari, Adien dan teman-temannya datang bergiliran ke lokasi.
Sebelum tiba di lokasi, orang yang “bertugas” berbelanja membuat pengumuman bahwa mereka akan ada di lokasi pada waktu yang ditentukan. Barulah, di tempat pameran buku, mereka menggunakan fitur video siaran langsung di WhatsApp atau Instagram untuk memperlihatkan buku-buku apa saja yang bisa dipesan konsumen. Di grup WhatsApp itulah semua pesanan dan transaksi dicatat.
Menurut perempuan 32 tahun ini, yang paling laris dari perhelatan Big Bad Wolf adalah buku anak-anak. Tapi, karena stok bukunya kerap berganti-ganti setiap hari, tak jarang Adien dan teman-teman bisa bolak-balik ke BSD untuk memenuhi pesanan konsumen. Terkadang mereka juga mengadakan sesi pemesanan buku berdasarkan topik. Misalnya, kata Adien, ada sesi pemesanan khusus buku psikologi, lalu di hari berikutnya rekan Adien yang lain membuka sesi pemesanan khusus buku kerajinan atau buku resep memasak.
Jika ditotal, dalam satu kali datang ke lokasi pameran, Adien bisa mendapat keuntungan bersih Rp 500 ribu-Rp 1 juta dari transaksi pembelian buku sekitar Rp 10 juta. “Sehari kami bisa beli ratusan eksemplar buku. Untung ada suami kami yang sigap membantu membawakan barang-barang pesanan, he-he-he,” ujarnya. Karena jumlah transaksi yang tinggi, Adien sering mendapat keuntungan tambahan dari penyelenggara Big Bad Wolf. “Misalnya dapat voucher belanja.”
Bagi Adien, model usaha ini banyak menghasilkan keuntungan. “Bukan cuma untung secara uang, tapi hasrat untuk berbelanja tanpa keluar banyak uang juga terpenuhi,” kata dia.
KORAN TEMPO