Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Buruh, di atas batu

Banjir menguntungkan buruh pencari batu dan pasir. namun mereka menjadi korban para pemborong. kuli yang bertugas memperbaiki jalan, nasibnya menyedihkan. menunya 2 piring nasi dan tempe. (sd)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REPOT juga untuk menyebut bahwa air bah itu tidak berbahaya. Tapi Eni, seorang ibu di Bogor toh sempat berkata (dalam bahasa Sunda) hikmah banjir itu ada juga. Paling tidak, bagi mata pencahariannya sehari-hari. Berusia lebih setengah abad, ibu dari 7 anak dan nenek dari selusin cucu ini adalah pengumpul pasir dan batu kali -- yang amat dibutuhkan sebagai bahan bangunan di kota-kota. Dari balik pelupuk matanya yang mengendor, Eni memandang banjir dengan harapan lain. Sebab dengan bantuan bah itulah pasir dan batu-batuan di Kali Ciapus niscaya bertambah. Ini sering terbukti: serentak air susut, maka ia bisa dengan lancar mencari nafkah, sementara suaminya, Ata, memecah batu. Pada hari biasa, kali itu nyaris kering. Kalaupun ada bagian yang dalam, itu di balik batu besar atau tempat-tempat yang barusan dikuras koralnya. Pukul 06 pagi ia sudah di sana, tanpa kenal hari libur. Peralatannya hanya pengki yang biasa dibikin suaminya, plus tempurung kelapa sebagai alat penguras. Bekerja sampai sore, hingga tak heran bila kulitnya keriput dimakan hari. Namun pasir dan koral yang dikumpulkannya paling banter mencapai 1/4 kubik. Sering juga kurang. Bisa dibayangkan cuma berapa penghasilannya bekerja sehari suntuk itu, bila harga per-kubik pasir Rp 500 atau batu Rp 400 sekubik. Sedangkan sekitar lima tahun silam, ia masih kuat mengumpul sampai jumlah sekubik, masing-masing pasir dan batu. Halangannya memang lebih terpulang pada tenaganya yang tambah tua. Pat Gulipat Kini tak kurang dari 40 truk menceburkan diri ke Kali Ciapus di bilangan desa Pasireurih, kecamatan ciomas, Bogor. Truk-truk ini memang tak ada urusan langsung dengan bu Eni, lantaran yang punya izin penambangan hasil alam itu adalah pemborong atau pengusaha pangkalan, yang kelak menjual bahan-bahan itu sekitar dua atau tiga kali lipat. Untuk batu dan pasir ke truk itu dilakukan oleh sejumlah kuli, yang umumnya terdiri dari anak muda. Per kubik mereka beroleh upah Rp 50. Namun hasil itu dipandang kurang memadai, lalu mereka bikin akal. Bila ada muatan 5 kubik misalnya, kepada Eni dan kawan-kawan mereka sebutkan 4 kubik, sementara sekubik mereka kantongi. Boleh jadi karena bodoh atau memang tak ada waktu, Eni dan kawan-kawannya tak pernah protes. Yang jelas mereka belum pernah mengukur luas bak truk. Itu baru satu korban. Perkara main akal-akalan dalam muatan truk itu pun konon suka berkepanjangan sampai di kota-kota. Misalnya, muatan 5 kubik itu bisa saja disulap menjadi 7 kubik. Caranya, dengan modal Rp 200 si supir dikabarkan bisa menciptakan 1 M3 angka bayangan. Tentu saja ini kerjasama dengan kuli, yang sudah diatur begiu ada batu yang turun, begitu cepat ia mesti melempar lagi ke atas bak truk. Hanya pasir yang tak mudah disulap, sebab bentuknya macam bubuk. Para pengusaha bahan bangunan tentu maklum pat-gulipat semacam ini. Akan halnya Eni, tak urung memang memandang model hidupnya kini bagaikan peuyeum jatuh. Lebih sepuluh tahun lalu (harap maklum, lantaran buta huruf, ia tak sanggup menghasta bilangan waktu) hidupnya, katanya, "lumayan" punya lebih sehektar sawah, juga punya sebuah warung yang menjual rupa-rupa keperluan dapur. Lalu hasil- menyeretnya lain, serentak suaminya kawin lagi. "Dasar lelaki, waktu si Itang dihamilkan dua bulan, suami saya main perempuan lagi sampai punya anak", Eni buka riwayat di tengah kali sembari mengoleskan kapur ke daun sirih. Hari-hari itu dikenangnya sebagai awal berantakannya dari hidupnya. Warung tak keruan, sebagian sawah terpaksa dilego. Memang ia tak sampai cerai, namun rumah-tangganya toh keburu kucar-kacir jadinya. Meski ada tersisa sawah, hasilnya paling banter 300 Kg gabah. Terang tidak cukup. Sejak itulah ia dan suaminya berpaling ke Kali Ciapus, merogoh pasir dan batu-batuan itu. Tapi kerja di luar rumah bukan pertama kali itu dilakukannya. Ketika masih perawan dulu Eni sudah bekerja di pabrik teh. Malah pernah menjadi pemetik teh -- bermula dengan gaji 15 sen sampai 25 sen, sementara harga beras 12 sen seliter. Sebagai anak yang masih ditanggung orang tua, penghasilannya itu dirasakannya menyenangkan juga. Lebih menyenangkan pula adalah kenyataan bahwa di pabrik teh ini pula kisah kasihnya dengan pemuda Ata dimulai. Bila perawan Eni memilih daun teh, Ata yang punya tugas merawat bangunan waktu itu, suka-cita membantu Eni. Jam 12 siang mereka sama-sama istirahat. Pada saat semacam itu asmara keduanya saling berpadu. Bukan hanya sekedar kongko di belakang pabriK, mereka juga sering turun berdua ke Ciapus yang letaknya 20 meter dari pabrik. Mandi. "Badannya tegap. dan . . . " bu Eni tak sanggup menuturkan lebih jauh kesannya tatkala pertama kali meIihat pemuda yang kelak menjadi suaminya itu. Ketawanya terburai sampai ludah sirihnya ikut berhamburan di batu kali, sementara mang Ata cronggok jongkok di batu yang agak besar sambil menyedot kretek. Kini hidup mereka nampak rukun. Mendiami sebuah rumah sederhana berukuran 3 x 5 meter. Terletak tak jauh dari Ciapus. Empat anaknya meninggal. Tiga yang ada sudah berumah-tangga. Dengan bekal sekolah tak leuwt dari kelas 3 SD, anak-anaknya itu kini menjadi pedagang sayur. Dan seminggu dua kali mereka menggotong hasil bumi buat perut orang Jakarta, berupa sayur-mayur. Jagung, timbul dan sebagainya. Dua dari anaknya itu sudah punya rumah sendiri-sendiri. Tinggal satu yang masih nebeng dengan mertua. Ini diniatkan bu Eni untuk dibuatkannya rumah. Persiapan sudah dimulai, tapi selanjutnya bergantung pada nasib. Sebab berapa sih kemampuan tenaga seorang perempuan? Untunglah, dibanding dengan suaminya, bu Eni memang terbilang lebih ulet. Ia hanya mampu menghasilkan l/2 kubik pasir dan batu sehari, sang suami malah sering tak lehih dari itu. Juga syukur ia tak sampai sering sakit. Paling banter serangan kuman gatal di kaki. Itupun mudah diobati. "Dengan minyak klantik", katanya. Minyak dari minyak kelapa murni. Hujan mengguyur Jakarta. Jalanan rusak. Jalan diperbaiki. Jalanan macet. Tapi di celah-celah itu, ada seorang yang menggantungkan hidupnya. Misalnya Harun, sehari-hari pekerja perbaikan jalan raya. Bulan-bulan belakangan ini ia dan kawan-kawannya sedang terlibat membenahi jalan Senen Raya. Para pengemudi mobil sering menggerutu. Tapi kadang-kadang tidak. Boleh jadi karena hoki lagi bagus, maka dari balik jendela mobil terkadang terlempar sebungkus kretek buat para pekerja jalanan itu. Mereka memecah aspal lama buat penggalian parit, untuk selanjutnya memasang polongan air. Ini dikerjakan Harun bersama 25 kawannya. Harun kini mendekati umur 20 tahun. Usia itu boleh jadi masih muda, namun di antara pekerja jalanan itu nyelip pula wajah-wajah yang nampak masuk bilangan bocah. Berasal dari Cirebon, delapan tahun silam, serentak jeblok di kelas 4 SD, ia hijrah ke ibukota. Diakuinya sendiri bahwa ia memang malas sekolah. "Kawan saya sekampung banyak yang buta huruf" tuturnya. ukan sekedar tak mau kalah berduyun ke kota. Keadaan menggiringnya mau tak mau bergeser ke Jakarta. Sebab, boleh dibayangkan bila misalnya ia toh bertani. Hasil per-hari Rp 125. Itu sudah menguras tenaga, sementara buat mendapatkan mata pencaharian lain, tidak cukup ada lapangannya. Tambahan pula Harun merasa ekonomi orang tuanya senin-kemis. Merasa ia tak bisa mengajak perutnya berdamai, ia nyelonong ke Jakarta. Mulanya hanya sekedar membantu ayahnya yang telah lebih dulu boyong ke Pasar Ikan dan berniaga sebagai tukang air. Kini mereka berdiam di sebuah kamar sewaan. Bangunan papan yang sederhana. Cuma jangan salah faham. Mereka di sini bukan cuma berdua. Bersama dengan ayah dan anak ini, ada 15 lelaki lagi yang terdiri dari berbagai tingkatan umur yang bcrasal dari daerah yang sama. Semua pekerja kasar. Ada kuli jalanan, bangunan, dagang air, pengemudi becak. Semua menggeletak di tikar. Ongkos sewa Rp 45 ribu setahun, mereka tanggung bersama. Dan mereka masing-masing turun rumah di pagi hari tanpa sibuk memasak sarapan lagi. Harun, misalnya, pukul 06 pagi sudah berangkat ke pekerjaan. Baru sekitar jam 10 ia menyerbu warung. Menunya: dua piring nasi plus sepotong tempe. Ini berarti ia kena Rp 125. Tapi acara tangsel perut ini perlu tiga kali sehari, sementara hasilnya per-hari adalah Rp 750 Atau kadang-kadang Rp 1000. "Itu tergantung prestasi kerja masing-masing", ujar Billy -- sehari-hari petugas PT Pembangunan Jaya -- perusahaan yang melaksanakan pelebaran jalan itu. Ditambahkannya: "Tapi Rp 750 itu memang minimal". Pembayaran dilakukan seminggu sekali. Dengan Harun dkk PT Pembangunan Jaya tak punya ikatan langsung. Para pekerja itu berstatus pekerja harian lepas. Mereka adalah orang-orang dari pemborong yang dipercayakan mendapatkan tenaga kerja. Apakah Harun berniat terus bermain dengan martil yang beratnya 5 Kg itu? Sementara asap kreteknya menggebu-gebu Harun memang sering menerawang. Kadang-kadang hatinya cemburu juga menyaksikan lalu-lalangnya orany bermobil di jalan raya. Tapi segera disadarinya bahwa itu merupakan lamunan yang keliwatan. Sebab tekadnya adalah semasa kondisi tubuhnya masih kuat ini jangan sampai nasib getir di kampung dulu, sampai terulang lagi. Selama ini ia di Jakarta, ada juga keinginannya untuk sekali waktu mudik. Dan selama itu pula ia memang bukan melulu memeras tenaga sebagai kuli jalanan. "Saya suka aplusan juga dengan bapak dagang air", ujarnya. Dan hasil yang didapatnya hampir tak berbeda Tapi yang jelas, dagang air itu tak sampai melelahkan. Demikianlah, pemuda berkulit hitam yang berperawakan pendek ini, bisa ditemui di jalan Bandengan, dekat pabrik bir. Cuma jangan keliru, katanya, "jangan tanya Harun pegawai PT Jaya, tapi Harun tukang air", katanya tersenyum. Ia suka senyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus