NASIB penderita AIDS makin tragis. Itu pula yang dialami Ruben Palacio. Obat AZT mungkin juga tidak menyelamatkan dirinya. Pekan lalu, sehari sebelum pertandingan, juara tinju kelas bulu asal Kolombia ini dicoret namanya dari organisasi tinju dunia WBO (World Boxing Organization). Palacio positif mengidap HIV. Padahal pemuda 30 tahun itu sudah siap tempur untuk mempertahankan gelar melawan petinju Inggris, John Davidson. Kenapa nama Palacio dicoret, sedangkan pemain basket kondang Earvin ''Magic'' Johnson, yang juga mengidap HIV, tidak diperlakukan demikian? ''AIDS bisa ditularkan lewat darah, dan tinju selalu menimbulkan luka. Kami harus waspada terhadap kemungkinan penularan itu,'' kata Ed Levine, presiden komite WBO, kepada International Herald Tribune pekan lalu. Berbagai penelitian telah dilakukan, tapi agaknya dunia kedokteran masih belum mampu menemukan cara penyembuhan AIDS, bahkan dengan AZT atau Azidothymidine. Sejak enam tahun lalu, obat ini dipercaya dapat memperpanjang harapan hidup orang yang terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus) atau virus penyebab AIDS namun sekarang disangsikan khasiatnya. Sebab, diberi AZT atau tidak, sama saja: usia penderita AIDS tak bisa bertambah panjang. Kesimpulan itu diungkapkan oleh Concorde, sebuah lembaga penelitian kerja sama Inggris-Perancis, di majalah The Economist bulan silam. Dalam riset yang memakan waktu lebih dari tiga tahun itu, Concorde melibatkan 1.749 penderita yang sudah terinfeksi HIV tapi belum menunjukkan gejala penyakit. Jumlah itu dibagi dalam dua kelompok, yakni 877 orang mendapatkan AZT dan sisanya diberi plasebo. Ternyata, 79 penderita dari kelompok yang mendapatkan AZT dan 67 penderita dari kelompok plasebo itu meninggal. Angka ini, menurut Concorde, menunjukkan bahwa AZT gagal menekan berkembangnya HIV. Temuan yang juga dimuat di jurnal kedokteran Inggris, Lancet, itu segera mengundang kecemasan. Sebab, jumlah orang yang terinfeksi HIV lebih besar daripada penderita AIDS. Di Amerika Serikat saja, menurut ahli hematologi Indonesia, Dr. Zoebairi Djoerban, perbandingan antara penderita AIDS dan HIV itu 1:5. Sedangkan Thailand, yang pernah dikenal sebagai negara yang menggalakkan wisata seks, misalnya, kini menyimpan sekitar 0,5 juta orang yang tertular HIV. Di India ada 2 juta orang. Di Indonesia, hingga Desember tahun lalu, tercatat 26 orang terkena AIDS, dan 57 orang terinfeksi HIV. Sementara itu, obat pengganti AZT belum ada. Lalu, apa lagi upaya untuk menolong para penderita? AZT ditemukan oleh ahli kanker Amerika, Dokter Jerome Horowitz, pada tahun 1964. Kala itu AZT didesain sebagai obat percobaan untuk memusnahkan sel-sel kanker. Percobaan ini gagal. Tahun 1985 industri farmasi Wellcome, Inggris, membuat AZT efektif pembasmi retrovirus. Perusahaan itu kemudian merintis percobaan AZT untuk mengatasi HIV karena termasuk dalam kategori retrovirus. Kelompok retrovirus berkembang biak dengan cara menduduki sel- sel jaringan tubuh, seperti kelenjar getah bening atau limpa. Di sini retrovirus memanfaatkan mekanisme pembelahan sel. Virus ini ternyata juga memiliki enzim transkriptase yang dapat mengubah kode genetik inti sel menjadi perintah pengembangbiakan virus. HIV menyerang sel darah putih, yakni sel T (khususnya sel T-4), yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Sel T bisa disebut ''panglima'' imunitas karena dari sini turun perintah memproduksi antibodi untuk menyerang bibit penyakit. Bila sel T dikuasai HIV, virus penyakit apa pun yang menyusup ke tubuh tidak akan bisa ditangkal, sebab kekebalan tubuh sudah loyo. Para peneliti di laboratorium Wellcome yakin, dengan memblokir transkriptase, HIV tidak dapat berkembang biak. Dengan demikian, populasi HIV dalam tubuh penderita dapat dikontrol, dan gejala AIDS otomatis bisa dihambat. AZT itulah yang ditugaskan memblokir transkriptase. Percobaan yang dilakukan di laboratorium memang berhasil. Pada 1985, kira-kira dua tahun setelah virus HIV pertama kali ditemukan, Lembaga Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengizinkan penggunaan AZT dalam uji klinis pada manusia. Tahun 1987 AZT diizinkan dipasarkan sebagai obat AIDS. Menurut Wellcome penjualan AZT memang terus meroket, dari US$ 159 juta pada 1988 menjadi US$ 384 juta pada 1992. Ini menunjukkan betapa besar ketergantungan para penyandang HIV terhadap AZT. Kini, haruskah harapan itu pupus setelah Concorde menyatakan AZT tidak berkhasiat? Sebetulnya, bukan kali ini saja AZT diragukan khasiatnya. Tahun lalu majalah kedokteran The New England Journal of Medicine juga menurunkan laporan yang sama. Menurut laporan jurnal terkemuka itu, dari 340 penderita AIDS yang dievaluasi dari tujuh pusat kesehatan di AS, 23 orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan untuk yang tidak mendapatkan pengobatan, hanya 20 orang yang tewas. Sri Pudyastuti R. dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini