Kecenderungan perusahaan Indonesia menanam modalnya ke Cina yang belakangan banyak disorot menarik dipelajari. Apa ini kecenderungan sementara karena ''demam RRC'' lagi hinggap di benak hampir semua pengusaha di mancanegara? Atau kecenderungan ini adalah proses internasionalisasi perusahaan Indonesia yang menunjukkan perkembangan keunggulan dan kapabilitas bersaing? Pertanyaan ini tak bisa dijawab tanpa suatu studi, kasus per kasus, mengenai motivasi dari perusahaan yang menanam modal di luar negeri. Di sini perlu pengertian mengenai motivasi serta perkiraan dampak investasi ke luar negeri, agar dapat meletakkan polemik yang berkembang dalam proporsi yang layak. Investasi dari Indonesia telah dijalankan oleh berbagai perusahaan di berbagai sektor, yang juga ditujukan ke berbagai lokasi. Misalnya: Salim (pabrik mi, oleochemical, dan prasarana di RRC) Lippo (prasarana, sektor finansial) Sinar Mas (kertas dan pulp di RRC), Gemala (baterai di Inggris, jaringan pemasaran di AS), Mantrust (Van de Kamp di AS), dan Kedaung (gelas dan keramik di Malaysia). Terlepas dari definisi apa seluruhnya dapat dihitung sebagai investasi dari Indonesia karena sebagian dibiayai dengan pinjaman luar negeri, yang juga dilakukan kantor perusahaan Indonesia yang berdomisili di Hong Kong atau Singapura berbagai motivasi mendasari investasi ke luar negeri. Motivasi untuk melakukan investasi akan berbeda menurut perusahaan, sektor, dan lokasi. Motivasi yang paling umum, dan sudah dilakukan sejak zaman Oei Tiong Ham, adalah untuk memperoleh akses pasar untuk menjual produk sendiri, memperbaiki hubungan dan pelayanan kepada nasabah, memperluas jaringan pasar dan meningkatkan laba dengan menghapus perantara. Investasi biasanya dalam bentuk membuka kantor pemasaran. Ini dilakukan hampir semua perusahaan trading. Cara lain adalah dengan mengambil alih jaringan pasar di negara tujuan, misalnya Mantrust yang membeli Van de Kamp untuk menjual produk ikan tunanya. Ada berbagai motivasi lain. Pertama, untuk mendapatkan akses terhadap teknologi dengan membeli perusahaan yang memiliki teknologi yang sudah standar, juga yang terkait dalam suatu jaringan di mana pembaruan teknologi terus berjalan. Ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada perusahaan induk yang mengontrak perusahaan lokal bersangkutan untuk berproduksi, dan bila dinilai lebih murah ketimbang membeli hak terhadap teknologi tersebut. Kedua, relokasi dapat dilakukan agar dekat dengan sumber daya alam, dan manusia yang diperlukan. Ketiga, motivasi yang merupakan bagian dari perilaku atau strategi perusahaan untuk menjaga keunggulan kompetitifnya. Misalnya, melakukan investasi untuk mengikuti pesaing, mendahului pesaing dan merebut pasar. Diversifikasi lokasi investasi juga merupakan upaya untuk mengurangi risiko yang umum dilakukan oleh perusahaan. Keempat, motivasi berdasarkan pertimbangan biaya yang akan mempengaruhi apakah perusahaan akan membuat produknya di negara asal, dan menjual ke negara tujuan (misalnya mengekspor) melakukan produksi di lokasi pasar dan menjual langsung (misalnya penjualan domestik) atau melakukan produksi di negara ketiga (karena biaya lebih murah) untuk mengekspor ke negara tujuan maupun kembali ke negara asal. Pertimbangan biaya menyangkut biaya transportasi yang dipengaruhi oleh jarak dari pasar, dan berat dari barang yang bersangkutan. Juga besarnya pasar yang akan menentukan skala produksi yang ekonomis jika melakukan produksi di lokasi pasar, dan tentunya biaya input lain, seperti tenaga kerja dan prasarana. Ambillah contoh RRC, yang potensi pasar dan pertumbuhannya merupakan daya tarik kuat untuk perusahaan mana pun. Besarnya pasar mendukung skala yang ekonomis, biaya input dari segi tenaga kerja dan prasarana murah. Kelima, adalah untuk mendapat manfaat yang paling maksimal dari keunggulan yang dimiliki, seperti pengalaman, jaringan, dan teknologi. Keunggulan yang dimiliki disebut sebagai intangible atau sesuatu yang sulit untuk dijual dengan timbal-balik, di mana keuntungan yang diperoleh layak. Maka, untuk mendapat keuntungan maksimum, perusahaan tersebut melakukan investasi. Motivasi ini lebih umum untuk perusahaan dari negara maju yang memiliki keunggulan teknologi, pengalaman, dan manajemen. Tapi perusahaan dari negara berkembang yang punya market nische tertentu juga dapat mempunyai motivasi yang sama. Misalnya, walaupun teknologinya sederhana, pengalaman dan uji coba dalam membuat mi instan oleh Indofood sulit untuk ''dijual'' dan keuntungan dari keunggulan tersebut paling dapat dinikmati dengan melakukan investasi di lokasi. Khusus untuk investasi di RRC, keunggulan lain yang dimiliki oleh berbagai perusahaan di Asia Tenggara dan Timur adalah hubungan bisnis dan jaringan, karena berasal dari kampung yang sama, atau karena telah lama punya kantor di Hong Kong. Perusahaan Jepang sendiri mengakui betapa pentingnya keunggulan yang dimiliki oleh perusahaan overseas Chinese ini dalam bentuk jaringan dan hubungan dekat dengan para pengambil keputusan di RRC. Motivasi terakhir adalah menciptakan keberadaan internasional dan track record yang baik, hingga bisa go public di pasar modal internasional, seperti di Hong Kong, untuk mencari dana. Pertanyaan lain yang menarik adalah dampak kepada kegiatan domestik dari perusahaan yang melakukan investasi ke luar negeri. Dampak positif dapat dirasakan jika timbul keterkaitan produk, dan jasa ke hilir, dan ke hulu. Misalnya keterkaitan hulu jika proyek prasarana perusahaan Indonesia di RRC menggunakan semen dan tenaga ahli dari Indonesia. Keterkaitan juga dapat terjadi dalam teknologi dan jaringan pasar. Dampak positif lain: jika investasi di luar negeri menghasilkan laba, yang direpatriasi untuk membiayai usaha di dalam negeri. Keuntungan paling besar, yang barangkali baru bisa dipetik dalam jangka menengah dan panjang, adalah peningkatan daya saing perusahaan, yang akan berpengaruh di dalam negeri, karena memiliki keunggulan dari segi akses informasi dan pengalaman di pasar dunia. Tak semuanya positif, tentu. Boleh dibilang, sebagian besar perusahaan Indonesia yang melakukan investasi ke luar negeri pengalamannya masih terbatas. Maka kapabilitas manajemen pada tingkat pusat dan operasional di anak perusahaan atau kantor di luar negeri adalah faktor yang amat penting. Secara implisit hal itu berarti bahwa gaya manajemen yang dapat berjalan di dalam negeri belum tentu dapat berjalan untuk usahanya di luar negeri. Sebagian besar dari perusahaan Indonesia yang go international adalah tetap perusahaan keluarga, yang masih dalam proses untuk memisahkan antara kepemilikan dan manajemen. Tuntutan dunia internasional menggarisbawahi pentingnya menggunakan manajemen profesional, dan berpengalaman internasional untuk mengelola usaha mereka di luar negeri. Bisa jadi pengusaha Indonesia akan membuat kesalahan, yang bisa mahal harganya, mengingat masih terbatasnya pengalaman dan informasi mereka dalam proses internasionalisasi. Misalnya, dalam melakukan investasi di RRC, menjadi pertanyaan adakah mitra usaha yang dipilih sudah tepat. Juga, sudahkah usaha dibekali suatu studi kelayakan yang baik? Misalnya, dari segi pasar, peraturan, dan potensi perubahaan peraturan. Hal penting lain adalah perlunya untuk mempelajari hukum dan peraturan di RRC, yang kabarnya masih banyak yang belum jelas. Jangan pula dilupakan tentang perkembangan di RRC sendiri. Betul bahwa pengusaha dari mancanegara lagi jor-joran menuju ke RRC, yang tahun lalu rata-rata tumbuh dengan 12%. Sementara itu beberapa provinsi di selatan negeri itu diperkirakan mengalami pertumbuhan di atas 20%. Pertumbuhan untuk tahun ini diperkirakan akan tetap tinggi, hingga tampaknya potensi pasar RRC adalah tak terhingga. Namun tanda-tanda overheating sudah mulai terasa. Inflasi di RRC tahun lalu tetap stabil sekitar 6,2% secara nasional (20% untuk daerah urban). Tapi tahun ini diperkirakan akan mencapai 10% (20% di daerah urban). Maka berbagai kebijakan stabilisasi makro akan dijalankan untuk mencoba mengurangi inflasi. Namun ada kekhawatiran mengenai seberapa jauh bank sentralnya dapat menjalankan kebijakan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini