PROGRAM bayi tabung selama ini ternyata masih belum menjamin pasangan suami-istri mempunyai anak. Selama ini angka kehamilan di kalangan peserta program itu baru sekitar 30%. Dari angka itu pun masih ada yang gagal lagi, misalnya akibat abortus. Sehingga, jumlah bayi yang bisa dibawa pulang (take home baby) hanya mencapai 10%, kecuali pada pusat bayi tabung terbaik di dunia saat ini, seperti di New Jersey, Amerika Serikat, dan di London, Inggris, yang sudah mampu mencapai 20%. Tingginya angka kegagalan itu tentu saja membuat program bayi tabung kurang efisien. Maklum, ongkosnya memang mahal. Sekali mendaftar perlu biaya sekitar Rp 5 juta. Jika gagal, uang itu menguap begitu saja. Padahal, supaya pasangan itu mendapatkan momongan anak, rata-rata program itu perlu mereka ulang lima kali. Program yang rumit dan mahal itu, sayangnya, di Indonesia, belum mempunyai pedoman prognosis keberhasilan. Alasan inilah yang kemudian mendorong Soegiharto Soebijakto, 47 tahun, melakukan penelitian. Ahli kebidanan dan kandungan ini berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cum laude di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Rabu pekan silam. Hasil penelitian Soegiharto itu, menurut Doktor Arjatmo Tjokronegoro, merupakan fenomena biologi yang tidak terduga. ''Walaupun begitu, masih diperlukan lagi penelitian lebih lanjut,'' kata Kepala Bagian Biologi FK-UI yang menjadi salah satu ko-promotor penelitian Soegiharto itu. Agar keberhasilan program bayi tabung tercapai, menurut Soegiharto, yang juga memimpin Klinik Infertil di Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UI ini, beberapa indikasi perlu dipertajam lagi. Misalnya, faktor apa yang membuat gagal, dan faktor apa yang membikin berhasil. ''Itulah yang saya cari,'' kata peneliti terbaik FK-UI tahun 1989 itu kepada TEMPO, Sabtu lalu. Pada penelitian terhadap 103 kasus infertil yang ditangani dengan program bayi tabung itu, Soegiharto menemukan, 90% dari mereka darahnya mengandung salah satu atau campuran antibodi terhadap lima jenis protozoa, bakteri, virus, dan jamur. Infeksi-infeksi yang disebabkan virus rubela, dan herpes, misalnya, ternyata malah memperbesar peluang pembuahan di luar kandungan (fertilization in vitro) dibandingkan dengan yang belum pernah diserang virus. ''Mereka seperti divaksinasi,'' katanya. Kegagalan program bayi tabung bisa juga disebabkan oleh si ibu yang sudah berumur. Sebab, makin tinggi usia wanita, makin rendah jumlah telurnya. Selain itu, tingkat kegagalan juga tinggi pada wanita yang mengalami endometriosis, yakni terdapatnya jaringan selaput lendir rahim di luar rongga uterus. Yang juga harus diperhatikan adalah wanita yang pernah mengalami infeksi di dalam alat reproduksinya. Infeksi bisa terjadi akibat pengangkatan tumor yang ada di dalam saluran telur, sehingga akan menyebabkan pelengketan. Seharusnya, sel telur dan sperma meluncur di jalan bebas hambatan. Namun, karena ada bekas infeksi tadi, telur maupun sperma itu terperangkap. Seandainya berbagai hambatan klinik sudah terpecahkan, tampaknya yang masih belum terkejar adalah faktor teknologi. Contohnya, belum ada pusat pembuatan bayi tabung di dunia ini yang mampu membuat kondisi tabung percobaan yang alamiah seperti keadaan di dalam perut wanita. Sebab itu, embrio yang dikembangkan di atas piring percobaan tidak mampu bertahan lama seperti kalau calon bayi itu berkembang di dalam perut ibunya. Secara alamiah, embrio akan berpindah pada saat stadium blastula: ketika hasil pertemuan antara sperma dan sel telur sudah matang. Untuk mencapai kondisi embrio yang sudah keluar akar dan siap menempel pada dinding rahim itu, diperlukan waktu sekitar enam hari. ''Kita sekarang hanya mampu menghidupkannya tiga hari di dalam tabung. Setelah itu mati. Inilah yang kurang alamiah dan menyebabkan kegagalan,'' kata Soegiharto. Padahal, hingga kini, lebih dari satu juta pasangan infertil di Indonesia memerlukan bantuan kehamilan melalui bayi tabung. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini