Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cari Untung Di Rumah Sakit

BKPM dalam surat keputusan no.2/1979, memasukkan rumah sakit dalam daftar skala prioritas PMDK. Banyak yang kurang setuju karena rumah sakit mengutamakan fungsi sosial. (ksh)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG terbuka kesempatan untuk menjadikan rumahsakit sebagai lapangan usaha yang menguntungkan. Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam surat keputusan nomor 2/1979 yang berlaku sejak 28 Mei, telah memasukkan rumahsakit ke dalam Daftar Skala Prioritas PMDN. Artinya, jika ada badan usaha yang mengajukan permohonan, maka dia akan mendapat perhatian khusus. Berbagai keringanan akan diperoleh pula, seperti potongan untuk bea masuk berbagai peralatan. Juga keringanan pajak. Karena rumahsakit selama ini dianggap sebagai lembaga setengah sosial, keputusan BKPM itu agak mengejutkan. Apalagi kalau dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Kesehatan yang menyebutkan bahwa rumahsakit bukan untuk mencari keuntungan, tapi mengutamakan pelaksanaan fungsi sosial. "Harus dijaga benar-benar jangan sampai orang sakit menjadi obyek bisnis," tanggap dra Ny. M. Wahyudi, Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI. Akan Wakil Ketua PDI di DPR, Sabam Sirait tak kurang menyambut gembira langkah BKPM tersebut. Karena keputusan pemerintah itu akan merangsang pembangunan rumahsakit. Namun ia tetap mengharapkan agar watak sosial dari rumahsakit tetap dipertahankan. Kalangan dokter ada juga yang mengeritik kebijaksanaan itu. "Bayangkan, rumahsakit dikelola PT! Apakah nantinya tidak justru mematikan rumahsakit yang sudah ada," tukas seorang dokter. Tapi Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Pusat, dr Syamsudin menganggap keputusan tadi sebagai hal yang lumrah. Karena merupakan ajakan pemerintah pada swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan rumahsakit. Hanya saja ia mengingatkan agar 25% dari tempat tidur, sebagaimana diatur dalam keputusan BKPM tadi, harus terkontrol. "Jangan sampai dokter yang dipekerjakan adalah kelompok dokter komersial. Untuk mengawasi mereka ini pemerintah ada baiknya mengajak IDI," katanya. Tak Disetor Sampai sebegitu jauh belum terdengar badan usaha yang mengajukan permohonan. Soalnya, sejauh menyangkut rumahsakit, perusahaan akan menemukan beberapa soal yang cukup pelik. Dengan modal yang cukup dia tentu bisa memasukkan peralatan kedokteran yang termodern sekalipun. Tapi tenaga dokter? Departemen Kesehatan sendiri sebagaimana dikatakan oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan, dr Brataranuh MPH, masih repot dalam mengatur penempatan dokter. Bagaimana surava mereka tetap patuh pada jam kerja pegawai negeri, tanpa mengurangi hak mereka untuk menambah penghasilan di rumahsakit swasta yang basah. Dimasukkannya rumahsakit ke dalam DSP berlatarbelakang kurangnya dana pemerintah. Sebagaimana dikatakan Ketua IDI Cabang Jakarta, dr Kartono Mohamad, anggaran kesehatan Indonesia hanya 0,4% dari GNP, meski WHO menentukan 0,7%. Kalau swasta memang sudah mau terjun di bidang bisnis rumahsakit, maka pemerintah akan dapat memusatkan perhatiannya pada pembangunan sarana penyelenggaraan untuk pelayanan kesehatan yang mendasar saja. Seperti pembangunan puskesmas yang lengkap tenaga dan pengobatannya. Sekarang ini jangankan untuk membangun rumahsakit yang baru, mempertahankan yang ada saja sudah merupakan persoalan tersendiri. Rumahsakit dr Sutorno, Surabaya, misalnya belakangan ini telah mendirikan ruangan paviliun untuk pasien kelas tinggi guna menutupi kekurangan biaya. Kebijaksanaan yang belum mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan. Di Jakarta, RS Ciptomangunkusumo yang memiliki beberapa ruangan mewah, dan selalu penuh pasien, masih saja mengalami kemunduran keuangan. Departemen Kesehatan, 15 Pebruari yang lalu telah menegur direktur rumahsakit ini. Karena Rp 1.037.773.732, yang harus disetorkannya ke kas negara, ia putarkan sendiri di rumahsakit itu. Termasuk untuk memberikan uang insentif yang bertentangan dengan peraturan. Subsidi terus-menerus terhadap rumahsakit rupanya tak kuat untuk ditanggung pemerintah. Lagi pula manfaat rumahsakit itu bagi masyarakat ternyata terbatas sekali. Status kesehatan penduduk Tanzania mungkin mirip dengan kita. Dari penelitian UNICEF tahun 1976 di negara Afrika itu, menunjukkan bahwa rumahsakit berkapasitas 200 tempat tidur hanya menjangkau 90.000 penduduk. Dengan modal yang sama akan bisa dibangun 15 puskesmas pedesaan, dan penduduk yang dijangkaunya bisa setengah juta orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus