TIDAK ada berita, adakah di antara pengungsi Vietnam yang
membanjir sekarang ini yang beragama Islam. Mungkin tidak. Tapi
di negeri itu, seperti juga di Kamboja, berdiam penduduk muslim
seperti juga Katolik dan Kristen -- di samping Budhis yang
mayoritas.
Diketahui, rezim Thieu yang berkuasa di Saigon sebelum jatuh
pada 1975 dikenal sebagai orang-orang Katolik -- dan mereka
merupakan kelompok yang punya kuasa. Di Vietnam Utara sendiri,
di mana Katolik berkembang pesat selama penjajahan Perancis
pada 1954 ditaksir jumlah mereka 1,5 juta. (Penduduk Vietnam
Utara & Selatan diperkirakan 50 juta). Setelah komunis naik, tak
kurang dari 65% umat Katolik ramai-ramai boyong ke Selatan. Tapi
tak urung Selatan pun jatuh. Dan demikianlah: rezim komunis
sangat tidak ramah kepada mereka.
Di Hanoi masih ada Katedral Regina Pacis. Tapi engsel pintu
gerbangnya berkarat -- kelihatan tak pernah dibuka. Pastor yang
tinggal di belakang gereja menuturkan -- kepada rombongan
wartawan Indonesia yang bulan lalu berkeliling di sana, dan
berhasil minta singgah di gereja itu -- bahwa di kota itu kini
terdapat 10.000 orang Katolik. Tapi ia tak menjawab pertanyaan
apakah jumlah itu sekarang menyusut atau bertambah.
Lebih menyolok yang di kota Ho Chi Minh (Saigon). Kompleks
perguruan Katolik di situ sudah menjadi pusat reedukasi bagi
pengidap narkotik dan perampok. Sedang bangunan gerejanya jadi
markas pertemuan kader partai. Altar kosong, dan di dinding
terpampang gambar Ketua Ho -- bukan Yesus. Di malam libur
sekarang anak-anak muda diizinkan ajojing di altar itu.
Orang Asing
Adapun perlakuan terhadap mesjid rupanya masih tergolong
mendingan. Ada dua buah mesjid di Saigon Mesjid Rahim
Malay-Indonesia dan Mesjid India Muslim. Dua-duanya utuh. Mesjid
pertama dibangun oleh para muslim yang terutama keturunan Melayu
(Semenanjung dan Indonesia) plus penduduk Cham (Campa). Yang
keturunan Melayu, berasal dari nenek-moyang para nelayan Bawean
atau yang sampai di sana lantaran diboyong Jepang sebagai
romusha dulu, umumnya sudah punya kultur campuran dan punya nama
alias Vietnam juga.
Sebelum Saigon jatuh mereka bekerja di toko atau kantor Setelah
hak pribadi dihapuskan, dengan sendirinya mereka kehilangan mata
pencaharian. Di samping itu ancaman jenis lain yang timbul ialah
ketidaksukaan kepada orang asing --sedang mereka ini tetap
dilirik sebagai orang asing, meski sudah beranak-pinak dengan
pribumi.
Bukankah segera setelah komunis berkuasa, orang asing lebih
disukai untuk minggat? Buktinya, seperti dituturkan Hidir bin
Sane Houane alias Ma Tanh Viet, Presiden Asosiasi Mesjid Muslim
Ho Chi Minh City, Pemerintah telah memberikan exit-permit kepada
sebagian besar keturunan Malaysia-Indonesia itu untuk setiap
saat enyah -- begitu ada berita pemerintah yang bersangkutan mau
menerima. Ini juga sudah diadukan Hidir bin Sane yang asal P.
Bawean itu kepada Presiden Suharto, selain mereka juga sudah
berhubungan dengan Kedutaan RI di Hanoi. Kurang lebih 400 orang
di sekitar mesjid itu, mempertahankan hidup dengan menjual apa
saja, dan sebagian sudah memegang semacam surat pengakuan dari
kedutaan kita -- tapi prosedur rupanya tak mudah. Bagaimana pula
dengan nasib umat Islam dan kaum beragama lain di Kamboja?
Dalam satu maklumat dari 'Front Persatuan Nasional Untuk
Menyelematkan Kampuchea', 2 Desember 1978, rezim Heng Somrin
yang di bulan berikutnya merebut kekuasaan itu mengutuk rezim
Pol Pot dan tak lupa menyelipkan kalimat antara lain "Mereka
telah menghancurkan pagoda-pagoda dan kuil-kuil agama Budha --
agama kenegaraan Kampuchea turun-temurun. Mereka paksa para
biarawan dan biarawati mengingkari keulamaannya. Mereka
menghancurkan agama Islam dan memusnahkan Suku Cham (Islam
red)." Di situ tak disebut-sebut Katolik atau Kristen.
Di Kamboja, dengan penduduk 7 juta (konon sekarang tinggal 4
juta, setelah dibabat rezim Pol Pot) terhitung ada 250.000
muslim, 5.000 Katolik dan 3.000 Protestan -- di tahun 1975, pada
pergantian. pemerintah ke tangan komunis. Banyak dari para
muslim ini yang dikabarkan masuk barisan revolusi (komunis) di
tahun 1970 -- dengan tujuan merebut tempat di atas mayoritas
Budhis, yang selama ini dirasa menekan mereka.
Tetapi di bawah Pol Pot, kitab Qur'an dibakar. Orang Islam
dipaksa mengumpulkan babi di dalam mesjid. Nopember 1975 orang
Campa di Dusun Trea berontak -- dan pasukan Khmer Merah
memusnahkan dusun itu dengan pesawat-pesawat B-40. Pasukan darat
dalam pada itu membantai mereka dan menyerakkan mayat-mayatnya,
sebagiannya ke Sungai Mekong -- seperti diceritakan Mat Sleman
dari Kompong Cham, yang berhasil masuk Muangthai Juni 1976 *).
Mengencingi
Apa yang dialami kaum muslimin, yang selain berbeda agama juga
berbeda suku dan latar belakang sejarah (sejak zaman Kerajaan
Campa dahulu), barangkali memang lebih tragis dari
saudara-saudara mereka yang Budha. Tetapi di Pnom Penh,
baru-baru ini, sebuah kuil dibuka kembali -- dan itu menunjukkan
bahwa di bawah Pol Pot & Ieng Sary seluruh kehidupan Budhis juga
dibasmi. Hanya saja sasaran mereka tempo hari terbatas pada para
biksu & pendeta.
Sampai 1975, di kota Phnompenh tercatat 1.000 orang biksu.
Begitu Pol Pot berkuasa, mereka dipaksa menyerahkan jubah
mereka, mengencingi patung-patungnya, dan digiring ke kamp kerja
paksa -- dan dibunuh. Kini hanya tinggal tak lebih dari 18
biksu.
Akan hal Katolik dan Protestan, umumnya pihak penguasa tidak
anggap penting kehadiran mereka. Tetapi, demikian dikatakan
seorang pengungsi, begitu tentara tahu bahwa seseorang beragama
Kristen, ia akan langsung "dibawa" -- sebab seorang Kristen
dengan sendirinya "CIA".
Sekarang, bisakah kehidupan agama diharapkan mekar kembali di
Kamboja, sebagaimana di Vietnam?
Di Katedral Regina Pacis di Hanoi, seorang pejabat yang
mengiring wartawan Indonesia menyuruh anak-anak 8 tahunan --
yang kebetulan sedang main-main di dalam -- untuk berlutut di
depan patung, lantas dia potret. Pemerintah Heng Somrin, yang
telah mengutuk pendahulunya untuk meneguhkan dirinya di tengah
rakyat, agaknya memang lebih berperikemanusiaan. Tapi yang
dibutuhkannya barangkali cuma sekedar gambaran: bahwa agama
ternyata "bebas" di bawah rezim komunis yang baru. Tentunya
dengan catatan: kampanye anti-agama digerakkan oleh pemerintah
juga.
*) Francois Ponchaud, Cambodia Year Zero, Penguin Books, 1977.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini