Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ho, Bukan Yesus

Nasib orang beragama di negeri komunis indocina macam Vietnam, Kamboja. Tapi masih ada tempat ibadah seperti masjid, gereja, kuil yang dipadati para jemaah. (ag)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK ada berita, adakah di antara pengungsi Vietnam yang membanjir sekarang ini yang beragama Islam. Mungkin tidak. Tapi di negeri itu, seperti juga di Kamboja, berdiam penduduk muslim seperti juga Katolik dan Kristen -- di samping Budhis yang mayoritas. Diketahui, rezim Thieu yang berkuasa di Saigon sebelum jatuh pada 1975 dikenal sebagai orang-orang Katolik -- dan mereka merupakan kelompok yang punya kuasa. Di Vietnam Utara sendiri, di mana Katolik berkembang pesat selama penjajahan Perancis pada 1954 ditaksir jumlah mereka 1,5 juta. (Penduduk Vietnam Utara & Selatan diperkirakan 50 juta). Setelah komunis naik, tak kurang dari 65% umat Katolik ramai-ramai boyong ke Selatan. Tapi tak urung Selatan pun jatuh. Dan demikianlah: rezim komunis sangat tidak ramah kepada mereka. Di Hanoi masih ada Katedral Regina Pacis. Tapi engsel pintu gerbangnya berkarat -- kelihatan tak pernah dibuka. Pastor yang tinggal di belakang gereja menuturkan -- kepada rombongan wartawan Indonesia yang bulan lalu berkeliling di sana, dan berhasil minta singgah di gereja itu -- bahwa di kota itu kini terdapat 10.000 orang Katolik. Tapi ia tak menjawab pertanyaan apakah jumlah itu sekarang menyusut atau bertambah. Lebih menyolok yang di kota Ho Chi Minh (Saigon). Kompleks perguruan Katolik di situ sudah menjadi pusat reedukasi bagi pengidap narkotik dan perampok. Sedang bangunan gerejanya jadi markas pertemuan kader partai. Altar kosong, dan di dinding terpampang gambar Ketua Ho -- bukan Yesus. Di malam libur sekarang anak-anak muda diizinkan ajojing di altar itu. Orang Asing Adapun perlakuan terhadap mesjid rupanya masih tergolong mendingan. Ada dua buah mesjid di Saigon Mesjid Rahim Malay-Indonesia dan Mesjid India Muslim. Dua-duanya utuh. Mesjid pertama dibangun oleh para muslim yang terutama keturunan Melayu (Semenanjung dan Indonesia) plus penduduk Cham (Campa). Yang keturunan Melayu, berasal dari nenek-moyang para nelayan Bawean atau yang sampai di sana lantaran diboyong Jepang sebagai romusha dulu, umumnya sudah punya kultur campuran dan punya nama alias Vietnam juga. Sebelum Saigon jatuh mereka bekerja di toko atau kantor Setelah hak pribadi dihapuskan, dengan sendirinya mereka kehilangan mata pencaharian. Di samping itu ancaman jenis lain yang timbul ialah ketidaksukaan kepada orang asing --sedang mereka ini tetap dilirik sebagai orang asing, meski sudah beranak-pinak dengan pribumi. Bukankah segera setelah komunis berkuasa, orang asing lebih disukai untuk minggat? Buktinya, seperti dituturkan Hidir bin Sane Houane alias Ma Tanh Viet, Presiden Asosiasi Mesjid Muslim Ho Chi Minh City, Pemerintah telah memberikan exit-permit kepada sebagian besar keturunan Malaysia-Indonesia itu untuk setiap saat enyah -- begitu ada berita pemerintah yang bersangkutan mau menerima. Ini juga sudah diadukan Hidir bin Sane yang asal P. Bawean itu kepada Presiden Suharto, selain mereka juga sudah berhubungan dengan Kedutaan RI di Hanoi. Kurang lebih 400 orang di sekitar mesjid itu, mempertahankan hidup dengan menjual apa saja, dan sebagian sudah memegang semacam surat pengakuan dari kedutaan kita -- tapi prosedur rupanya tak mudah. Bagaimana pula dengan nasib umat Islam dan kaum beragama lain di Kamboja? Dalam satu maklumat dari 'Front Persatuan Nasional Untuk Menyelematkan Kampuchea', 2 Desember 1978, rezim Heng Somrin yang di bulan berikutnya merebut kekuasaan itu mengutuk rezim Pol Pot dan tak lupa menyelipkan kalimat antara lain "Mereka telah menghancurkan pagoda-pagoda dan kuil-kuil agama Budha -- agama kenegaraan Kampuchea turun-temurun. Mereka paksa para biarawan dan biarawati mengingkari keulamaannya. Mereka menghancurkan agama Islam dan memusnahkan Suku Cham (Islam red)." Di situ tak disebut-sebut Katolik atau Kristen. Di Kamboja, dengan penduduk 7 juta (konon sekarang tinggal 4 juta, setelah dibabat rezim Pol Pot) terhitung ada 250.000 muslim, 5.000 Katolik dan 3.000 Protestan -- di tahun 1975, pada pergantian. pemerintah ke tangan komunis. Banyak dari para muslim ini yang dikabarkan masuk barisan revolusi (komunis) di tahun 1970 -- dengan tujuan merebut tempat di atas mayoritas Budhis, yang selama ini dirasa menekan mereka. Tetapi di bawah Pol Pot, kitab Qur'an dibakar. Orang Islam dipaksa mengumpulkan babi di dalam mesjid. Nopember 1975 orang Campa di Dusun Trea berontak -- dan pasukan Khmer Merah memusnahkan dusun itu dengan pesawat-pesawat B-40. Pasukan darat dalam pada itu membantai mereka dan menyerakkan mayat-mayatnya, sebagiannya ke Sungai Mekong -- seperti diceritakan Mat Sleman dari Kompong Cham, yang berhasil masuk Muangthai Juni 1976 *). Mengencingi Apa yang dialami kaum muslimin, yang selain berbeda agama juga berbeda suku dan latar belakang sejarah (sejak zaman Kerajaan Campa dahulu), barangkali memang lebih tragis dari saudara-saudara mereka yang Budha. Tetapi di Pnom Penh, baru-baru ini, sebuah kuil dibuka kembali -- dan itu menunjukkan bahwa di bawah Pol Pot & Ieng Sary seluruh kehidupan Budhis juga dibasmi. Hanya saja sasaran mereka tempo hari terbatas pada para biksu & pendeta. Sampai 1975, di kota Phnompenh tercatat 1.000 orang biksu. Begitu Pol Pot berkuasa, mereka dipaksa menyerahkan jubah mereka, mengencingi patung-patungnya, dan digiring ke kamp kerja paksa -- dan dibunuh. Kini hanya tinggal tak lebih dari 18 biksu. Akan hal Katolik dan Protestan, umumnya pihak penguasa tidak anggap penting kehadiran mereka. Tetapi, demikian dikatakan seorang pengungsi, begitu tentara tahu bahwa seseorang beragama Kristen, ia akan langsung "dibawa" -- sebab seorang Kristen dengan sendirinya "CIA". Sekarang, bisakah kehidupan agama diharapkan mekar kembali di Kamboja, sebagaimana di Vietnam? Di Katedral Regina Pacis di Hanoi, seorang pejabat yang mengiring wartawan Indonesia menyuruh anak-anak 8 tahunan -- yang kebetulan sedang main-main di dalam -- untuk berlutut di depan patung, lantas dia potret. Pemerintah Heng Somrin, yang telah mengutuk pendahulunya untuk meneguhkan dirinya di tengah rakyat, agaknya memang lebih berperikemanusiaan. Tapi yang dibutuhkannya barangkali cuma sekedar gambaran: bahwa agama ternyata "bebas" di bawah rezim komunis yang baru. Tentunya dengan catatan: kampanye anti-agama digerakkan oleh pemerintah juga. *) Francois Ponchaud, Cambodia Year Zero, Penguin Books, 1977.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus