RUANG kerja luas, bermandikan cahaya mengesankan kebersihan dan
kerapian. Berjejer puluhan mesin lubut, mesin potong, mesin
bor, pres pembentuk profil dan lengkung serta berbagai mesin
finishing, menggambarkan kemampuan menanggulangi pekerjaan rumit
dan besar. Bengkel itu bagian dari pabrik pesawat terbang PT
Nurtanio di Bandung.
Rabu pekan lalu merupakan hari penting bagi PT Nurtanio. Setelah
berbulan-bulan menyelesaikan proses administratif, pengumpulan
dan penilaian data uji, menulis laporan dan mengadakan
korespondensi dengan luar negeri, akhirnya PT Nurtanio menerima
pengesahan hasil jerih payahnya dalam bentuk Type Certificate
(sertifikat layak terbang) untuk helikopter BO-105, produksi
pabrik itu.
Sertifikat itu ditandatangani oleh Dirjen Perhubungan Udara,
Marsekal Muda Kardono yang kemudian menganggap penting
sertifikat itu diserahkan di Bandung. Menumpang pesawat Cessna,
Kardono dan rombongan terbang ke Bandung di mana dalam upacara
sederhana dokumen itu diserahkan kepada ir. Harsono D.
Pusponegoro, Direktur Teknologi PT Nurtanio, yang mewakili
Dirut. Prof. Dr. B.J. Habibie.
Dalam kata sambutannya Kardono menerangkan bahwa peristiwa ini
adalah yang kedua sejak berdirinya PT Nurtanio pada 23 Agustus
1976. Tepat pada hari ulang tahun kedua perusahaan itu, Ditjen
Perhubungan Udara sempat menyerahkan Type Certificate bagi tipe
pesawat bersayap tetap, CASA C-212 Aviocar, yang diprodusir oleh
PT Nurtanio.
Uraian Kardono juga menyentuh peristiwa DC-10 yang baru ini
menghebohkan seluruh dunia. Di sini menurut Kardono terlihat
betapa pentingnya Type Certificate ini. Sekali FAA mencabut
dokumen itu, armada DC-10 seluruh dunia terpaksa istirahat.
Menanggapi Lumenta
Ia juga menekankan pentingnya produksi PT Nurtanio bagi
penerbangan perintis. Sekarang sudah 75 lapangan terbang
perintis dibangun dan "insya Allah dalam waktu singkat 3 buah
lagi akan diresmikan." Untuk mengisi jalur penerbangan ini
pesawat CASA C-2 12 "paaaaling cocok," kata Dirjen itu dengan
gayanya yang khas.
Kardono pun menanggapi pernyataan Dir-Ut Merpati, Lumenta sehari
sebelumnya. Lumenta menyatakan bahwa pesawat C-212 Aviocar
buatan PT Nurtanio sangat tidak menguntungkan dan sangat boros
dalam pemakaian bahan bakar. Kata Kardono, "bukan pesawat yang
merugikan, tapi memang jalur penerbangan perintis sekarang belum
ada yang menguntungkan." Maka "sarana harus diciptakan dan nanti
pasti menguntungkan."
PT Nurtanio membuat pesawat CASA C-212 dengan lisensi dari
Construcciones Aeronauticas S.A. dari Spanyol dan Helikopter
BO-105 dengan lisensi dari Messerschmitt Bolkow Blohm (MBB) dari
Jerman Barat. Kini produksi yang dibangun bertahap sampai pada
tingkat full-scale productior.
Ir. Harsono menerangkan bahwa ini berarti seluruh komponen
pesawat itu dibuat di Nurtanio dari aluminium sheets yang
diimpor.
Sambil mengantar rombongan Dirjen dan wartawan mengelilingi
kompleks pabrik yang luas, Harsono menjelaskan bahwa Nurtanio
selain bertugas mengembangkan industri penerbangan dan
meningkatkan ketrampilan pemuda di bidang ini, industri ini pada
waktunya akan merupakan suatu faktor penting dalam pembelian
pesawat tertentu dari luar negeri. Dengan membuat bagian
tertentu dari pesawat yang kita beli, pembayaran bisa dilakukan
sebagian dengan manhours, yang berarti menghemat devisa.
"Kebanyakan negara industri menempuh jalan ini," katanya.
Gelatik
Harsono memperlihatkan berbagai hanggar tempat pesawat CASA
C-212 dan Heli BO-105 dibangun. Belasan badan pesawat dalam
berbagai tahap penyelesaian dikelilingi platform kerja
bertingkat dan bermacam peralatan rumit jauh meninggalkan kesan
bengkel primitif yang sering dijumpai di Indonesia.
Program yang kini sedang diolah adalah perancangan stressed
version CASA C-212. "Disain ini seluruhnya dikerjakan tenaga
Indonesia," Harsono menjelaskan. Stressed versio ini nanti akan
mampu mengangkut 30 sampai 35 penumpang dibanding daya angkut
C-212 sekarang sebanyak 19 penumpang. Juga kelak akan dimulai
program pembuatan Helikopter SA-330 PUMA, dengan lisensi
Aerospatiale dari Perancis.
Namun di balik kecemerlangan ini tampak pula jejeran belasan
pesawat Gelatik nongkrong di sebuah lapangan rumput. Gelatik
dulu merupakan hasil produksi kebanggaan nasional, namun
sekarang program itu sudah dihentikan dan diganti program C-212
dan BO-105. "Gelatik tidak ada peminatnya lagi," kata seorang
pejabat Nurtanio. Program Gelatik dulu dikaitkan dengan
pembangunan industri penerbangan di Indonesia oleh pabriknya di
Polandia. Kala itu industri penerbangan nasional dikenal dengan
nama LAPIP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini