Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menuju Keluarga Pancawarga

Program keluarga berencana selama ini berorientasi ke masyarakat akan diarahkan kepada pembangunan keluarga pancawarga: terdiri seorang ayah, seorang ibu dan paling banyak 3 orang anak. (ksh)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM usia 9 tahun Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional berhasil mencapai akseptor 12,8 juta. Tingkat kesuburan turun 29g%. Angka kelahiran tinggal 2% dibandingkan 2,7% sebelum program KB dilancarkan. "Keberhasilan Indonesia merupakan sebuah kisah sukses yang mungkin tiada taranya dalam sejarah keluarga berencana," tulis Population, majalah yang diterbitkan International Planned Parenthood Federation di London. Dengan hasil tadi BKKBN akan mulai mengalihkan perhatiannya dari kampanye kepatuhan minum pil, memakai spiral dan kondom kepada usaha yang lebih luhur: menciptakan keluarga kecil. "Program KB yang selama ini berorientasi ke masyarakat akan diarahkan kepada pembangunan keluarga pancawarga, yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan paling banyak 3 anak," kata Menteri Kesehatan dan Kepala BKKBN dr Suwardjono Surjaningrat, ketika membuka konperensi tahunan Perkumpulan Untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia, pertengahan Juni di Yogyakarta. Keluarga pancawarga merupakan sasaran antara dalam mencapai keluarga yang lebih kecil, dan lebih berimbang. Terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan dua anak. Untuk masyarakat perkotaan kesadaran berkeluarga kecil terdiri dari sepasang suami-isteri dan dua anak itu mungkin sudah bisa ditanamkan sekarang. Tapi untuk pedesaan agak sukar karena tingkat kematian anak mencapai 17 permil. Untuk menekan angka kematian itu BKKBN akan ikut serta dalam program perbaikan gizi di masa mendatang. Keluarga pancawarga, sebagaimana dikatakan Suwardjono Surjaningrat, merupakan langkah pertama untuk menumbuhkan tanggungjawab kepada suami sebagai kepala keluarga. Jadi di masa mendatang tidak hanya kaum ibu saja yang didorong-dorong terus untuk ber-KB. Tapi pun para suami. Untuk tujuan itulah Menkes mengharapkan agar PUSSI ambil bagian aktif. Sterilisasi sebagai cara untuk menghentikan kehamilan memang belum dimasukkan dalam program KB. Tapi masyarakat sudah melihat cara tersebut sebagai salahsatu penopang kegagalan dalam penggunaan alat kontrasepsi. Cuma kemajuan mungkin agak seret. Mengapa? Kalangan agama kelihatannya masih bertahan untuk menyatakan bahwa sterilisasi adalah haram. "Melakukan pemandulan yang berarti mencegah samasekali pembuahan, baik untuk sementara apalagi untuk selamanya dengan operasi atau pengobatan, baik untuk suami atau isteri dilarang (diharamkan) oleh Syariat Islam, kecuali dalam keadaan terpaksa (darurat)." Begitu keputusan Musyawarah ulama Terbatas mengenai KB tahun 1972. Sama seperti program KB yang semula berjalan terantuk-antuk sterilisasi juga maju perlahan. Tahun 1974/75 pesertanya 9.683 perlahan-lahan ia naik menjadi 39.869 di tahun 1978/79. Hanya perbedaan antara peserta wanita dan pria menyolok. Dari seluruh 122.312 peserta, akseptor pria hanya 24.561. Perbandingan ini nampak berbeda dengan jumlah peserta sterilisasi seluruh dunia yang mencapai 140 juta, di antaranya 90 juta pria. Penerangan tentang sterilisasi (di samping penyediaan tenaga dokter) menurut dr Sudraji Sumapraja, wakil ketua PUSSI merupakan tugas utama organisasi tersebut. Karena masyarakat belum bisa membedakan sterilisasi dan pengebirian. "Pengebirian adalah pengangkatan kedua buah pelir pria atau kedua buah indung telur wanita. Sterilisasi samasekali tidak mengangkatnya. Dengan demikian dia tidak akan mengurangi nafsu bersanggama. Tidak akan membuat wanita atau pria jadi banci," jawab dr Sudraji Sumapraja dari klinik dari KB RS Ciptomangunkusumo, Jakarta. Tentang biaya sterilisasi, menurut dr Biran Affandi dari klinik tersebut, tergantung kemampuan. "Mulai dari gratis sampai seharga ongkos sunat Rp 30.000," katanya. Ia menganggap kecemasan pria akan kehilangan nafsu seks sebagai tidak berdasar. Ia mungkin benar. Satyagraha Hoerip, sastrawan dan wartawan yang menjalani vasektomi sejak 1973, tidak pernah mengeluh akibat sterilisasi. Ia malahan berhasil meyakinkan beberapa temannya untuk ikut bertanggungjawab sebagai suami. Tidak hanya terus-menerus membebani isteri dengan anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus