Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Konservasi Pisang Organik Lasiyo

Bekas petani padi dan kacang tanah di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, membudidayakan puluhan varietas pisang lokal secara organik. Memberikan pelatihan ke kampus-kampus hingga diundang ke Italia.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani pisang organik, Lasiyo Syaifudin, di Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta./TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima ribu bibit pisang budi daya tumbuh subur di halaman seluas 300 meter persegi di rumah Lasiyo Syaifudin di Dusun Ponggok, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Papan bertulisan nama varietas tertancap di setiap baris bibit yang berumur satu-tiga bulan itu. Varietas itu di antaranya pisang raja, klutuk, kojo, ambon kuning, dan kepok kuning.

Di petak lain yang tak jauh dari petak pembibitan, ada kebun herbal yang berisi berbagai tanaman untuk bahan pestisida hayati. Ada kucai, jahe, cabai rawit, sambiloto, nimba, lengkuas, dan kunyit. Berkarung-karung pupuk padat dari kotoran ayam, kambing, dan sapi serta limbah jamur tiram ditumpuk di satu sisi lain halaman. Di samping rumahnya, berjajar tong plastik berisi pupuk cair berbahan leri atau air bekas cucian beras dan air bonggol pisang.

Pria yang pada 17 Juli nanti berusia 64 tahun itu mengungkapkan, budi daya pisang secara organik mendatangkan banyak manfaat untuknya. Pisang-pisang yang ia tanam di kebun seluas 3.000 meter persegi yang berada 1 kilometer dari rumahnya tahan terhadap serangan penyakit. “Pupuk dan pestisida hayati terbukti efektif menangkal penyakit pada pisang,” kata Lasiyo, Rabu, 19 Juni lalu.

Dia mengatakan hanya 10 persen dari 2.000 pohon pisang yang mati karena serangan jamur dan bakteri. Jamur Fusarium oxysporum cubense (Foc) membuat pisang layu sehingga penyakitnya dinamai layu fusarium. Adapun infeksi bakteri Ralstonia syzygii celebesensis pada batang menimbulkan bercak merah seperti darah sehingga disebut penyakit darah, sementara bakteri Pseudomonas solanacearum membuat pisang layu sehingga nama penyakitnya layu bakteri.

Laboratorium Bakteriologi Ilmu Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada pernah meneliti pupuk organik racikan Lasiyo. Pupuknya mengandung Bacillus spp. yang bersifat antagonistis terhadap Foc Ras 4 Tropika atau Foc TR4. Jamur ini merupakan ras baru hasil evolusi dari Foc Ras 1. TR4 lebih ganas, pernah menghancurkan perkebunan pisang di Amerika Latin pada 1950-an. Itu sebabnya layu fusarium juga disebut sebagai penyakit Panama.

Menurut hasil survei Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, penyakit Panama telah menyebar di 15 provinsi di Indonesia, yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Papua. “Bukan tak mungkin ada serangan penyakit Panama di provinsi lain yang belum disurvei,” ujar Deni Emilda, peneliti hama dan penyakit pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika di Solok, Sumatera Barat.

Layu fusarium sangat sulit dibasmi karena jamur bertahan di tanah selama berpuluh-puluh tahun. Penyakit layu ini telah menyebar ke semua sentra produksi pisang dunia di Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Pisang yang paling populer di dunia saat ini, Cavendish, pun tak luput dari serangan penyakit tersebut.

Penyakit pisang lain yang disebabkan oleh bakteri adalah penyakit darah. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali muncul di Sulawesi pada 1905. Pada 1980-an, penyebarannya hampir merata di seluruh Nusantara. Lima tahun lalu, penyakit itu masuk ke daratan Benua Asia, yaitu di Malaysia dan Thailand.

Menurut Lasiyo, penyakit darah membuat daun-daun pisangnya busuk. Namun ia menyatakan tak pernah gagal panen lantaran serangan jamur dan bakteri tersebut ia kendalikan dengan pestisida dan Trichoderma. Dia mencampur serbuk gergaji, kayu lunak, bekatul, dan kapur dolomit untuk membuat fungisida itu. “Fungisida itu juga mampu mengendalikan fusarium yang lebih ganas,” tutur Lasiyo, yang menjabat Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan.

Lasiyo mulai menggeluti pembibitan pisang setelah gempa dahsyat 2006 yang menghancurkan rumah petani padi dan kacang tanah itu. Alasan dia membudidayakan pisang adalah perawatan tanaman ini mudah. Selain itu, dia punya filosofi pitadahe gesang, yang berarti petunjuk hidup. “Pisang selalu meninggalkan tunas atau kehidupan,” ucap Lasiyo, yang memiliki dua anak dan dua cucu.

Kemampuan membudidayakan pisang organik Lasiyo peroleh dari belajar kepada sejumlah ahli pisang. Pada 2008, dia mengundang peneliti Fakultas Pertanian UGM untuk memberikan pelatihan tentang pembibitan kepada kelompok tani yang ia pimpin, Kelompok Tani Permata Hati. Ia tekun belajar hingga usahanya berkembang. Salah satu peneliti yang mengenalkan Lasiyo pada pupuk dan pestisida hayati adalah Siti Subandiyah, pengajar di Fakultas Pertanian dan Ketua Pusat Studi Bioteknologi UGM.

Awalnya, Lasiyo mendapat bibit pisang dari kebun Plasma Nutfah Pisang Yogyakarta, yang memiliki 300 koleksi varietas pisang. Selain itu, ia mengakses bibit pisang dari UGM, Dinas Pertanian Bantul, dan berkeliling ke sejumlah daerah. Salah satu daerah yang menjadi rujukannya adalah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Bibit juga ia dapatkan dari desanya, yang ditumbuhi banyak pohon pisang sejak ia masih bocah.

Semua bibit itu dia perbanyak melalui tunas atau vegetatif. Pria lulusan kelompok belajar paket B itu menanam lebih dari 30 varietas pisang organik dan hanya sembilan varietas yang ia pasarkan, yakni raja bagus, raja buluh, raja serai, raja nangka, klutuk, kojo, ambon kuning, ambon lumut, kepok kuning, dan kepok putih. Harga bibit rata-rata Rp 12 ribu. Beberapa varietas khusus, seperti raja santan, penjalin, dan goroito, tidak dijual karena dikhawatirkan akan punah. “Jumlah pisang jenis itu terbatas,” tutur Ketua Koperasi Amboi Agro Mirasa Boga Bantul tersebut.

Pada September 2016, Lasiyo diundang ke Turin, Italia, dalam acara Salone del Gusto Terra Madre atau pekan internasional budi daya pangan lokal ramah lingkungan yang dihadiri peneliti dari 70 negara. Di sana, video tentang kegiatan budi daya pisang organik Lasiyo diputar. Kunjungan itu mendapat dukungan dari Slow Food Indonesia atas rekomendasi seorang peneliti Italia.

Lasiyo juga laris diundang sejumlah kampus untuk berbagi pengetahuan tentang pembibitan pisang organik. Di antaranya UGM, Universitas Pembangunan Nasional, dan Universitas Negeri Yogyakarta. Kebun dan rumahnya hampir tak pernah sepi dari pengunjung yang hendak belajar tentang pembibitan pisang.

Siti Subandiyah menyebutkan Lasiyo berperan penting dalam konservasi dan budi daya pisang organik. Menurut dia, Lasiyo menjalankan budi daya pisang secara berkelanjutan karena menggunakan pupuk organik, yang terdiri atas humus dan pupuk kandang. Lasiyo juga dinilai kreatif karena terus mencari bahan alami lain untuk pupuk dan pestisida hayatinya, misalnya mencampurkan pupuk dengan mangga jenis kuini agar tak bau.

Pupuk organik juga menjaga unsur hara dan organisme pendukung tanah, seperti cacing. Walhasil, kesuburan tanah terjaga. Buah pisang yang matang di pohon pun memiliki rasa yang lebih enak dan tahan lama. Tempo mencoba pisang kepok yang matang di pohon untuk membuktikan. Pisang organik Lasiyo bisa bertahan hampir dua pekan.

Lasiyo juga menerapkan cara budi daya pisang yang tepat. Dia membatasi tunas anakan maksimal dua per rumpun dengan umur berbeda. Ia memelihara tanaman dengan pemupukan dan pengairan yang baik sehingga jumlah daun per pohon mencapai minimal sepuluh helai per batang. “Tundun buahnya besar dan bagus,” ucap Siti.

Siti menuturkan, Indonesia, yang kaya akan sumber genetik pisang, menjadi negara yang sangat penting untuk pemuliaan pisang. Tujuan pemuliaan adalah mengembangkan varietas yang tahan terhadap penyakit-penyakit yang mengancam produksi pisang secara global. “Konservasi dan perlindungan aset sumber daya genetik pisang membutuhkan perhatian negara,” ujarnya.

Pisang di Indonesia tumbuh secara liar, ada juga yang dibudidayakan. LIPI dalam buku Katalog Pisang menunjukkan, pisang dari keluarga Musaceae terdiri atas 71 spesies dan 12 jenis di antaranya berada di Indonesia. Dua jenis adalah nenek moyang pisang budi daya dunia, yaitu Musa acuminata (genom A) yang merupakan pisang sebagai buah segar dan Musa balbisiana (genom B) sebagai pisang olahan.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus