Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengumuman di sebuah situs Internet itu bak iklan saja. Beberapa ekor anjing, lengkap dengan foto yang lucu, ditawarkan kepada publik. Tapi mereka tidak boleh dibeli, hanya bisa diadopsi. Jangan heran jika sederet persyaratan pun dicantumkan, antara lain tak boleh diikat, harus ditaruh di dalam rumah, dan tak boleh dibiarkan di pekarangan karena akan kepanasan.
Johan Chandra, 30 tahun, yang memasang maklumat, menyatakan terpaksa menawarkan anjingnya kepada orang lain bukan karena tak cinta lagi. Ia tinggal sendiri di rumah kontrakan di kawasan Cengkareng, Tangerang, dan sering pulang malam. Alhasil, Lolo, nama anjingnya yang trah lokal, kurang terurus.
Sebagai bukti bahwa sayangnya kepada Lolo tak pupus, Johan menetapkan berbagai syarat untuk memastikan Lolo berada di tangan yang tepat. Dia pun mewanti-wanti, ”Kalau malam, jangan dikeluarkan dari rumah, nanti diracun orang.”
Jagat para pencinta anjing kini memang telah semakin luas hingga merambah dunia maya. Lewat Internet, mereka bisa menebarkan kebiasaan untuk saling memberi dan mengadopsi hewan berkaki empat itu. Tentu saja cara-cara lama, memindahkan pengasuhan binatang kesayangan mereka lewat pertemanan pribadi, juga tetap terpelihara.
Seniman keramik F. Widayanto, misalnya, termasuk yang setia menggunakan jalur pertemanan. Ia lebih sering berhubungan dengan orang yang telah dikenalnya dalam menerima maupun memberi anjing. Kini di rumah yang merangkap workshopnya yang luas dan asri di kawasan Tapos, Bogor, ia tinggal bersama empat ekor anjing besar dari trah Golden Retriever. Keempat anjing itu bernama Asli dan Noni, serta dua anak mereka yang sudah seukuran orang tuanya, Arrow dan Brando.
”Anggota keluarganya” yang lain adalah Dongan, seekor Boxer yang gagah, dan Alit, seekor Boston Terrier yang mungil dan lucu. Dongan diperoleh dari seorang teman. Widayanto bercerita, istri si teman kurang menyukai Dongan karena dinilai Boxer jelek dan suka meneteskan air liur. Adapun Alit tadinya hanya dititipkan oleh seorang teman yang istrinya sedang hamil. Si teman tak ingin terjadi sesuatu pada kehamilan istrinya karena ada anjing di rumahnya. Kenyataannya, Alit akhirnya menjadi penghuni tetap di kediaman Widayanto.
Widayanto biasa bergaul dengan hewan sejak kecil. Ia mengenang, di rumah orang tuanya dulu selalu ada anjing, kucing, dan burung. Saking cintanya pada anjing, ketika kuliah di Bandung pada awal 1980-an, ia meminta izin kepada ibu kos untuk memelihara seekor Doberman di kamar kosnya.
Demikian pula di rumah orang tuanya di Jakarta, ia memelihara anjing jenis Herder dan afgan. ”Mereka anjing pemburu yang mudah dilatih menjadi anjing penjaga,” katanya. Ketika itu ia sengaja membiakkan anjing untuk mendapat uang jajan tambahan. ”Hasilnya bisa untuk membeli motor,” ujarnya sambil terkekeh.
Sampai kini kecintaan Widayanto pada hewan tak pernah pudar. Di rumahnya yang lain di Tanah Baru, Ciganjur, Jakarta Selatan, ia memelihara dua ekor anjing kampung dan seekor anjing jenis Teckel. Ada pula beberapa ekor kucing kampung.
Tentu saja Widayanto sekarang tak lagi ”berjualan” anjing. Ketika Asli dan Noni memiliki anak, ia memberikan beberapa anak anjing yang baru lahir kepada sejumlah teman dekatnya. Namun, sebelum memberi, ia perlu tahu dulu apakah si kandidat penerima menyayangi binatang.
Itu pun belum cukup. Widayanto perlu bertanya pula apakah si kandidat punya anjing, dan seberapa jauh anjingnya bisa berbagi dengan anjing baru. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun bergaul dengan anjing, Widayanto paham anjing jenis Doberman, Rotweiler, dan Dalmatian biasanya susah berbagi dengan anjing lain. Jadi, kalau si kandidat memiliki anjing jenis itu, dia akan mengurungkan niat memberikan anjingnya.
Perkara kecocokan anjing lama menerima anjing baru memang penting. Widayanto bercerita, suatu hari Kwik Ing Lan, anak perempuan bekas menteri Kwik Kian Gie, menyampaikan keinginan menyerahkan seekor Labrador jantan kepadanya. Ing Lan terpaksa menyerahkan anjing itu karena hendak pergi ke Amerika untuk waktu lama. Ia melihat Widayanto orang yang tepat untuk memelihara anjingnya.
Widayanto bersedia menerima karena berpikir Labrador masih terhitung sepupu jenis Golden Retriever miliknya. ”Mereka pasti mudah berbaur,” begitu ia menduga. Ketika hari penyerahan tiba, Ing Lan datang membawa Labradornya, lengkap dengan tempat makanan dan peralatan lain. Kebetulan Widayanto ketika itu sedang pergi sebentar membawa Asli.
Ketika kembali, Asli terlihat begitu marah pada Labrador milik Ing Lan. Rupanya, sejak tiba di kediaman Widayanto, Labrador itu sudah berkeliaran sambil kencing di mana-mana. Asli merasa wilayahnya sudah dicemari anjing lain. Keributan antar anjing besar itu tak terelakkan. ”Ngeri kalau anjing besar berkelahi,” kata Widayanto. Akhirnya rencana menyerahkan anjing pun batal. Dengan sedih, Ing Lan membawa pulang kembali Labradornya.
Syarat lain yang ditetapkan Widayanto, si kandidat harus mampu memberi makanan ”science diet” buat anjingnya. Makanan kering khusus anjing itu mengandung seluruh gizi, vitamin, dan serat yang dibutuhkan anjing. Tapi harganya tak murah. Kandidat penerima anjing juga harus berjanji tak merantai anjingnya dan melakukan vaksinasi yang diulang setiap tahun.
Sekarang rumah Widayanto penuh dengan foto anjingnya sendiri dan anjing yang pernah diberikan kepada teman-temannya. Foto itu menjadi semacam laporan perkembangan kondisi hewan berkaki empat itu. ”Mereka juga menyampaikan cerita-cerita lucu tentang anjingnya,” katanya.
Salah satu penerima anjing dari Widayanto adalah Monica Tanuhandaru, seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Monica ingat betul wanti-wanti Widayanto agar ia memberi anak anjing Golden Retriever itu penganan science diet. ”Supaya pertumbuhan tulang dan giginya terjaga,” kata Monica menirukan ucapan Widayanto. Sekarang anjing betina itu sudah tumbuh dewasa dengan postur mirip Asli, ayahnya. Monica memberinya nama Noni, seperti nama induknya.
Selain Noni, di rumah Monica di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, ada dua ekor Golden Retriever betina lain. Namanya Ami dan Mutsie. Monica menerima Ami dari seorang kawannya, warga Australia yang pindah kerja ke Bali. Sang kawan mulanya mengatakan cuma menitipkan selama seminggu sambil membawakan sekantong makanan. Kenyataannya, dua tahun lebih sudah Ami ”ngendon” di rumah Monica.
Sedangkan pemilik Mutsie adalah seorang warga Australia yang pulang ke negeri asalnya. Anjing berusia 8 tahun itu hampir disuntik mati karena pemiliknya tak menemukan orang yang dianggap bisa merawatnya. Lewat perantaraan seorang teman, Mutsie akhirnya jatuh ke tangan Monica.
Perempuan muda yang aktif di berbagai organisasi sosial itu sebelumnya juga pernah mengadopsi anjing Teckel yang ditemukannya tertabrak mobil di jalan raya dan kakinya cedera. Anjing itu dibawa ke dokter dan dirawat dengan telaten. Setelah sembuh, akhirnya dipelihara. Ia juga pernah memelihara anjing jenis Schnauzer yang di awal 1990-an masih langka di Jakarta. Sayang, sekarang kedua anjing itu sudah mati.
Asih Tribandini Hidayat adalah contoh lain orang yang suka mengadopsi hewan. Uniknya, bila mengadopsi anjing atau kucing, ia selalu memilih yang paling jelek, yang punya kemungkinan tak diambil orang lain. Biasanya pembantunya yang ia suruh mengambil hewan tersebut. ”Buat saya, semua hewan lucu,” kata nenek empat cucu itu.
Saat ini Asih memiliki dua ekor anjing: Barbie dari trah Basset dan Madonna yang keturunan Teckel. Madonna sudah berumur 12 tahun, usia tua untuk ukuran anjing. Sudah tak bisa bersuara. Madonna adalah Teckel kesepuluh yang pernah dimiliki Asih.
Kedua anjing itu tiap tiga bulan sekali ia beri obat cacing dan setahun sekali divaksin. Ia juga rutin tiap dua bulan sekali membawa binatang peliharaannya ke dokter hewan, terutama untuk mencegah penyakit kulit. ”Itu penyakit yang biasa pada hewan di daerah tropis,” ujar Asih.
Selain itu, di rumah Asih di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, masih ada tiga ekor kucing. Seekor kucing persia yang diberi nama Timmy. Dan dua ekor kucing kampung. Seekor diberi nama Oreo karena warnanya hitam-putih. Seekor lagi bernama Tommy. Setiap Sabtu, semua anjing dan kucingnya ia mandikan.
Kucing-kucing itu juga hasil adopsi. Timmy milik seorang teman yang tadinya sudah dilirik orang untuk diadopsi. Tapi entah mengapa orang itu batal mengambil, sehingga akhirnya Asih yang membawanya pulang.
Adapun Oreo ditemukan semasa masih bayi dalam kondisi mengenaskan. Terbungkus plastik dan hampir tergilas mobil, tubuh Oreo begitu kurus dan ringkih. Begitu Asih memberi obat cacing, keluarlah ratusan cacing seperti bihun. Asih kemudian membawa Oreo ke dokter dan merawatnya hingga sehat.
Asih juga pernah mengambil Teckel yang sudah hampir disuntik mati oleh dokter di rumah sakit hewan karena menderita kanker. Pemiliknya sudah menyerahkan nasib si anjing kepada dokter. Asih, yang kebetulan ada di sana, memohon kepada dokter agar mengizinkannya membawa anjing itu pulang ke rumah. ”Teckel itu hidup bersama saya selama setahun, sebelum akhirnya mati secara wajar,” kata perempuan yang menyimpan foto Barbie bersama cucu-cucu tersayang di dompetnya itu.
Dunia para pencinta hewan memang tak lagi hanya sebatas Pondok Pengayom Satwa. Pondok yang terletak di Ragunan, Jakarta Selatan, itu memang masih menyediakan kucing dan anjing untuk diadopsi. Juga ada jasa penitipan, klinik dan rawat inap, serta kremasi dan penguburan hewan.
Monica mengingat dulu suka menitipkan anjing ke Pondok Pengayom Satwa bila pergi ke luar kota dalam waktu lama. ”Ketika itu saya belum punya pembantu untuk merawat anjing.” Toh, sekarang sesekali ia masih berkunjung ke Ragunan. ”Kalau stres, saya pergi Ragunan untuk memberi makan anjing di sana,” ujarnya.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo