Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Astaga, Uthe!

Ruth Sahanaya membuktikan ia pantas menyandang julukan diva Indonesia. Tapi konser reuninya pekan lalu seharusnya bisa lebih baik.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA tirai putih menjuntai dari langit-langit Plenary Hall Jakarta Convention Center, menampilkan bayangan bisu instrumen musik. Sejenak kemudian musik mengapung di segala sudut ruangan. Tirai dijatuhkan, memperlihatkan panggung hidrolik yang di atasnya berdiri sang penyanyi mungil dalam bebatan kain perak: Ruth Sahanaya.

Uthe, nama panggilan Ruth, langsung menggebrak dengan nomor up tempo Bawa Daku Pergi, yang mengingatkan para penggemar fanatiknya pada aura konser pertama sang diva 12 tahun silam di Taman Ismail Marzuki. Diva?

Kamis malam pekan lalu, Uthe mengembalikan makna diva yang belakangan amburadul setelah menjadi ”status sosial” yang paling diburu penyanyi wanita Indonesia—terutama dalam lima tahun terakhir. Semua berlomba-lomba mengenakan julukan itu tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan setara Maria Callas (1923-1977), soprano Yunani-Amerika yang menaklukkan beragam panggung opera setelah Perang Dunia II, dan karena itu dipanggil sepenuh cinta oleh pemujanya sebagai ”diva” (kata Italia untuk goddess, sang dewi).

Uthe memang belum sekelas Callas. Namun kepentingan industri musik pop dunia yang mereduksi sebutan diva hanya pada dua ciri, yaitu rentang suara yang lebar dan ekspansif (seperti Mariah Carey) atau kepiawaian penguasaan panggung yang spektakuler (seperti Madonna), membuat mantan penyanyi band Krakatau ini masih absah menyandang predikat itu. Buktinya, 4.000 tiket ludes diserbu penonton yang rindu akan kehangatan suara Uthe.

Sekitar 25 lagu meluncur darinya, memaparkan pemandangan déjà vu di depan mata penonton yang hampir selalu ikut bersenandung. Bukankah sebagian besar lagu malam itu sudah terdengar sejak era 1980, seperti Astaga, Pesta, atau Amburadul? Dengan ”modal” seperti itu, tak sulit bagi Erwin Gutawa membungkus lagu demi lagu dengan berbagai aransemen baru. Dari jazz hingga a capella.

Sayang, gerak panggung Uthe tak menunjang. Ketika musik mengantarkan salsa, Uthe bergerak gamang seperti takut jatuh. Padahal Nadine—putrinya yang berusia 10 tahun—baru saja menyihir penonton dengan memperagakan kelenturan tubuhnya dengan kawalan pukulan gendang sekitar 10 menit.

Uthe pun masih kaku berkomunikasi dengan penonton. Di awal konser, dia alpa menyambut para penggemarnya dengan ucapan selamat datang yang hangat. Obrolan antarlagu pun terdengar monoton, karena sering diulang-ulang. ”Seperti dihafal,” cetus Harvey Malaihollo kepada Tempo. Glenn Fredly, yang muncul di paruh kedua konser, untungnya, mampu membuat atmosfer konser mulai menghangat. Apalagi ketika keduanya berduet dalam Aku Cinta Kepadamu.

Yang unik dari konser ini adalah tata panggung garapan Jay Subiyakto. Berbeda dari kelaziman panggung konser di Indonesia yang berbentuk persegi panjang dan merapat ke salah satu sisi ruangan, panggung Uthe ditempatkan Jay di tengah-tengah ruangan dengan ukuran 17 x 15 meter. ”Kami memang menanggung risiko tinggi dengan membuat panggung gaya baru begini. Ini menuntut Uthe tampil dengan persiapan yang sangat ekstra,” ujar Jeffry Waworuntu, manajer sekaligus suami Uthe.

Sayangnya, karena ada tiga sisi panggung yang harus dilayani Uthe, stamina fisiknya terlihat cepat turun. Sehingga, impresi sebuah panggung kelas dunia yang ingin dicapai—seperti dalam konser Cher atau Sting—justru menjadi bumerang. Hal ini dirasakan terutama oleh penonton di kelas festival, yang posisinya lebih rendah sekitar 50 sentimeter dari permukaan panggung.

Untuk konser pekan lalu, Uthe hanya sempat melakukan latihan satu setengah bulan. Sudah sepantasnya untuk konser solonya yang ketiga kelak, Uthe bersiap lebih baik agar dapat menaklukkan panggung. Sebab, ini bukan musik kamar yang cukup memperdengarkan komposisi manis dengan dekorasi bunyi indah. Kalau tidak, bisa-bisa penonton akan beramai-ramai menyanyi seperti yang dilantunkan Uthe sendiri: Astaga…, apa yang sedang terjadi? Astaga!

Kurie Suditomo/Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus