Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADU argumentasi mewarnai rapat yang berlangsung di satu ruangan di lantai 7 gedung Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kamis dua pekan lalu. Menurut sumber Tempo, keenam anggota Komisi Yudisial minus Soekotjo Soeprapto tampak tegang. Maklum, ini pertemuan pertama mereka untuk membahas rekomendasi yang akan diberikan ke Mahkamah Agung, terhadap kasus putusan majelis hakim pemilihan kepala daerah di Depok.
”Perdebatan seru. Masing-masing punya pertimbangan dan alasan, dan itu masuk akal,” kata sumber tersebut, Selasa pekan lalu. Meski Soekotjo tidak hadir karena harus mengikuti satu seminar di Universitas Indonesia. ”Tapi dia sudah menyampaikan pendapatnya dalam kasus ini,” ujarnya.
Komisi Yudisial memang tengah mendapat pekerjaan yang lumayan berat. Mereka tengah memeriksa pengaduan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Majelis itu mengeluarkan putusan dalam perkara gugatan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) Depok tanggal 4 Agustus yang memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad.
PKS merasa berkeberatan dengan putusan itu karena menemukan sejumlah keanehan yang berdampak pasangan yang dijagokan partai itu, Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, dikalahkan. Komisi Yudisial kemudian menindaklanjuti pengaduan itu dengan memeriksa majelis hakim pada 29 Agustus. Setumpuk dokumen perkara gugatan pilkada Depok juga dicermati. Begitu pula sejumlah peraturan yang terkait dengan perkara.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, rapat Komisi Yudisial itu mencapai satu kesimpulan: majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terbukti melakukan perbuatan tidak profesional, baik secara formal maupun materiil. Sejumlah peraturan telah dilanggar para hakim itu.
Tahap selanjutnya, komisi membahas sanksi hukum yang akan diberikan kepada lima hakim tinggi itu. Nah, pada tahap ini, suasana rapat pun mulai menunjukkan ketegangan. Setelah diskusi cukup lama, semua anggota komisi sepakat, sanksi yang akan dikenakan berupa teguran tertulis dan pemberhentian sementara.
Namun, memasuki tahap hakim mana saja yang mendapat teguran tertulis dan hakim mana yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara, anggota komisi tampak berdebat alot. Sebab, Undang-Undang Komisi Yudisial memang tidak menjelaskan secara rinci kriteria pemberian sanksi. Itu sebabnya, pemberian sanksi kepada hakim yang akan dikenai teguran atau diberhentikan dari jabatannya bukan perkara gampang.
Melalui kriteria yang mereka buat dan sepakati sendiri, semua anggota Komisi Yudisial akhirnya sepakat teguran lisan diberikan kepada hakim Hadi Lelana, Sofyan Royan, Ginalita Silitonga, dan Rata Kembaren. Hanya, suara mereka terbelah ketika menentukan sanksi untuk hakim Nana Juwana. Komposisi suara 4 : 3. Empat anggota komisi setuju Nana diberhentikan sementara dari jabatannya selama satu tahun. Tiga lainnya memilih teguran lisan. ”Putusan jadi tidak bulat. Tidak seperti bola pingpong, tapi kayak telur asin,” kata sumber itu.
Wakil Ketua Komisi Yudisial, M. Thahir Saimima, membantah pengambilan putusan sanksi untuk Nana tidak kompak. ”Keputusan kami ambil secara bulat,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Suara senada juga disampaikan anggota komisi lainnya, Chatamarrasjid. ”Semua satu suara.”
Memang, kata Thahir, setelah rapat selesai, ada beberapa pertimbangan hukum yang dibenahi, sehingga baru Rabu pekan lalu hasil laporan pemeriksaan Komisi Yudisial diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan DPR. ”Jadi, tidak ada dissenting opinion (perbedaan pendapat),” ujarnya.
Komisi memberikan sanksi pemberhentian sementara karena, sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan ketua majelis perkara, Nana mestinya memberikan panutan bagi bawahannya. Pertimbangan lain, kata Thahir, Nana tidak kooperatif. Dia menolak menjawab pertanyaan setiap kali ditanya soal tugasnya. ”Alasannya ada instruksi Mahkamah Agung,” kata Thahir.
Sikap bungkam Nana tidak dilakukan oleh empat anggota majelis hakim lainnya. Menurut Thahir, para hakim itu menjawab semua pertanyaan dan tidak satu pun menyinggung ada instruksi Mahkamah Agung. ”Mereka kooperatif. Bahkan ada hakim yang mengakui kekeliruannya,” ia menjelaskan.
Rekomendasi Komisi Yudisial itu ditanggapi dingin oleh Nana. Dia menolak menjawab pertanyaan seputar sanksi yang dikenakan kepadanya. ”Semua sudah di tangan Mahkamah Agung. Silakan ke sana,” kata dia seusai mengikuti serah terima jabatan Ketua Pengadilan Negeri Karawang di kantornya, Kamis pekan lalu.
Namun, dalam acara serah terima itu Nana sempat ”curhat” kepada koleganya. Ia mengatakan perkara itu hanya soal perbedaan pendapat antara hakim bawahan dan atasan. Tapi hal itu berujung pada pemeriksaan dirinya dan empat rekannya di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pemeriksaan ini, menurut Nana, sangat berbahaya dan akan jadi preseden buruk ke depan. ”Kalau nanti ada perbedaan pendapat antara majelis pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, majelis (negeri) itu dipanggil ke majelis tinggi dan dijatuhi hukuman,” ujarnya.
Yang membuat Nana lebih nelangsa, menurut dia, Mahkamah Agung lebih mendengar suara kubu Nurmahmudi ketimbang membela para hakim. ”Sekalipun kami sudah diinjak-injak, dimaki, dan dihujat, dan sudah terbukti bahwa yang dituduhkan itu tidak terbukti, tidak ada pembelaan,” ujarnya tampak nelangsa. Dia khawatir pemeriksaan seperti ini akan menghilangkan independensi dan otonomi hakim dalam memutus perkara.
Sebaliknya, Nurmahmudi Ismail merasa gembira atas isi rekomendasi Komisi Yudisial. ”Rekomendasi itu merupakan bukti bahwa kejanggalan yang kami temukan bukan mengada-ada, melainkan fakta,” ujarnya kepada Redy M.Z. dari Tempo. Harapan Nurmahmudi, Mahkamah Agung segera mempertimbangkan rekomendasi Komisi Yudisial. ”Sekaligus membenarkan putusan KPUD Depok yang menyatakan saya pemenang pilkada,” ujarnya. Namun, agaknya perjalanan perkara ini masih panjang. Mahkamah Agung masih harus membentuk majelis kehormatan hakim untuk memeriksa Nana berdasarkan rekomendasi Komisi Yudisial. Pada panel ini, Nana masih diberi kesempatan membela diri.
Itu berarti masih ada peluang buat Nana untuk bisa bebas dari sanksi hukum. Tentunya jika Nana bisa membuktikan dirinya tak bersalah. Tapi, lebih jauh dari itu, sebenarnya juga tidak ada aturan yang mengikat Mahkamah Agung untuk mengikuti rekomendasi Komisi Yudisial.
Maria Hasugian/Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo