Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dangdut Generasi MTV

Inilah masa jaya musik dangdut. Para penyanyinya mendadak kaya raya.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH megah bergaya Mediterania itu masih terlihat baru. Berlantai dua di atas tanah seluas 300 meter persegi, rumah itu punya sepasang pilar penyangga teras berlapis pualam kuning gading. Di balik pagar setinggi dua meter, berdiri pos jaga dengan seorang satpam yang siap membukakan pintu besi buat para tamu. Rumah di Jalan Walang Timur, Semper, Jakarta Utara, itu bisa mencapai semiliar rupiah nilainya. Itulah rumah Kristina, 26 tahun, penyanyi dangdut yang melesat namanya lewat lagu Jatuh Bangun. Sebulan lalu, Kristina dan keluarganya masih tinggal di sebuah rumah kecil di gang sempit di perkampungan kumuh Jakarta Utara yang senantiasa tergenang banjir pada musim penghujan. Tapi kinilah saatnya untuk bangun. ”Ini semua hasil jerih payah Kristina,” kata Nyonya Dariyah, sang ibunda. Rumah itu tidak dibeli secara kontan, tapi dibangun dengan cara mencicil sejak setahun lalu. ”Benar-benar seperti jatuh dan bangun,” wanita asal Pemalang, Jawa Tengah, itu menambahkan. Bersama Alam, yang ngetop lewat lagu Mbah Dukun, Kristina memang ibarat meteor di panggung dangdut. Kurang dari lima tahun sejak pertama kali suara mereka bisa dinikmati dari pita kaset, keduanya telah menyalip seniornya seperti Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan Lilis Karlina. Lama dianggap udik, dangdut sudah sejak akhir 1970-an muncul sebagai fenomena perkotaan—antara lain berkat Rhoma Irama yang ”nakal” memasukkan elemen Deep Purple ke dalam musik asal India itu. Tapi baru setelah reformasilah setiap bintang baru melesat lebih kencang dari bintang sebelumnya. Kini setiap stasiun televisi berlomba menghadirkannya secara live dalam mata acara seperti Joged atau Digoda. Dangdut juga tidak asing lagi di telinga pengunjung Hard Rock Café, bahkan kini menerobos masuk MTV lengkap dengan klip videonya yang sophisticated, tapi tanpa kehilangan penggemar di panggung-panggung terbuka. Suara mendesah dan goyang seronok, memang masih menjadi warnanya yang kental. Tapi tetap saja hanya penyanyi yang sukses baik di dapur rekaman maupun di panggung televisi yang berhak memetik uang sebanyak-banyaknya. Lihatlah misalnya dalam sukses Kristina—yang sering dijuluki Krisdayanti-nya Dangdut (KD). Kurang dari tiga tahun setelah album Jatuh Bangun laris di pasaran, dia sudah bisa membawa pulang dua mobil ke garasinya: Kijang baru dan sedan Peugeot Sport seri 307 yang mewah. Padahal, sepuluh tahun lalu, dia masih harus mondar-mandir naik bus kota untuk manggung di Dunia Fantasi Ancol, Taman Ria Senayan, atau Taman Monas. Jangankan untuk berdandan, honor manggungnya pun waktu itu hanya cukup buat sekali makan. Bahkan Kristina pernah harus tekor karena sudah naik taksi untuk datang manggung tapi tidak memperoleh bayaran. ”Cuma dibayarin makan malam,” kata anak kelima dari seorang guru sekolah dasar itu. Sebaya Kristina, Alam juga gilang-gemilang dengan album pertamanya, Mbah Dukun. Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, adik artis dangdut Vetty Vera ini melejit dengan suara serak khas penyanyi rock. Muncul pertama kali Februari 2002 lalu, dia sudah melepaskan 400 ribu kopi album pertamanya itu—dengan royalti Rp 100 juta. Tapi uang lebih banyak mungkin ditangguknya dari panggung. Untuk sekali pentas sekitar satu jam, Alam memperoleh Rp 20 juta. Padahal, seperti pekan-pekan ini, dia naik pentas di beberapa kota Jawa. ”Selama seminggu penuh,” katanya kepada TEMPO seusai berpentas di Pekalongan, setelah sebelumnya manggung di Cirebon. Pemegang gelar diploma satu dari Institut Teknologi Nasional, Bandung, itu tak hanya bisa membiayai hobi mahalnya mengoleksi barang elektronik, komputer, dan telepon genggam. Dia juga punya sebuah vila mewah di Bandung. Untuk bepergian, dia bisa memilih satu dari tiga mobil koleksinya: dua Kijang dan satu Nissan Terrano terbaru. Sukses para penyanyi dangdut tidak datang dari keajaiban. Mereka umumnya merangkak keras untuk sampai ke papan atas. Iis Dahlia, misalnya, mengalami masa sulit pada 1980-an, ketika namanya tidak dikenal. Setiap akhir pekan, dia sering harus berpentas di empat panggung berbeda di Jakarta dengan bayaran hanya Rp 5.000 per panggung. Namun jangan tanya honor manggungnya sekarang. Hasil jerih payahnya pun tak sia-sia. Iis memiliki sebuah rumah mewah di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, lengkap dengan sedan Mercy keluaran terbaru di garasinya. Tahun depan, sudah ada 200 panggung yang siap menanti kedatangan Iis, pemenang penghargaan artis dangdut terbaik TPI 1997. Iis pulalah yang menurut pengamat seni musik Deni M.R. ikut menaikkan pamor dangdut ke kalangan kelas menengah Jakarta. Pada akhir Juli 2001, semua kursi di Hard Rock Café Jakarta penuh ketika dia tampil. Padahal hari itu Jakarta sedang dalam suasana politik menegangkan setelah Abdurrahman Wahid mengancam mengeluarkan dekrit presiden. Sukses para pendatang baru itu memang tidak bisa dilepaskan dari peran pembantu, yakni maraknya industri pertelevisian. Di era Iis Dahlia dan rekan segenerasinya seperti Ikke Nurjanah, penyanyi harus antre untuk dapat tampil di stasiun TVRI. Itu pun dengan syarat yang tidak mudah. Ikke, misalnya, masih ingat betul ketika untuk pertama kalinya akan tampil di televisi. ”Semua diawasi, dari pakaian sampai ekspresi di panggung,” ujar Ikke, yang terkenal lewat lagu Terlena, ”Penyanyi dangdut diwanti-wanti agar tidak terlalu bebas berkreasi.” Seperti dalam jazz, improvisasi dan interaktivitas dengan penonton adalah nyawa dangdut. Generasi Kristina dan Alam lebih beruntung. Mereka punya banyak pilihan. Dari 11 stasiun TV yang ada, sembilan di antaranya rutin menyiarkan musik dangdut. Acara Sik-Asik di SCTV, misalnya, bahkan gencar menghadirkan muka-muka baru, termasuk penyanyi dangdut daerah, dengan lagu-lagu yang dikemas dalam versi disko dan pop dangdut. Menurut hasil survei terbaru AC Nielsen, firma periset rating acara televisi, dangdut bahkan menjadi penopang stasiun televisi baru. ”Acara dangdut menyedot iklan karena jumlah penonton yang tinggi,” kata salah seorang direksi sebuah stasiun swasta yang tidak mau disebut namanya, ”Pokoknya yang berbau dangdut gampang dijual.” Jika uang adalah ukurannya, bagi artis sendiri, tampil di televisi bukanlah tujuan utama. ”Honor tampil di televisi jauh kurang di bawah honor panggung,” kata Kristina. Hanya, mereka mengakui, televisi memberikan keuntungan membuat si penyanyi terkenal. ”Unsur iklan TV inilah yang membuat penggemarnya tak akan lupa,” kata Iis Dahlia. Untuk memantapkan jati diri sebagai pendatang baru yang top, memang ada banyak cara yang dilakukan. Kristina kini punya manajer pribadi yang mengurusi keuangan, mencarikan dan memilih order, serta mengatur urusan public relations ketika menghadapi wartawan. ”Jadi jangan tanya honor sama saya,” kata Kristina, ”Pusing kalau saya harus ngurusin duit.” Untuk meningkatkan gengsi, Kristina juga mengembangkan hubungan baik dengan artis lain. Meski hanya lulusan sekolah menengah ekonomi, dia kini punya jabatan keren: Sekretaris Jenderal Women Legal Club, organisasi yang diketuai Pengacara Ruhut Sitompoel. ”Saya mau membantu artis-artis yang punya masalah hukum,” katanya. Banyak hal dalam hidup Kristina telah berubah. Lepas dari kampung kumuhnya yang senantiasa tergenang ketika banjir, kini dia keluar-masuk kafe-kafe ternama Jakarta, di kawasan Kelapa Gading atau Plaza Senayan, yang tentu saja menghidangkan menu makanan lezat ala Barat. Tapi ada yang tidak berubah, yakni dalam soal makanan. ”Ia paling doyan sayur asam,” kata Sylvia, adik Kristina. Alam si ”Mbah Dukun” juga tak ingin serta-merta meninggalkan asalnya sebagai pemuda kampung. Di saat-saat senggang, dia memilih belepotan dengan lumpur di malam hari, menenteng lampu minyak petromaks. Bersama teman-teman kampungnya di Tasikmalaya, dia keluar-masuk sawah mencari belut. Edy Budiyarso, Ecep Yasa (Pekalongan), Erdian, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus