Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salah Ketik ala Krakatau

Putusan arbitrase menghukum Krakatau Steel membayar ganti rugi US$ 1,45 juta ke sebuah perusahaan Amerika. Tapi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkannya.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA tak cuma bom Bali yang bisa menggebah pergi investor asing. Di mata Deddy Julianto, perwakilan International Piping Product (IPP), perusahaan asal Houston, Amerika Serikat, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dijatuhkan Kamis dua pekan lalu pun bisa "membuat pebisnis mancanegara berpikir ulang jika meneken kontrak dengan perusahaan pemerintah." Vonis yang dikeluhkan Deddy itu berbunyi: mengabulkan permohonan PT Krakatau Steel membatalkan putusan majelis arbitrase sebelumnya yang mengharuskan perusahaan baja milik negara itu membayar ganti rugi ke IPP senilai US$ 1,45 juta (sekitar Rp 13,7 miliar dengan kurs sekarang). Perkara ini menyangkut sengketa kontrak pengadaan baja antara kedua perusahaan. Tak cuma Deddy yang jengkel. Ahli hukum bisnis Rasjim Wiraatmadja pun menilai putusan itu aneh bin ajaib. Menurut dia, jika putusan arbitrase telah sesuai dengan klausul yang tertera di perjanjian, "pihak pengadilan negeri tak bisa membatalkannya." Arsul Sani, hakim arbiter, bersuara lebih keras, "Putusan itu semakin mencoreng wajah peradilan negeri ini." Sengketa berawal saat Krakatau memesan pipa baja senilai US$ 4,335 juta dari IPP. Dalam kontrak ditulis IPP harus mengirim pipa baja dengan kode material SWRCH 8R. Barang lalu dipesan dari pabrik Acominas, Brasil, dimuat ke kapal, dan langsung dikirim ke tujuan. Eh, Krakatau Steel, perusahaan negara yang baru merugi Rp 300 miliar karena berbagai salah urus manajemen, tiba-tiba membatalkan pesanan. Alasannya, mereka merasa tertipu karena jenis baja yang dikirim salah. Bukan SWRCH 8R, tapi seharusnya SWRCH 8A. Apa lacur, kapal telah berlayar. Toh, ketika baja sampai di Pelabuhan Cigading, Cilegon, Krakatau berkukuh tak sudi menerimanya. Akhirnya, daripada mubazir, baja dilempar ke pedagang Singapura. Dihitung barang loak, harganya jatuh. Merasa dirugikan, IPP dan Krakatau bersepakat menyelesaikan perselisihan di majelis arbitrase. Hakimnya pun disodorkan pihak masing-masing. Perkara lalu diputus: Krakatau mesti membayar denda sejumlah US$ 1,45 juta itu—lebih kecil dari tuntutan IPP semula, US$ 1,727 juta. Ini jumlah kerugian IPP dipotong harga baja setelah dijual ke Singapura. Krakatau tak puas. Vonis mereka tolak. Kukuh menyatakan barang tak sesuai dengan pesanan, Krakatau juga menuding tanda tangan Direktur IPP, Paul Haggar, di dokumen transaksi adalah tanda tangan palsu. Mereka lalu mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menganulir putusan arbitrase. Untung buat Krakatau, Hakim Syamsul Ali menerima bulat-bulat dalih mereka. "Dengan kasat mata jelas terlihat tujuh tanda tangan Haggar berbeda-beda. Jadi, pengadilan berpendapat kebenarannya diragukan," katanya. Tak hanya itu, meski jelas tercantum di kontrak, Syamsul juga menyatakan yang dipesan Krakatau adalah baja tipe 8A, bukan 8R. Pihak IPP menolak tuduhan Krakatau. Perjanjian, kata Deddy Julianto, didraf pihak Krakatau sendiri dan juga diteken tiga direktur pabrik baja pelat merah itu. Lagi pula, jenis baja 8R yang dipersoalkan tak hanya tertera di kontrak, tapi juga di dokumen lain yang disusun staf Krakatau. "Masa, bisa salah semua?" kata Deddy terheran-heran. Kini IPP naik banding ke Mahkamah Agung dan segera berkirim surat protes ke Presiden Megawati dan Duta Besar Amerika Serikat Ralph Boyce. Hakim arbitrase Arsul Sani juga tak setuju dengan pembatalan itu. Ia merujuk Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase No. 30/1999 yang menyatakan hakim pengadilan negeri tak berwenang mengadili para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Kalaupun mau dianulir, masih kata Arsul, harus ada proses pidana dulu yang menyatakan dokumen transaksi memang tak absah. "Proses itu kan tidak ada," kata Arsul. Yang menarik, bahkan kuasa hukum Krakatau sendiri, Syarif Bastaman, mengakui kliennya telah salah menuliskan tipe baja dalam kontrak jual-beli. "Sejak awal sebetulnya 8A, tapi saat draf kontrak diketik di komputer berubah jadi 8R," katanya. Unik memang. Tapi lebih unik lagi pernyataan Hakim Syamsul Ali. Berkali-kali menyatakan tak mengerti soal bisnis, atas putusannya itu Syamsul akhirnya cuma berkata, "Jadi mohon maaf, kalau salah satu pihak tidak menerima putusan ini, silakan mengajukan keberatan ke pengadilan tingkat berikutnya." Ahmad Taufik, Iwan Setiawan, Suseno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus