Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mas Achmad Santosa
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan dosen hukum lingkungan FHUI
SIDANG kabinet yang dipimpin Wakil Presiden Megawati pada 10 Mei 2000 telah memutuskan untuk memberikan "lampu hijau" bagi pengoperasian kembali PT Inti Indorayon Utama (IIU)setelah sejak 19 Maret 1999 ditutup sementara. Pemberian "lampu hijau" tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, hanyalah untuk kegiatan bubur kertas (pulp). Sedangkan kegiatan produksi rayon tetap dilarang karena banyak menimbulkan dampak lingkungan.
Yang pasti, masyarakat yang selama ini merasakan dampak negatif dari kegiatan IIU, para aktivis lingkungan, serta masyarakat yang mendambakan tegaknya supremasi hukum kecewa atas keputusan sidang kabinet yang oleh Menteri Sonny Keraf dinyatakan sudah bersifat final itu. Alasannya, pertama, keputusan mengoperasikan kembali IIU yang tanpa persetujuan masyarakat, terutama masyarakat yang menentang keberadaannya, dikhawatirkan akan memunculkan konflik kekerasan yang lebih tajambaik konflik kekerasan horizontal (antarmasyarakat) maupun vertikal (masyarakat dengan perusahaan, yang biasanya "dibentengi" aparat). Kedua, penghentian produksi rayon hanya akan mengurangi sedikit beban pencemaran IIU. Sedangkan proses produksi bubur kertas, karena tetap menggunakan bahan kimia, dapat menghasilkan limbah serta emisi yang bersifat sangat beracun dan berbahaya. Ketiga, penghentian produksi rayon dan pengoperasian bubur kertas akan tetap mengandalkan bahan baku kayuhasil tebangan hutan, yang tetap mengancam ekosistem. Keempat, keputusan ini juga dapat diartikan menyetujui faktor lokasi (tata ruang), lokasi pengambilan bahan baku (hutan kawasan lindung) dan lokasi pabrik, yang oleh pemerintah sendiri telah dinyatakan sebagai lokasi yang sudah keliru dari awalnya. Yang terakhir, "lampu hijau" pemerintah ini dapat berarti menghapuskan berbagai pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh IIU selama bertahun-tahun. Pelanggaran hukum IIU seharusnya tidak hanya menimbulkan pertanggungjawaban perdata (civil liability), tapi juga pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Apabila melihat bobot pelanggaran yang dilakukan IIU, Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan telah mengategorikannya ke dalam delapan jenis pelanggaran, di antaranya pelanggaran baku mutu limbah cair, insiden pecahnya lagoon penampungan limbah cair, dan lepasnya chlorine ke lingkungan bebas. Singkatnya, alasan pencabutan izin usaha itu dapat dikatakan sangatlah kuat. Walaupun dasar hukum bagi pencabutan izin usaha IIU sangat kuat, pemerintah tidak melakukannya. Presiden Gus Dur serta menteri-menteri terkait di bidang ekonomi, keuangan, dan industri, belakangan, termasuk pihak yang tidak setuju dengan "rekomendasi penutupan" Menteri Sonny Keraf. Alasannya adalah menjaga citra Indonesia di mata investor dan khawatir terhadap ancaman "diseretnya" pemerintah ke arbitrase internasional (International Center of Settlement for Investment Disputes). Sikap pemerintah yang sangat lunak ini sekali lagi menunjukkan bahwa pemerintah kita tidak siap melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang tidak merusak lingkungan serta penegakan hukum secara konsisten dan indiskriminatif. Dengan tidak tersentuhnya IIU oleh hukum kita, pesan penjeraan (deterrent effect) melalui penjatuhan sanksi tidak pernah terjadi di Indonesia. Akibat melunaknya sikap pemerintah terhadap kasus IIU, investor atau pelaku usaha yang telah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat luas dapat tidak terpacu untuk menaati nilai-nilai perlindungan lingkungan. Sebab, taat atau tidak taat sepertinya tidak ada bedanya di Indonesia ini. Perilaku Presiden Gus Dur dan para menterinya ini merupakan hasil dari upaya PT IIU yang secara gigih mempengaruhi penentu kebijakan tersebut dengan mengedepankan ancaman bahwa tindakan penutupan dapat memperburuk citra investasi di Indonesiabahwa investasi asing di Indonesia dapat dicabut secara sewenang-wenang tanpa kesalahan dan tanpa due process of law. Ini suatu ancaman yang menyesatkan (misleading), tapi ternyata efektif. Presiden Gus Dur lebih percaya kepada "kambing hitam" citra investasi dan takut kepada ancaman arbitrase internasional daripada peduli dengan masa depan masyarakat Porsea, penegakan hukum lingkungan, dan investor yang sungguh-sungguh peduli terhadap nilai-nilai perlindungan lingkungan. Putusan sudah diambil oleh pemerintah. Yang jelas, putusan tersebut bukan "solusi"apalagi solusi yang bersifat win-win. Bahkan, banyak pihak khawatir putusan tersebut akan melahirkan masalah baru, yaitu konflik di lapangan yang mengeras. Untuk mencegah masalah baru yang timbul dan sikap skeptis yang lebih besar dari masyarakat terhadap kinerja penegakan hukum kita, pemerintah perlu memikirkan beberapa langkah solusi. Pertama, jadikan putusan sidang kabinet sebagai bahan (usulan) untuk dibicarakan dengan masyarakat melalui dialog yang genuine, bukan dengan cara kooptasi, apalagi tekanan. Kedua, pemerintah mulai memprakarsai perundingan tentang pertanggungjawaban perdata PT IIU terhadap masyarakat yang dirugikan ataupun negara akibat lingkungan yang rusak. Ketiga, proses pidana terhadap individu pelaku (physical perpetrator) perlu segera dimulai. Keempat, Menteri Sonny Keraf segera menyusun pedoman penegakan hukum (enforcement) dan penaatan lingkungan (compliance). Intinya adalah penjabaran dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada yang memuat langkah-langkah serta tahapan penegakan hukum administrasi, perdata, dan pidana yang harus dan dapat dilakukan terhadap suatu pelanggaran. Terakhir, Menteri Negara Penanaman Modal/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal bekerja sama dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Negara Lingkungan Hidup harus proaktif menetapkan investasi yang membahayakan lingkungan sebagai bagian dari negative list serta investasi yang aman terhadap lingkungan sebagai positive list, yang harus didorong dan difasilitasi. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |