Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dari otak janin ke otak penderita

Di meksiko dilakukan percobaan pencangkokan kelenjar anak ginjal untuk menyembuhkan penyakit parkinson. di swedia mentransplantasikan sel otak janin ke otak penderita tapi mengundang perdebatan.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAKIT misterius Parkinson masih belum terjinakkan. Tapi ada tanda-tanda, penyakit ketuaan itu akan bisa ditangani juga, akhirnya. Tahun ini dari dua percobaan laboratorium yang radikal, diketahui bahwa tim dokter berhasil mengatasi kelumpuhan sistem saraf otak, yang diakibatkan oleh Parkinson. Mei lalu, sebuah percobaan pencangkokan kelenjar di Meksiko dinyatakan berhasil. Dan baru-baru ini, awal Juli, Swedia menyusul dengan percobaan yang lebih progresif: mentransplantasikan sel otak janin ke otak penderita. Dua percobaan itu tergolong upaya mutakhir dalam rekayasa transplantasi, yakni yang dikenal sebagai pencangkokan sel. Rekayasa transplantasi tegak sebagai metode dalam dekade 1980-an, setelah teknik mengatasi daya tolak tubuh ditemukan. Di masa lalu, risiko terbesar yang harus dihadapi tubuh manusia akibat transplantasi adalah reaksi imunitas. Selalu terjadi, sistem pertahanan tubuh senantiasa menolak, tepatnya, menyerang organ asing yang dicangkokkan -- persis seperti menyerang bibit penyakit yang masuk. Kini sejumlah obat dan teknik sudah ditemukan untuk mematahkan serangan itu hingga transplantasi organ tubuh pun bisa berkembang ke transplantasi sel. Transplantasi yang diterapkan dalam mengatasi Parkinson adalah penggantian kelompok sel substansia nigra di otak, yaitu kelenjar yang memproduksi dopamine. Seperti diketahui, penyakit ini timbul karena rusaknya substansia nigra yang mengakibatkan otak mengalami defisit dopamine, salah satu unsur neurotransmiter (senyawa kimia yang berfungsi merambatkan sinyal dari satu sel saraf ke sel saraf lainnya hingga terjadilah reaksi). Terganggunya neurotransmiter karena defisit dopamne mengakibatkan rusaknya sistem kontrol saraf mekanis. Salah satu akibatnya, tangan pada saat-saat tertentu bergetar kuat tanpa bisa dikuasai. Karena itulah, Adolf Hitler, diktator Nazi, Jerman, semasa Perang Dunia II -- yang menderita Parkinson di akhir kekuasaannya -- senantiasa menyembunyikan tangannya di punggung ketika berpidato. Apa penyebab kerusakan substansia nigra hingga kini belum jelas benar. Dugaan yang dipercaya sejak dulu, kerusakan itu diakibatkan kelainan genetik (penyakit keturunan) yang muncul bersamaan dengan degenerasi otak -- penderita Parkinson terbanyak berusia di atas 50 tahun. Faktor yang diperkirakan mempercepat kerusakan substansia nigra adalah stress berlebihan yang menyerang seseorang pada suatu saat. Bekas Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, ketahuan menderita Parkinson setelah skandal Watergate memaksanya keluar dari Gedung Putih. Diperkirakan juga bahwa hantaman pada kepala yang terus menerus, seperti yang dialami para petinju, bisa mempercepat disfungsi pada subtansia nigra. Mohamad Ali, petinju besar itu, ternyata menderita Parkinson. Andai kata Hitler tidak bunuh diri menjelang kekalahan Jerman dalam PD II boleh jadi ia mengalami hari tua yang amat sengsara, akibat Parkinson. Nasib Richard Nixon tampaknya lebih cerah, karena sampai kini penampilan bekas presiden AS itu cukup meyakinkan. Lain halnya dengan Ali, yang belakangan diberitakan harus dioperasi, demi menyelamatkan bekas juara tinju itu dari cengkeraman Parkinson. Bagaimana nasib Ali belum jelas. Tapi tahun lalu, terbetik berita dari Universitas Stanford, AS. Para ahli di sana menemukan -- sesudah penelitian selama 10 tahun bahwa senyawa methyl-phenyl-tetrahydropyridine merupakan penyebab kerusakan sel-sel substansia nigra. Dan munculnya senyawa ini di otak tak lain karena penggunaan obat yang berlebihan. Langkah pertama mengatasi Parkinson yang terbilang berhasil ialah penemuan obat Levodopa -- lebih populer dengan nama L-Dopa -- yang komposisi senyawanya mirip dengan dopamine. L-Dopa yang ditelan penderita Parkinson seumur hidup berhasil mengatasi kebungkukan badan. getaran tangan atau kaki yang tak terkontrol, dan rusaknya saraf muka yang bisa menghilangkan ekspresi -- gejala awal Parkinson scbelum kelumpuhan total. Namun, obat psikotropik ini mengakibatkan dampak samping yang buruk, sepcrti takut dan mimpi buruk. Langkah kedua, berupa percobaan transplantasi sel yang dilakukan di Meksiko dan Swedia itu. Di Meksiko, percobaan dilakukan Dr. Ignazio Madrazo dan Dr. Rene Drucker-Colin dari Universidad Nacional Autonoma, Meksiko. Mereka mencangkokkan sel-sel kelenjar anak ginjal -- yang memproduksl hormon, mirip dopamine ke otak, untuk menggantikan fungsi substansia nigra. Ternyata percobaan yang dilakukan pada dua penderita Parkinson telah berhasil dengan baik, Mei berselang. Gejala Parkinson pada pasien hilang setelah sepuluh bulan transplantasi dilakukan. Percobaan transplantasi sel yang lain dilakukan di Institut Karolinska, Stockholm, Swcdia. Penelitian laboratorium ini lebih progresif karena mentransplantasikan sel-sel substansia nigra janin -- didapat dari janin yang digugurkan (abortus c. provokatus). Percobaan dilakukan pada tikus yang sudah "diparkinsonkan" terlebih dahulu. Sel-sel substansia nigra janin ternyata berkembang baik di lingkungan otak tikus dan mampu memproduksi dopamine. Tikus "Parkinson" itu berangsur sembuh. Dr. Anders Bjorklund, yang melakukan percobaan itu, menyatakan, ia masih memerlukan percobaan satu dekade untuk menegakkannya sebagai sebuah metode terapi. Menurut Bjorklund, bila percobaan transplantasinya berhasil, bukan cuma Parkinson yang bisa diatasi tapi juga penyakit otak yang lain, sebab selam substansia nigra, bagian lain otak janin bisa ditransplantasikan pula. Karena terbentuk paling awal, otak pada janin dapat dikatakan sudah lengkap. Namun, percobaan pencangkokan organ janin Bjorklund mengundang perdebatan etika. Banyak kalangan di lingkungan kedokteran sendiri mencemaskan bangkitnya komersialisasi pengguguran kandungan. Di Indonesia, abortus provokatus dilarang, baik dari segi hukum maupun agama. Namun, di banyak negara, pengguguran janin diatur lebih longgar. Maka, menjual janin dalam kandungan -- dengan jalan menggugurkan kandungannya -- bukan hal mustahil. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus