BEBERAPA dukun maju ke depan. Sistim pengobatan yang mereka anut
diperagakan, antara lain dengan ramuan tumbuh-tumbuhan, palu dan
centong nasi sebagai alat pengusir penyakit. Seorang membawa
tanduk binatang, sedang yang lain menegakkan tripod untuk
menyangga alat penyinaran "Sinar Karya". Sementara itu seorang
dokter dari Yogyakarta mengayun-ayunkan jarum magnetisnya untuk
mengetahui penyakit yang diidap pasien yang berada di depannya.
Atraksi yang menarik itu dipilih untuk menutup Simposium Obat
Tradisionil selama 3 hari, sejak 4 Desember, di gedung Asuransi
Kesehatan, Jakarta. Simposium tersebut diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan bertujuan mempersiapkan satu peraturan
tentang obat tradisionil.
Peraturan itu nantinya diharap memberikan jaminan terhadap
eksistensi obat tradisionil. Tapi harus menjamin pula
keselamatan masyarakat. "Akan diatur, misalnya, para pengobat
tradisionil tidak boleh memakai peralatan kedokteran apalagi
obat moderen," kata Yoyoh Wartomo, Kepala Bagian Hukum Depkes
yang duduk dalam panitia penyelenggara.
Sikap Terbuka
"Yang terpenting dari simposium ini adalah bahwa sistim
pengobatan tradisionil mendapat pengakuan," ulas PO Sukanta,
pemuda Bali yang menjalankan praktek akupuntur di Jatinegara,
Jakarta. "Semula saya merasa akan terjadi semacam pengekangan
terhadap kami, karena para pejabat Departemen Kesehatan 'kan
terdiri dari para dokter! Tapi nyatanya tidak. Saling tukar
pendapat tercapai. Dan saya harapkan, dalam rancangan peraturan
yang bakal disusun sikap terbuka ini bisa berlanjut."
"Saya senang. Para dokter sekarang sudah terbuka terhadap obat
tradisionil," sambut Darmi Suparto, ahli obat tradisionil Jawa
yang juga turut bersimposium. "Para dokter sudah menyadari bahwa
mereka punya batas, sebagaimana obat tradisionil juga punya
batas kemampuan. "
Sikap terbuka yang mewarnai pertemuan itu sejak semula sudah
dapat diduga. Dia diselenggarakan justeru untuk menyambut
keputusan WHO badan kesehatan PBB, mengenai diikutsertakannya
obat tradisionil dalam pelayanan kesehatan di negara berkembang.
Sebab ternyata seperti yang disimpulkan dalam Sidang Kesehatan
Sedunia ke-30 19 Mei 1977 dan sidang WHO 2 Desember 1977,
pengobatan modern gagal mencapai masyarakat luas. Sejumlah 80%
dari anggaran belanja kesehatan di negara berkembang hanya
menjangkau 20% dari penduduknya. "Bila negara berkembang tetap
bertahan pada sistim pengobatan ilmu kedokteran saja, maka
pemerataan pelayanan kesehatan belum akan tercapai sampai tahun
2000," kata Halfdan Mahler, Direktur Jenderal WHO.
Pemerintah kelihatannya memang tak mau ketinggalan dengan
anjuran WHO tadi. Dinas Kesehatan DKI umpamanya sejak Juli
malahan sudah mencoba proyek percontohan jamu masuk puskesmas.
Dan sudah sejak awal tahun 1970 Kepala Dinas Kesehatan DKI,
Herman Soesilo mengatur perizinan untuk akupunturis, dukun
kebatinan, shinse dan tukang gigi.
Perlu Undang-Undang
Memang sudah ada undang-uncang yang menyangkut obat
tradisionil. Tapi hanya disebut sekilas saja. Undang-undang
tentang Pokok-pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960, misalnya,
menyebutkan: "Obat-obat asli Indonesia diselidiki dan
dipergunakan sebaik-baiknya." Sedangkan usaha pengobatan
berdasarkan ilmu atau cara lain dari kedokteran, diawasi oleh
pemerintah agar tidak membahayakan masyarakat.
Berdasarkan undang-undang yang ada itu pengobatan tradisionil
ternyata belum mendapat kedudukan yang layak dalam sistim
pelayanan kesehatan. "Karena itu untuk mengikutsertakan
pengobatan tradisionil dalam usaha pemerataan pelayanan
kesehatan masyarakat, melalui integrasi kedokteran dan obat
tradisionil, maka peraturan yang terperinci dan lengkap
diperlukan," sahut dr Kemal Roemawi, seorang dokter ahli
akupuntur dalam simposium itu.
Untuk mengikutsertakan pengobatan tradisionil, kata dr Slamet
Santoso dari Depkes, akan diatur misalnya peralatan yang boleh
mereka gunakan. "Jangan misalnya mereka menggunakan alat
kedokteran hanya sebagai kedok saja. Dan mereka harus juga
menganut sistim referal. Jangan sampai mereka menahan-nahan
pasien yang sudah tak mampu mereka obati. Adanya peraturan tadi
akan mempermudah rencana dimasukkannya obat tradisionil dalam
sistim pelayanan yang ada dan ternyata kurang mencapai sasaran
itu."
Tahun-tahun mendatang, para ahli obat tradisionil mendapat
pasaran ramai, kalau begitu. Di rumah sakit pun mereka akan
diikutsertakan, terutama dalam usaha pertolongan bagi korban
kecelakaan. Ahli urut, misalnya, akan diwajibkan untuk dapat
giliran juga dan tak boleh memungut tarif tinggi. Sebab dalam
simposium tadi ada seorang tukang urut Cina yang menyebutkan
bahwa tarif tinggi terpaksa ia pasang. "Karena untuk memperoleh
keahlian itu saya belajar lama. Sebelas tahun belajar kuntaw
baru boleh dapat ilmu urut ini," katanya. Untuk patah tangan ia
memasang tarif Rp 150.000 dan patah-kaki Rp 500.000. Wah, lebih
mahal dari ongkos pengobatan modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini