Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Depkes Merangkul Dukun

WHO minta agar obat tradisonal dipakai untuk mendampingi obat modern. Depkes mengadakan simposium untuk mempersiapkan peraturan pemakaian obat tradisional.

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA dukun maju ke depan. Sistim pengobatan yang mereka anut diperagakan, antara lain dengan ramuan tumbuh-tumbuhan, palu dan centong nasi sebagai alat pengusir penyakit. Seorang membawa tanduk binatang, sedang yang lain menegakkan tripod untuk menyangga alat penyinaran "Sinar Karya". Sementara itu seorang dokter dari Yogyakarta mengayun-ayunkan jarum magnetisnya untuk mengetahui penyakit yang diidap pasien yang berada di depannya. Atraksi yang menarik itu dipilih untuk menutup Simposium Obat Tradisionil selama 3 hari, sejak 4 Desember, di gedung Asuransi Kesehatan, Jakarta. Simposium tersebut diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan bertujuan mempersiapkan satu peraturan tentang obat tradisionil. Peraturan itu nantinya diharap memberikan jaminan terhadap eksistensi obat tradisionil. Tapi harus menjamin pula keselamatan masyarakat. "Akan diatur, misalnya, para pengobat tradisionil tidak boleh memakai peralatan kedokteran apalagi obat moderen," kata Yoyoh Wartomo, Kepala Bagian Hukum Depkes yang duduk dalam panitia penyelenggara. Sikap Terbuka "Yang terpenting dari simposium ini adalah bahwa sistim pengobatan tradisionil mendapat pengakuan," ulas PO Sukanta, pemuda Bali yang menjalankan praktek akupuntur di Jatinegara, Jakarta. "Semula saya merasa akan terjadi semacam pengekangan terhadap kami, karena para pejabat Departemen Kesehatan 'kan terdiri dari para dokter! Tapi nyatanya tidak. Saling tukar pendapat tercapai. Dan saya harapkan, dalam rancangan peraturan yang bakal disusun sikap terbuka ini bisa berlanjut." "Saya senang. Para dokter sekarang sudah terbuka terhadap obat tradisionil," sambut Darmi Suparto, ahli obat tradisionil Jawa yang juga turut bersimposium. "Para dokter sudah menyadari bahwa mereka punya batas, sebagaimana obat tradisionil juga punya batas kemampuan. " Sikap terbuka yang mewarnai pertemuan itu sejak semula sudah dapat diduga. Dia diselenggarakan justeru untuk menyambut keputusan WHO badan kesehatan PBB, mengenai diikutsertakannya obat tradisionil dalam pelayanan kesehatan di negara berkembang. Sebab ternyata seperti yang disimpulkan dalam Sidang Kesehatan Sedunia ke-30 19 Mei 1977 dan sidang WHO 2 Desember 1977, pengobatan modern gagal mencapai masyarakat luas. Sejumlah 80% dari anggaran belanja kesehatan di negara berkembang hanya menjangkau 20% dari penduduknya. "Bila negara berkembang tetap bertahan pada sistim pengobatan ilmu kedokteran saja, maka pemerataan pelayanan kesehatan belum akan tercapai sampai tahun 2000," kata Halfdan Mahler, Direktur Jenderal WHO. Pemerintah kelihatannya memang tak mau ketinggalan dengan anjuran WHO tadi. Dinas Kesehatan DKI umpamanya sejak Juli malahan sudah mencoba proyek percontohan jamu masuk puskesmas. Dan sudah sejak awal tahun 1970 Kepala Dinas Kesehatan DKI, Herman Soesilo mengatur perizinan untuk akupunturis, dukun kebatinan, shinse dan tukang gigi. Perlu Undang-Undang Memang sudah ada undang-uncang yang menyangkut obat tradisionil. Tapi hanya disebut sekilas saja. Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960, misalnya, menyebutkan: "Obat-obat asli Indonesia diselidiki dan dipergunakan sebaik-baiknya." Sedangkan usaha pengobatan berdasarkan ilmu atau cara lain dari kedokteran, diawasi oleh pemerintah agar tidak membahayakan masyarakat. Berdasarkan undang-undang yang ada itu pengobatan tradisionil ternyata belum mendapat kedudukan yang layak dalam sistim pelayanan kesehatan. "Karena itu untuk mengikutsertakan pengobatan tradisionil dalam usaha pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, melalui integrasi kedokteran dan obat tradisionil, maka peraturan yang terperinci dan lengkap diperlukan," sahut dr Kemal Roemawi, seorang dokter ahli akupuntur dalam simposium itu. Untuk mengikutsertakan pengobatan tradisionil, kata dr Slamet Santoso dari Depkes, akan diatur misalnya peralatan yang boleh mereka gunakan. "Jangan misalnya mereka menggunakan alat kedokteran hanya sebagai kedok saja. Dan mereka harus juga menganut sistim referal. Jangan sampai mereka menahan-nahan pasien yang sudah tak mampu mereka obati. Adanya peraturan tadi akan mempermudah rencana dimasukkannya obat tradisionil dalam sistim pelayanan yang ada dan ternyata kurang mencapai sasaran itu." Tahun-tahun mendatang, para ahli obat tradisionil mendapat pasaran ramai, kalau begitu. Di rumah sakit pun mereka akan diikutsertakan, terutama dalam usaha pertolongan bagi korban kecelakaan. Ahli urut, misalnya, akan diwajibkan untuk dapat giliran juga dan tak boleh memungut tarif tinggi. Sebab dalam simposium tadi ada seorang tukang urut Cina yang menyebutkan bahwa tarif tinggi terpaksa ia pasang. "Karena untuk memperoleh keahlian itu saya belajar lama. Sebelas tahun belajar kuntaw baru boleh dapat ilmu urut ini," katanya. Untuk patah tangan ia memasang tarif Rp 150.000 dan patah-kaki Rp 500.000. Wah, lebih mahal dari ongkos pengobatan modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus