Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Jakarta, Hidup Ini Cukup Ramah

Banyak pengumpul sampah di Jakarta merasa betah. Menjadikan sampah sebagai sumber hidup. Beberapa orang berhasil membeli TV dan mobil dari mengais sampah. (sd)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAH ternyata tidak dimusuhi semua manusia. Ia memiliki nilai sosial yang tinggi di mata para pemburu sampah, sebagai sumber hidup. Sebab dari berbagai sisa yang dilemparkan oleh wargakota dari rumah masing-masing, ternyata masih ada yang bisa dijualbelikan kembali. Radjak, 50 tahun, asal Kuningan, sudah setahun ini hidup dari sampah ibukota. Ia memasuki Jakarta tahun 1951, digaet oleh seorang pemborong, untuk menggali empang di daerah Grogol. Dari kuli kemudian ia merubah nasib jadi pekerja Dinas Kebersihan DKI Prestasi yang dicapainya hanya sampai kepada ketrampilan menyetir buldozer. Dengan status honorer dan bayaran Rp 500 per hari, ia merobohkan gunung-gunung sampah. Barangkali dari pergaulannya itu kemudian timbul ide mencintai sampah. Sebetulnya Radjak bukan cinta pada sampah. Ia hanya butuh beberapa liter beras dan uang kontan yang bisa diperoleh dengan menyulap sampah jadi barang dagangan. Caranya mudah saja. Dengan modal Rp 5000, Radjak mengumpulkan barang-barang bekas mulai dari kardus, kertas dan kaleng. Ia beli kaleng Rp 1 per biji, atau borongan dua gerobak sampah dengan harga Rp 5 ribu. Dari gerobak itu setiap hari selalu dapat disisihkan dua sampai tiga ikat kertas yang menghasilkan 2 liter beras. " Lumayan," kata isteri Radjak. Kaleng berbagai bekas minuman, makanan dan obat harus digunting dulu sebelum dijual. Per kilogram Rp 30-harga sebelum devaluasi. Tutup kaleng yang berupa aluminium dipisahkan, per kilogram sampai berharga Rp 150. Radjak tinggal menumpuk saja. Sekali seminggu datang pemborong untuk mengangkutnya ke Bandung. Kabarnya diolah jadi krop minuman dan pengganjal obat nyamuk. Total jenderal Radjak hanya dapat Rp 1000. "Kalau dihitung-hitung rugi juga, lha tenaga saya untuk menggunting ini 3 hari," ujar Radjak. Untung dua tiga liter beras yang didapat tiap hari agak menghibur. Dulu tempat penumpukan sampah di Cawang bagaikan gunung. Rumah Radjak persis di kaki gunung itu. Kini gunung kempes karena ditutup. Di samping itu sudah begitu banyak orang menggerayangi sampah untuk mengisap unsur-unsur yang masih bisa dijual dan disebarkan kembali ke masyarakat. "Lihat di kali Malang, Slipi, Kebayoran bahkan juga Ancol, semua orang jadi tukang gunting kaleng," kata Radjak menuding saingan-saingannya. Tetapi ia tidak gentar. Kalau tak ada kaleng, ia ambil gerobaknya dan pergi ke Halim, Kebon Kosong atau Kalibata, mengaduk sampah yang bisa dimanfaatkan. Mengapa gerobak? "Bapak nggak kuat mikul keranjang, lebih enteng gerobak, lagian orang kan tak mencurigai kita," ujar Radjak yang tua itu. Radjak menganggap kerja itu halal, karena itu ia tidak malu. Satu atau dua kali seminggu ia berangkat dengan gerobak menempuh jarak 5 atau 6 kilo. Badannya jadi hitam karena tak pernah pakai baju. Satu kali ia ditegur tentara di Kalibata. Ia ditanyai. Kemudian ketahuan karena ia memakai celana hijau. Tentara itu rupanya barusan kehilangan celana dari jemuran. Radjak panas juga menerima dakwaan itu, tapi ya mau apa. "Sebetulnya bukan didakwa tapi dicurigai, tapi kan nggak enak." Untung saja ia punya KTP DKI sehingga persoalan itu selesai dengan baik. Karier Radjak sebagai pemburu sampah yang tinggal di sepetak tanah ukuran 3« x 6 meter milik pak Hadji, lumayan. Memang belum bisa beli tv, tapi ia punya radio. Rumahnya berharga Rp 1000, dikerjakan sendiri dari kayu dan kardus. Di dalamnya ada gambar Panca Sila. Sebuah foto Mayjen Sugandhi bersama isteri. "Tak ada foto pak Harto, kan harus beli, mana ada uang, kalau ini kan saya dikasih," kata Radjak. Di atas meja rumahnya ada vas bunga dari bekas peluru mortir. Ini kenang-kenangan dari keponakannya yang pernah bertugas di Tim-Tim. Anak Radjak, seorang saja, sudah besar, jadi petani di kampung. Setahun sekali Radjak pulang ke kampung membawa duit Rp 10 ribu. Meskipun menghirup udara busuk dari sampah setiap hari, ia tak pernah Sakit. Isterinya malah pernah ditimpa tipus, sehingga Radjak harus keluar Rp 50 ribu. Untung ada sumbangan dari keluarga. Isterinya itu pula yang kelihatannya tidak begitu puas dengan kehidupan tukang buru sampah. "Bapak ini malas," kata perempuan itu kepada Widi Yarmanto dari TEMPO, "nggak mau kayak orang lain yang cari. Kalau nggak ada kaleng sudah aja diam. Mana rokoknya kempas-kempus terus, maunya jarum coklat dua bungkus sehari." Kebebasan Ada seorang tukang kumpul sampah yang sukses. Ia tidak saja berhasil beli tv tapi juga kolt dan menanggap golek waktu menyunatkan anaknya. Namanya Karya. Ia tinggal di bilangan Jalan Pramuka (Jakarta). Banyak orang tahu ia adalah contoh yang baik dari kelas tukang sampah. Hanya saja tingkatnya agak berbeda. Karya tidak hanya mengandalkan tenaga. Ia memiliki modal. Mula-mula ia seperti halnya dengan pemburu sampah lain. Tapi otaknya bekerja terus. Belakangan ia tidak hanya mengorek sampah, tapi juga memborong sampah pabrik-pabrik. Sayang tak ada yang tahu di mana tinggalnya sekarang. Yang ada hanya tetangganya bernama Momon, yang dulu sampai sekarang tetap jadi tukang buru sampah kelas biasa. Momon beberapa strip di bawah Karya. Ia memasuki Jakarta 1972 dengan tangan hampa. Sekarang ia sudah punya rumah meskipun bukan di tanah milik sendiri. Kelebihannya karena ia punya 2 orang pembantu. Operasinya tidak di tempat penumpukan sampah masal, tapi di depan rumahnya sendiri, berkat kerjasama dengan supir truk sampah. Kelebihannya yang lain adalah karena di samping profesinya ia sempat jadi Hansip menjelang pemilihan umum lalu. "Habis pemilu berhenti, tapi banyak aja yang masih menyangka saya Hansip," kata Momon. Momon, 31 tahun, aslinya bernama Ngadiman. Tak pernah marah, suka ketawa, gemuk dan tentu saja hitam. Sudah berkeluarga, anak satu. Amat bangga kalau dapat membuat dirinya berfungsi sosial. Karena itu ia selalu diikutkan dalam soal-soal keamanan kampung. Di mana ada kerja bersama di situ ia ada. Mengorek sampah baginya sesuatu yang sama halalnya dengan kerja lain. Ia ingin hidup ini seperti begini saja. Ia sudah merasa cukup pantas, cukup tenang sebagai tukang kumpul sampah. Ia tidak setuju dengan transmigrasi. "Saya tidak mau. Saya di sini saja," ujarnya menunjuk ke arah sampah. Berbeda dengan Radjak, Karya dan Momon, adalah seorang putera Solo yang tinggal di balik gunung sampah Jalan Soeprapto (Jakarta). Namanya Marno, 35 tahun. Setiap hari ia menempuh jalan 15 km, karena ia tidak menguber sampah di tempat penimbunan, tapi menguntitnya ke rumah-rumah penduduk. Ia mulai dinasnya pukul 7 pagi, berakhir pukul 9 untuk babak pertama. Pukul 11 berangkat lagi dan kembali pukul 1 siang. Belum habis. Babak ketiga dimulai pukul 2 dan usai pukul 5 sore. "Hasilnya lumayan, satu hari bisa dua ribu lebih," kata Marno. Ongkos makan dan rokoknya Rp 750. Jadi paling sedikit ia menabung Rp 1000 sehari. "Pokoknya di Jakarta ini asal tidak malu bisa hidup," kata Marno memberikan ulasan. Di Solo ia tidak melihat keramahan hidup macam itu. Dengan tenang ia menyusuri Pulomas, Cempaka Putih, Galur setiap hari. Kalau ada yang mengawasinya karena curiga ia pakai saraf baja. "Toh saya tidak nyuri atau nyolong," ujarnya. Ia mengaku pekerjaan itu disambutnya karena terpaksa. "Habis mau kerja apa lagi," kata Marno. Para pengumpul sampah tidak terbatas pada mereka yang sudah tua dan dewasa. Banyak anak-anak remaja tak segan untuk memangku jabatan ini. Ada yang bernama Timbun (18 tahun) asal Salatiga. Ia ke Jakarta untuk merubah nasib. Mula-mula sebagai buruh pabrik roti. Tapi jiwa petualangannya menyebabkan ia sebal di pabrik. Keluar. Langsung bergaul dengan sampah. Tidur di sekitar sampah dan berusaha menghindari orang-orang yang mungkin mengenalnya. "Kalau orang tua saya tahu, pasti tak boleh," kata Timbun. Untuk meninggalkan sampah ia ogah. Kenapa? Baru sebulan ia merasakan nikmatnya punya penghasilan sambil merasakan kebebasan, tidak diperintah orang lain dan kerja semaunya. Kebebasan, alangkah menariknya kata itu. Sore hari dari balik gunung-gunung sampah itu kebebasan menunjukkan artinya. Beberapa orang tampak keluar dengan pakaian-pakaian neces. Mereka adalah orang-orang yang tadi siang letek, berbau sampah dan agaknya menjadi bagian dari pemandangan ibukota yang kurang terhormat. Dari badannya meruap wangi yang tajam dari bekas sabun. Tapi mereka tak diperintah oleh siapa-siapa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus