MASIH ingat Tuan X No. 1 s/d No 4, itu mahluk misterius yang
baru saja dipastikan hadir di belantara Kenya, Afrika Timur? Ny.
Jacqueline Roumeguere-Eberhardt, antropolog Perancis, telah
menyatakan dugaannya bahwa mahluk (manusia?) rimba ini merupakan
'mata rantai yang hilang' (missing link) dalam evolusi kera
menuju wujud manusia (TEMPO, 28 Oktober).
Pendapat itu, segera pula dibantah oleh seorang sarjana wanita
lain. TIME, 4 Desember, memuat pendapat Adrienne Zihlman dari
Universitas California di Santa Cruz (AS), bahwa manusia dan
kera sama-sama bernenekmoyangkan seekor kera Afrika yang masih
hidup. Chimpanzee cebol, itulah jenis kera yang dimaksud, hanya
tinggal segelintir saja di Zaire, Afrika Tengah. Pendapat itu
sudah pernah dikemukakan tahun 1933 oleh Harold Coolidge dari
Harvard (AS). Namun Nn. Zihlman kali ini memperkuatnya dengan
menyelidiki anatomi berpuluh ekor chimp kerdil yang sudah
tinggal kerangka saja maupun yang dipelihara di Pusat Penelitian
Primata Yerkes di Atlanta.
Terang itu baru merupakan spekulasi. Dan spekulasi ilmiah
semacam itu sudah berlangsung di dunia antropolog dan kalangan
penyelidik evolusi mahluk hidup sejak terbitnya buku Charles
Robert Darwin, Origin of Species (1859) yang menggemparkan itu.
Sejak saat itulah, sarjana-sarjana Barat rajin menguak misteri
di belantara Asia dan Afrika untuk mencari "manusia-kera" atau
"kera-manusia" yang diduga merupakan bentuk transisi mahluk
pra-manusia yang dapat dianggap nenek-moyang kita yang paling
dekat.
Beberapa sarjana Rusia misalnya khusus pergi ke pulau Irian.
Rumpun Melanesia di sana diduga mereka merupakan manusia yang
paling dekat dengan missing link itu. Dan begitulah fosil demi
fosil ditemukan, s/d fosil Ramapithecus yang ditemukan G.E.
Lewis di India (1934). Mahluk yang hidup antara 14-8 juta tahun
yang lalu ini diduga sebagai manusia (hominid) yang pertama.
Tapi mana mahluk yang merupakan 'kaitan' antara hominid ini
dengan kera purba yang diduga merupakan nenek-moyang
langsungnya?
"Ah, percuma saja mencari segala macam mata-rantai itu. Mahluk
yang diduga merupakan 'mata-rantai yang hilang' itu boleh jadi
memang tak pernah hidup di dunia ini sebagai jenis (species)
yang mandiri." Pendapat radikal ini dilontarkan seorang ahli
ilmu hayat Amerika, Dr Niles Eldredge yang bekerja pada Museum
Sejarah llmu Pengetahuan Alam New York. Nopember, berbicara
dalam sebuah pertemuan penulis ilmiah di AS -- sebagaimana
dilaporkan George Alexander dalam Los Angeles Times, Dr Eldredge
menyerang mazhab teori evolusi yang selama ini banyak dianut
orang. Termasuk guru-guru Eldredge sendiri.
Dapat Terhenti
Mazhab itu terkenal dengan sebutan gradualism atau
transformationalism. Aliran itu berpendapat bahwa setiap jenis
mahluk hidup mengalami evolusi seperti tumbuhnya cabang pada
sebatang pohon. Akibat perubahan kecil yang saling beruntun dan
menurun pada setiap jenis mahluk, timbullah sejenis mahluk baru.
Evolusi itu makan waktu lama, dan dapat terjadi dalam kurun
puluhan juta atau ratusan juta tahun.
Tapi kelemahan mazhab ini, menurut Dr Eldredge, adalah bahwa tak
terdapat cukup bukti untuk membenarkan evolusi yang semulus itu.
Bukan cuma dalam evolusi kera menjadi manusia. Tapi juga dalam
evolusi mahluk hidup lain rak ditemukan fosil-fosil
transisional. Artinya fosil mahluk yang sedikit menyerupai
mahluk yang muncul sesudahnya, tapi sekaligus mirip mahluk yang
telah muncul sebelum mahluk transisi itu. "Kekosongan" itu
selama ini dijelaskan oleh para penganut aliran gradualisme
dengan menyatakan harapan mereka bahwa "mata rantai yang hilang"
itu satu waktu akan ditemukan juga dalam lapisan batu-batuan
yang belum tergali.
Namun setelah para geolog selama dasawarsa ini mengais-ngais
lapisan batu-batuan yang terbentuk selama 500 juta tahun
terakhir, fosil-fosil transisi itu masih tak ditemukan, mazhab
"gradualism'' itu pun mulai goyah. Lantas sarjana-sarjana yang
lebih muda seperti Niles Eldredge tampil menyusun teori baru.
Teori itu disebutnya punctuationalism atau punctuated
equilibrium - 'keseimbangan yang terputus-putus', sebut sajalah
begitu.
Menurut Dr Eldredge, evolusi mahluk hidup dapat saja terhenti
selama kurun waktu tertentu, setelah mahluk hidup itu berhasil
menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup (habitat)-nya. Dengan
kata lain selama habitatnya tak berubah, statis pulalah mahluk
yang menghuni habitat itu. Baru setelah habitatnya mengalami
perubahan -- biasanya karena sebab-sebab alamiah, seperti Zaman
Es -- mahluk atau binatang itu berevolusi lagi. Tujuannya
semata-mata adalah menyesuaikan diri dengan habitatnya yang
baru. Kalau berhasil, mahluk itu akan berkembang menjadi sejenis
binatang baru, species baru. Kalau tidak, dia akan punah.
Sebagai contoh bagi teori 'keseimbangan yang terputus-putus'
itu, ahli ilmu hayat bangsa Amerika itu mengambil dua jenis
trilobite -- nenek moyang dari kepiting dan binatang air
berkulit keras (crustaceae) yang hidup di zaman ini. Kedua jenis
trilobite itu ditemukan di endapan batu-batuan di cekungan yang
meliputi negara bagian Ohio, Illinois, Indiana dan Pennsylvania
Barat dewasa ini. Antara 480 sampai 470 juta tahun yang silam,
daerah itu berkali-kali tergenang laut. Pada waktu itu ada dua
jenis kepiting purba yang hidup di situ, yang satu sama lain
masih punya hubungan keluarga. Yang satu menghuni bagian laut
yang dalam, dan satunya lagi merasa lebih aman berendam di
perairan pesisir yang dangkal. Masing-masing jenis kepiting
purba itu, telah menyesuaikan diri sepenuhnya dengan habitat
kesayangannya.
Bagaimana arah evolusi yang dialami kedua jenis kepiting purba
itu? Yang hidup di laut dalam, tak mengalami perubahan selama 5
juta tahun. Sementara kepiting purba lainnya yang hidup di
pesisir, punah ketika laut surut dan pantai laut purba itu
berubah menjadi daratan.
Teori 'keseimbangan yang terputus-putus' ini, mungkin tak
serta-merta dapat diterapkan pada evolusi kera menuju manusia.
Sebab manusia merupakan mahluk hidup yang jauh lebih kompleks
dari pada keong atau kepiting, tentunya. Namun menurut Niles
Eldredge, teorinya itu lebih dapat menjelaskan adanya
'lubang-lubang' yang menganga dalam perjalanan sejarah evolusi
manusia dari kera yang makan waktu 20 juta tahun itu.
Kendati demikian, teori Eldredge saja belum cukup untuk
menjelaskan mengapa kera, yang suka berglantungan di pohon dan
hanya doyan makan buah dan dedaunan, tiba-tiba hinggap di atas
tanah. Lalu, ia mulai berjalan tegak, dan lebih banyak
menggunakan otaknya yang makin membesar. Juga ia lebih banyak
menggunakan tangannya -- berkat ibu jarinya yang tumbuh dan
mampu bergerak berlawanan arah dengan keempat jari lainnya. Dan
anehnya lagi, jenis hominid yang sudah mampu berjalan tegak di
atas dua kaki dan mulai mengembangkan teknologinya secara
beruntun muncul di Afrika (Australspithecus), India
(Ramapithecus) dan Indonesia (Homo Soloensis) yang jaraknya satu
sama lain ribuan kilometer lewat jalan darat dan laut. Apakah
inipun semata-mata karena perubahan habitat? Atau retaknya benua
purba dan bergesernya anak benua India dan Australia menjauh
dari Afrika? Semuanya ini masih merupakan teka-teki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini