Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kera, eh manusia dari mana ?

Spekulasi ilmiah tentang nenek moyang manusia masih berlangsung di dunia antropologi dan kalangan penyelidik evolusi mahluk hidup. semua teori nampaknya masih merupakan teka-teki.

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ingat Tuan X No. 1 s/d No 4, itu mahluk misterius yang baru saja dipastikan hadir di belantara Kenya, Afrika Timur? Ny. Jacqueline Roumeguere-Eberhardt, antropolog Perancis, telah menyatakan dugaannya bahwa mahluk (manusia?) rimba ini merupakan 'mata rantai yang hilang' (missing link) dalam evolusi kera menuju wujud manusia (TEMPO, 28 Oktober). Pendapat itu, segera pula dibantah oleh seorang sarjana wanita lain. TIME, 4 Desember, memuat pendapat Adrienne Zihlman dari Universitas California di Santa Cruz (AS), bahwa manusia dan kera sama-sama bernenekmoyangkan seekor kera Afrika yang masih hidup. Chimpanzee cebol, itulah jenis kera yang dimaksud, hanya tinggal segelintir saja di Zaire, Afrika Tengah. Pendapat itu sudah pernah dikemukakan tahun 1933 oleh Harold Coolidge dari Harvard (AS). Namun Nn. Zihlman kali ini memperkuatnya dengan menyelidiki anatomi berpuluh ekor chimp kerdil yang sudah tinggal kerangka saja maupun yang dipelihara di Pusat Penelitian Primata Yerkes di Atlanta. Terang itu baru merupakan spekulasi. Dan spekulasi ilmiah semacam itu sudah berlangsung di dunia antropolog dan kalangan penyelidik evolusi mahluk hidup sejak terbitnya buku Charles Robert Darwin, Origin of Species (1859) yang menggemparkan itu. Sejak saat itulah, sarjana-sarjana Barat rajin menguak misteri di belantara Asia dan Afrika untuk mencari "manusia-kera" atau "kera-manusia" yang diduga merupakan bentuk transisi mahluk pra-manusia yang dapat dianggap nenek-moyang kita yang paling dekat. Beberapa sarjana Rusia misalnya khusus pergi ke pulau Irian. Rumpun Melanesia di sana diduga mereka merupakan manusia yang paling dekat dengan missing link itu. Dan begitulah fosil demi fosil ditemukan, s/d fosil Ramapithecus yang ditemukan G.E. Lewis di India (1934). Mahluk yang hidup antara 14-8 juta tahun yang lalu ini diduga sebagai manusia (hominid) yang pertama. Tapi mana mahluk yang merupakan 'kaitan' antara hominid ini dengan kera purba yang diduga merupakan nenek-moyang langsungnya? "Ah, percuma saja mencari segala macam mata-rantai itu. Mahluk yang diduga merupakan 'mata-rantai yang hilang' itu boleh jadi memang tak pernah hidup di dunia ini sebagai jenis (species) yang mandiri." Pendapat radikal ini dilontarkan seorang ahli ilmu hayat Amerika, Dr Niles Eldredge yang bekerja pada Museum Sejarah llmu Pengetahuan Alam New York. Nopember, berbicara dalam sebuah pertemuan penulis ilmiah di AS -- sebagaimana dilaporkan George Alexander dalam Los Angeles Times, Dr Eldredge menyerang mazhab teori evolusi yang selama ini banyak dianut orang. Termasuk guru-guru Eldredge sendiri. Dapat Terhenti Mazhab itu terkenal dengan sebutan gradualism atau transformationalism. Aliran itu berpendapat bahwa setiap jenis mahluk hidup mengalami evolusi seperti tumbuhnya cabang pada sebatang pohon. Akibat perubahan kecil yang saling beruntun dan menurun pada setiap jenis mahluk, timbullah sejenis mahluk baru. Evolusi itu makan waktu lama, dan dapat terjadi dalam kurun puluhan juta atau ratusan juta tahun. Tapi kelemahan mazhab ini, menurut Dr Eldredge, adalah bahwa tak terdapat cukup bukti untuk membenarkan evolusi yang semulus itu. Bukan cuma dalam evolusi kera menjadi manusia. Tapi juga dalam evolusi mahluk hidup lain rak ditemukan fosil-fosil transisional. Artinya fosil mahluk yang sedikit menyerupai mahluk yang muncul sesudahnya, tapi sekaligus mirip mahluk yang telah muncul sebelum mahluk transisi itu. "Kekosongan" itu selama ini dijelaskan oleh para penganut aliran gradualisme dengan menyatakan harapan mereka bahwa "mata rantai yang hilang" itu satu waktu akan ditemukan juga dalam lapisan batu-batuan yang belum tergali. Namun setelah para geolog selama dasawarsa ini mengais-ngais lapisan batu-batuan yang terbentuk selama 500 juta tahun terakhir, fosil-fosil transisi itu masih tak ditemukan, mazhab "gradualism'' itu pun mulai goyah. Lantas sarjana-sarjana yang lebih muda seperti Niles Eldredge tampil menyusun teori baru. Teori itu disebutnya punctuationalism atau punctuated equilibrium - 'keseimbangan yang terputus-putus', sebut sajalah begitu. Menurut Dr Eldredge, evolusi mahluk hidup dapat saja terhenti selama kurun waktu tertentu, setelah mahluk hidup itu berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup (habitat)-nya. Dengan kata lain selama habitatnya tak berubah, statis pulalah mahluk yang menghuni habitat itu. Baru setelah habitatnya mengalami perubahan -- biasanya karena sebab-sebab alamiah, seperti Zaman Es -- mahluk atau binatang itu berevolusi lagi. Tujuannya semata-mata adalah menyesuaikan diri dengan habitatnya yang baru. Kalau berhasil, mahluk itu akan berkembang menjadi sejenis binatang baru, species baru. Kalau tidak, dia akan punah. Sebagai contoh bagi teori 'keseimbangan yang terputus-putus' itu, ahli ilmu hayat bangsa Amerika itu mengambil dua jenis trilobite -- nenek moyang dari kepiting dan binatang air berkulit keras (crustaceae) yang hidup di zaman ini. Kedua jenis trilobite itu ditemukan di endapan batu-batuan di cekungan yang meliputi negara bagian Ohio, Illinois, Indiana dan Pennsylvania Barat dewasa ini. Antara 480 sampai 470 juta tahun yang silam, daerah itu berkali-kali tergenang laut. Pada waktu itu ada dua jenis kepiting purba yang hidup di situ, yang satu sama lain masih punya hubungan keluarga. Yang satu menghuni bagian laut yang dalam, dan satunya lagi merasa lebih aman berendam di perairan pesisir yang dangkal. Masing-masing jenis kepiting purba itu, telah menyesuaikan diri sepenuhnya dengan habitat kesayangannya. Bagaimana arah evolusi yang dialami kedua jenis kepiting purba itu? Yang hidup di laut dalam, tak mengalami perubahan selama 5 juta tahun. Sementara kepiting purba lainnya yang hidup di pesisir, punah ketika laut surut dan pantai laut purba itu berubah menjadi daratan. Teori 'keseimbangan yang terputus-putus' ini, mungkin tak serta-merta dapat diterapkan pada evolusi kera menuju manusia. Sebab manusia merupakan mahluk hidup yang jauh lebih kompleks dari pada keong atau kepiting, tentunya. Namun menurut Niles Eldredge, teorinya itu lebih dapat menjelaskan adanya 'lubang-lubang' yang menganga dalam perjalanan sejarah evolusi manusia dari kera yang makan waktu 20 juta tahun itu. Kendati demikian, teori Eldredge saja belum cukup untuk menjelaskan mengapa kera, yang suka berglantungan di pohon dan hanya doyan makan buah dan dedaunan, tiba-tiba hinggap di atas tanah. Lalu, ia mulai berjalan tegak, dan lebih banyak menggunakan otaknya yang makin membesar. Juga ia lebih banyak menggunakan tangannya -- berkat ibu jarinya yang tumbuh dan mampu bergerak berlawanan arah dengan keempat jari lainnya. Dan anehnya lagi, jenis hominid yang sudah mampu berjalan tegak di atas dua kaki dan mulai mengembangkan teknologinya secara beruntun muncul di Afrika (Australspithecus), India (Ramapithecus) dan Indonesia (Homo Soloensis) yang jaraknya satu sama lain ribuan kilometer lewat jalan darat dan laut. Apakah inipun semata-mata karena perubahan habitat? Atau retaknya benua purba dan bergesernya anak benua India dan Australia menjauh dari Afrika? Semuanya ini masih merupakan teka-teki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus