PARA dokter spesialis di Singapura sedang menghadapi kecaman
dari masyarakat. Mereka dituduh menjalankan praktek terlalu
bersikap lugas, padahal semua orang tahu belaka bahwa seorang
pasien mendambakan keramahtamahan. Mereka terlalu fragmentaris,
hanya mengarah pada satu penyakit saja tanpa memperdulikan
hubungannya dengan sumber penyakit lain. Lagi pula mereka selalu
berorientasi terhadap penyakit. Asal ada pasien datang mereka
selalu mencapnya menderita sakit inilah sakit itulah. Tak mau
melihat pasien secara utuh dalam kehidupannya. Orang bisa
mengeluh sakit kepala hanya karena sedang menghadapi sesuatu
persoalan yang runyam.
Kritik-kritik stiperti itu tidak hanya terlontar dari orang
kebanyakan. Ia juga jadi bahan kritik yang diketengahkan oleh
Menteri Negara Encik Rahim Ishak. dalam jmuan tahunan yang
diselenggarakan perhimpunan dokter di sana akhir Januari lalu.
"Singapura memerlukan dokter keluarga yang terlatih baik dengan
perhatian dan pengertian yang lebih baik terhadap pasien mereka
untuk menghadapi pelayanan yang semakin spesialistis, lugas,
terlalu berorientasi pada penyakit dan fragmentaris," katanya
dalam pertemuan yang penuh dengan dokter itu.
Sudah bisa diduga para dokter di negara pulau itu akan menampik
tuduhan tadi. Dalam sebuah wawancara dengan The Straits Times,
Prof Wong Poi Kwong, dekan fakultas kedokteran Universitas
Singapura, kontan menjawab: "Dalam tiap profesi ada kambing
hitam. Tapi pada hemat saya para spesialis di sini telah
memberikan pelayanan standar tinggi."
Tetapi Wong tak bisa membantah tuduhan tentang spesialis yang
terlalu berorientasi pada penyakit dan fragmentaris. Sebab
katanya, "memang begitulah sesuatu pelayanan yang bersifat
spesialistis. Tetapi pokoknya pelayanan tadi telah diberikan
dengan baik. Untunglah kita belum sampai pada tingkat seperti
yang terdapat di negars tertentu, di mana pelayanan kesehatan
diberikan dengan cara yang sangat spesialistis."
Tak Berdosa
Perbedaan tarif dari seorang dokter spesialis yang satu dengan
yang lain, juga jadi bahan kritik Encik Rahim. Namun Wong
menganggap kritik mengenai tarif yang berbeda-beda itu sebagai
kurang pada tempatnya dalam masyarakat terbuka seperti
Singapura. Karena perbedaan itu lahir dari hukum penawaran dan
permintaan. "Saya agak ragu-ragu mengenai perlu tidaknya harga
patokan untuk tarif dokter, meskipun penyeragaman tarif itu
menarik," katanya.
Dia beranggapan melaksanakan penyeragaman tarif bisa sulit
karena tidak semua prosedur pelayanan kesehatan memerlukan waktu
yang sama. Keragaman tarif itu, katanya, seperti tak bisa
dielakkan dan muncul karena masyarakat memberikan harga tambahan
untuk tiap prestasi yang dia dapatkan.
"Pemerintah sekalipun melaksanakan keragaman tarif pelayanan.
Ada yang tinggi ada yang rendah. Dalam dunia kedokteran haruslah
dibedakan apakah seorang dokter itu baru lulus atau seorang yang
punya pengalaman panjang," ulas Wong.
Sekalipun demikian beberapa orang dokter Singapura yang
bergabung dalan Perhimpunan Dokter Partikulir beranggapan ada
jenis tarif yang bisa diseragamkan dan nampaknya bisa
dilaksanakan. Seperti tarif konsultasi dan tarif untuk panggilan
lewat telepon. Sebab serpis jenis ini umumnya tidak punya
variasi yang macam-macam.
Para dokter yang mendengarkan kritik Menteri Negara tadi sempat
juga terhenyak di tempat duduk ketika itu. Tapi Prof Wong
menawarkan perasaan tertuduh mereka dengan mengatakan: "Semua
orang perlu uang karena tuntutan tingkat hidup yang meninggi.
Dan kita ingin memenuhi keinginan hidup senang. Mencari uang tak
berdosa asal serpis bagus," katanya.
Lagi pula, menurut Wong, tak semua dokter menjadi pemburu uang
yang bersemangat, ada juga yang sangat kasih kepada pasiennya
dan memberikan korting cukup banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini