SEORANG nyonya mendekati usia 50-an pergi ke sebuah salon
kecantikan di daerah Menteng, Jakarta. Pada kedua pipinya ada
bercak-bercak hitam Pegawai salon kecantikan tersebut kemudian
menganjurkan agar bercak-bercak hitam dihilangkan. "Kami punya
alatnya yang modern," kata si pegawai dengan suara lembut, "dan
pasti muka ibu lebih bersih dan cantik."
Si nyonya setuju dan mempercayakan kedua pipinya untuk diurus
pada salon tersebut. Perawatan selesai dan sang nyonya disodori
kwitansi sebesar Rp 120.000! Jumlah ini adalah hasil kerja
perawatan semua bercak hitam yang ada di muka si nyonya. Tidak
menyangka dia harus mengeluarkan uang sebanyak itu, sang nyonya
protes dan tidak bersedia membayar jumlah tersebut. "Tadi
katanya cuma sedikit yang akan dihilangkan, tau-tau semuanya!"
ujar si nyonya dengan nada sengit. Uang yang ada di tasnya yang
sejumlah Rp 15.000 diberikan semua ke pegawai salon sambil
berkata: "Nih saya cuma punya segini. Saya nggak mau bayar
lebih." Dan nyonya itu kontan keluar dari ruang salon, untuk
kemudian masuk dalam mobil dengan sopir yang sabar menunggu.
Malam harinya, muka sang nyonya merah bengkak. Dia kemudian
terpaksa harus berhubungan dengan seorang dokter ahli kulit.
Pedagang Kelontong
Kasus semacam itu benar-benar terjadi, dan mungkin bisa terjadi
dalam bentuk lain -- akibat sikap seenaknya para petugas salon
kecantikan. Antara lain untuk menghindari itu, 30 dan 31 Januari
lalu Ditjen Pendidikan Luar Seholah & Olah Raga, Departemen P&K
dan Perkumpulan Ahli Dermato Venereologi Indonesia (Padvi)
mengadakan simposium. Themanya: peningkatan mutu pelayanan
masyarakat dalam bidang perawatan kesehatan dan tata kecantikan.
Para dokter yang tergolong dalam Padvi dari Padang,
Ujungpandang, Surabaya, Landung dan Jakarta, hadir dalam
simposium yang baru pertama kalinya diadakan itu. Pihak lain
adalah Lembaga Konsumen, Ditjen POM Departenlen Kesehatan, ahli
farmasi, dan lebih dari 300 orang penata kecantikan yang
sebagian besar terdiri dari wanita-wanita cantik dari berbagai
kota.
Paling utama dibicarakan ialah soal pendidikan penata
kecantikan, yang biasa disebut sebagai "ahli kecantikan".
Direktorat Pendidikan Masyarakat dianjurkan seyogyanya mengatur
secara bersama bagaimana wewenang dan klasifikasi ijazah bagi
mereka yang menempuh endidikan kecantikan ini.
Hingga kini P&K menggolongkan sekolah atau kursus macam ini
sebagai Sekolah Ketrampilan yang bisa menerima murid biar dari
tamatan Sekolah Dasar sekalipun. Kurikulum dan lamanya kursus
tidak bisa dikontrol. Di Jakarta saja ada 161 kursus Tata
Kecantikan dan 141 kursus Tata Rias Rambut untuk periode 1975/
1976.
Mabok Luar Negeri
Persoalannya memang masih serba semrawut. Tak jelasnya standar
pendidikan mengakibatkan salon kecantikan bisa ada yang
memperlakukan langganan dengan gaya dokter ahli. Sehingga
peristiwa seperti yang dialami oleh nyonya dalam kasus di atas
bisa terjadi. Ketidak-tahuan konsumen menyebabkan ia menerima
apa saja yang dilakukan oleh salon. ucap Lembaga Konsumen.
Scmentara itu ada soal lain: masukya barang impor yang tak jelas
gunanya. Ada alat kesehatan impor sebanyak 162 macam
(1977/1978). Di antaranya. kata dr. Sjarif M. Wasitaatmadja,
anggota Padvi Pusat, ahli kulit dari RSUP dr. Cipto Jakarta,
"sepengetahuan kami, tidak pernah dikemukakan dalam kepustakaan
kedokteran." Juga dalam pendidikan sebagai dokter ahli kulit,
"alat-alat tersebut tidak diperagakan atau diajarkan," tambah
Sjarif.
Misalnya, sinar ultra violet yang oleh penjual alat ini
dikatakan bisa menyembuhkan atau memudakan kulit. Dari pihak
kedokteran ternyata alat itu cuna digunakan untuk menentukall
diagnosa berbagai penyakit kulit. Untuk daerah tropis seperti
Indonesia, sinar ultra violet diberikan gratis lewat matahari.
Jika ditambah dengan sinar ultra violet dari salon, malah
akibatnya timbul kerut merut di muka, lebih cepat.
Belum lagi alat listrik yang berbentuk sapu halus yang disapukan
secara otomatis di seputar muka. Katanya itu bisa menipiskan
kulit untuk menghilangkan sel-sel kulit yang mati. Padahal "ini
bisa mengakibatkan berbagai reaksi. Kulit jadi berdarah, timbul
keloid, hiperpigmentasi dan sebagainya," ujar dr. Sjarif.
Konsumen biasanya terpukau karena mabok luar negeri. Atau
terkecoh oleh rayu penata kecantikan. Penggunaan alat-alat
berarus listrik, sama seperti penggunaan alat-alat lain bagi
tubuh manusia: Bisa menimbulkan keuntungan dan kerugian, yang
harus dipikirkan masak-masak sebelum hal ini dilaksanakan.
Segala macam soal yang saling menunjuk ke kesalahan pihak lain
memang terpencar dalam simposium ini. Dan semua pikiran telah
terhimpun. "Berhasil tidaknya apa-apa yang dibicarakan dalam
simposium ini, tergantung dari pengertian semua pihak," kata
nyonya H.I. Roeswoto, yang mengetuai simposium ini dan duduk
sebagai staf Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen P&K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini