Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Hati-Hati Di Salon Kecantikan

Ditjen pendidikan luar sekolah mengadakan simposium "peningkatan mutu pelayanan masyarakat dalam bidang perawatan kesehatan & tata kecantikan" karena kasus kerusakan kulit pada perawatan di salon. (ksh)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG nyonya mendekati usia 50-an pergi ke sebuah salon kecantikan di daerah Menteng, Jakarta. Pada kedua pipinya ada bercak-bercak hitam Pegawai salon kecantikan tersebut kemudian menganjurkan agar bercak-bercak hitam dihilangkan. "Kami punya alatnya yang modern," kata si pegawai dengan suara lembut, "dan pasti muka ibu lebih bersih dan cantik." Si nyonya setuju dan mempercayakan kedua pipinya untuk diurus pada salon tersebut. Perawatan selesai dan sang nyonya disodori kwitansi sebesar Rp 120.000! Jumlah ini adalah hasil kerja perawatan semua bercak hitam yang ada di muka si nyonya. Tidak menyangka dia harus mengeluarkan uang sebanyak itu, sang nyonya protes dan tidak bersedia membayar jumlah tersebut. "Tadi katanya cuma sedikit yang akan dihilangkan, tau-tau semuanya!" ujar si nyonya dengan nada sengit. Uang yang ada di tasnya yang sejumlah Rp 15.000 diberikan semua ke pegawai salon sambil berkata: "Nih saya cuma punya segini. Saya nggak mau bayar lebih." Dan nyonya itu kontan keluar dari ruang salon, untuk kemudian masuk dalam mobil dengan sopir yang sabar menunggu. Malam harinya, muka sang nyonya merah bengkak. Dia kemudian terpaksa harus berhubungan dengan seorang dokter ahli kulit. Pedagang Kelontong Kasus semacam itu benar-benar terjadi, dan mungkin bisa terjadi dalam bentuk lain -- akibat sikap seenaknya para petugas salon kecantikan. Antara lain untuk menghindari itu, 30 dan 31 Januari lalu Ditjen Pendidikan Luar Seholah & Olah Raga, Departemen P&K dan Perkumpulan Ahli Dermato Venereologi Indonesia (Padvi) mengadakan simposium. Themanya: peningkatan mutu pelayanan masyarakat dalam bidang perawatan kesehatan dan tata kecantikan. Para dokter yang tergolong dalam Padvi dari Padang, Ujungpandang, Surabaya, Landung dan Jakarta, hadir dalam simposium yang baru pertama kalinya diadakan itu. Pihak lain adalah Lembaga Konsumen, Ditjen POM Departenlen Kesehatan, ahli farmasi, dan lebih dari 300 orang penata kecantikan yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita cantik dari berbagai kota. Paling utama dibicarakan ialah soal pendidikan penata kecantikan, yang biasa disebut sebagai "ahli kecantikan". Direktorat Pendidikan Masyarakat dianjurkan seyogyanya mengatur secara bersama bagaimana wewenang dan klasifikasi ijazah bagi mereka yang menempuh endidikan kecantikan ini. Hingga kini P&K menggolongkan sekolah atau kursus macam ini sebagai Sekolah Ketrampilan yang bisa menerima murid biar dari tamatan Sekolah Dasar sekalipun. Kurikulum dan lamanya kursus tidak bisa dikontrol. Di Jakarta saja ada 161 kursus Tata Kecantikan dan 141 kursus Tata Rias Rambut untuk periode 1975/ 1976. Mabok Luar Negeri Persoalannya memang masih serba semrawut. Tak jelasnya standar pendidikan mengakibatkan salon kecantikan bisa ada yang memperlakukan langganan dengan gaya dokter ahli. Sehingga peristiwa seperti yang dialami oleh nyonya dalam kasus di atas bisa terjadi. Ketidak-tahuan konsumen menyebabkan ia menerima apa saja yang dilakukan oleh salon. ucap Lembaga Konsumen. Scmentara itu ada soal lain: masukya barang impor yang tak jelas gunanya. Ada alat kesehatan impor sebanyak 162 macam (1977/1978). Di antaranya. kata dr. Sjarif M. Wasitaatmadja, anggota Padvi Pusat, ahli kulit dari RSUP dr. Cipto Jakarta, "sepengetahuan kami, tidak pernah dikemukakan dalam kepustakaan kedokteran." Juga dalam pendidikan sebagai dokter ahli kulit, "alat-alat tersebut tidak diperagakan atau diajarkan," tambah Sjarif. Misalnya, sinar ultra violet yang oleh penjual alat ini dikatakan bisa menyembuhkan atau memudakan kulit. Dari pihak kedokteran ternyata alat itu cuna digunakan untuk menentukall diagnosa berbagai penyakit kulit. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, sinar ultra violet diberikan gratis lewat matahari. Jika ditambah dengan sinar ultra violet dari salon, malah akibatnya timbul kerut merut di muka, lebih cepat. Belum lagi alat listrik yang berbentuk sapu halus yang disapukan secara otomatis di seputar muka. Katanya itu bisa menipiskan kulit untuk menghilangkan sel-sel kulit yang mati. Padahal "ini bisa mengakibatkan berbagai reaksi. Kulit jadi berdarah, timbul keloid, hiperpigmentasi dan sebagainya," ujar dr. Sjarif. Konsumen biasanya terpukau karena mabok luar negeri. Atau terkecoh oleh rayu penata kecantikan. Penggunaan alat-alat berarus listrik, sama seperti penggunaan alat-alat lain bagi tubuh manusia: Bisa menimbulkan keuntungan dan kerugian, yang harus dipikirkan masak-masak sebelum hal ini dilaksanakan. Segala macam soal yang saling menunjuk ke kesalahan pihak lain memang terpencar dalam simposium ini. Dan semua pikiran telah terhimpun. "Berhasil tidaknya apa-apa yang dibicarakan dalam simposium ini, tergantung dari pengertian semua pihak," kata nyonya H.I. Roeswoto, yang mengetuai simposium ini dan duduk sebagai staf Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen P&K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus