KASUS pasien Mulyafri yang meninggal, dan dihubungkan dengan
praktek dr Rachmat Santoso (TEMPO 21 Januari 1978), akhirnya
naik ke pengadilan. Proses hukumnya boleh dikatakan sangat
cepat. 18 hari dr Rachmat mendekam dalam tahanan. Tanggal 14
Januari 1978 dia dibebaskan dan tanggal 24 Januari sidang sudah
dibuka di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadilinya.
Belasan saksi akan diderarkan dalam perkara tersebut, termasuk
orang tua almarhum Mulyafri, Djafri Djons. Dalam kesaksiannya
Djlns yang kelihatan masih dirundung kemalangan, menyangkal
sebagian dari berita acara yang telah dia tandatangani. Di depan
hakim dia membantah keterangan yang dia tandatangani sendiri,
yaitu keterangan yang menyebutkan bahwa dia telah memijit-mijit
Mulyafri. "Ketika menandatangani berita acara itl saya masih
kalut, sehingga meneken begitu saja tanpa membaca baik-baik,"
katanya.
Ada pula keterangan dari saksi a de charge, Etty Yustina.
Perawat yang membantu tertuduh ketika menyuntik Mulyafri.
Berbeda dengan keterangan Djons kepada wartawan, bahwa dia telah
melarang dr Rachmat Santoso untuk menyuntik, Etty dalam
kesaksiannya menerangkan bahwa dokter bertanya kepada Djons,
apakah dia boleh menyuntik anaknya atau tidak. Menurut dia, sang
ayah yang membawa anaknya ketika itu. menjawab: "Boleh."
Hakim Hartomo SH yang memimpin sidang juga menanyakan kepada dr
Rachmat Santoso apakah ia memiliki izin praktek. Tertuduh
menjawab: "Ada." Tctapi ketika hakim meminta izin itu, ia tak
bisa mengunjukkannya karena berada dalam kamar praktek yang
masih disegel.
Eakim menganggap surat izin praktek tersebut perlu dibawa ke
persidangan. Dia mengaakan bahwa barang bukti tak perlu sampai
disegel. Ia minta Jaksa untuk mengambil surat izin tersebut.
Sidang ini nampak menarik. Bukan saja karena dia merupakan
sidang pertama terhadap praktek seorang dokter, tapi juga
menjadi penting karena kesalahan atau ketidak-bersalahan dokter
amat tergantung pada visum. Orang tua almarhum, seorang calon
perwira polisi yang dinas di KOMDAK, dan menurut keterangannya
kepada wartawan TEMPO, pernah melihat isi visum yang menyebutkan
bahwa kematian tersebut disebabkan oleh suntikan penisilin dosis
tinggi.
Kalau memang benar apa yang dikatakan Djons mungkin akan timbul
persoalan apakah sebuah visum bisa secara tegas menyebutkan
tentang sebab kematian. Sebab lazimnya dia hanya merupakan
gambaran fisik dari jenazah dan memberikan dugaan tentang
penyebab kematiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini