MELEWATI rerumputan yang sarat embun, ia melompati parit demi
parit. Sesekali tangannya berpegang pada pelepah kelapa sawit
yang menjuntai di mana-mana, mengatur napas. Di pagi yang dingin
itu tubuhnya mulai berkeringat. Tapi di depannya, di celah-celah
jejeran pohon kelapa sawit, parit-parit masih membentang--dan ia
terus melompat.
Itulah yang dikerjakan Wadri setiap pagi untuk mencapai bagian
kebun kelapa sawit yang harus dipetiknya. Maka pemetik buah
kelapa sawit di Perkebunan Mata Pao (milik Socfindo) di Deli
Serdang (Sum-Ut) itu mempersiapkan peralatannya: sebuah kapak
kecil, arit dan beberapa utas tali plastik. Hari itu dia harus
memetik di bagian kebun tua dengan ketinggian pohon rata-rata 7
meter.
Sesaat lamanya Wadri mengamati pohon kelapa sawit yang hendak
dia petik. Kemudian ia mengitari pohon sambil menengadah ke
atas, meneliti buah-buah yang sudah matang. Tak lama, sebuah
galah panjang dari bambu yang memang sudah tersedia di sekitar
pohon ditancapinya arit. Dengan alat ini Wadri pun menjolok
tandan-tandan buah kelapa sawit.
Sekitar pukul 12.00 Wadri telah merontokkan 85 tandan. Tapi
pekerjaan berikutnya tak kalah berat membersihkan duri-duri
dengan kapak, mengumpulkan buah-buah sawit itu dan memanggulnya
ke tempat pengumpulan berjarak ratusan meter. Dari tempat ini
kemudian buah-buah sawit itu diangkut dengan lori ke pabrik.
Setandan buah sawit ada yang mencapai berat 50 kg. "Waktu muda,
saya mampu sekaligus memanggul 4 sampai 5 tandan besar," tutur
Wadri, 48 tahun. Sekarang dia hanya mampu mengangkat 2 tandan
besar sekaligus.
Merasa Mampu
Laki-laki kelahiran Pemalang, Jawa Tengah itu, memang sejak
berusia 23 tahun sudah berada di bawah pohon kelapa sawit. Pada
mulanya ia memang ngeri setiap hari harus bergelut dengan
tandanan sawit yang penuh duri itu. "Malahan suatu ketika kepala
saya hampir ditimpa setandan sawit besar--untung saja saya cepat
mengelak," ungkap laki-laki tamatan Sekolah Rakyat (SD) itu.
Tapi yang tak mungkin dilupakannya adalah ketika beberapa jari
kakinya hancur ditimpa tandan sawit besar sehingga harus
diopname beberapa minggu di rumah sakit.
Setelah menjadi bapak dari beberapa orang anak, barulah Wadri
mencintai pekerjaannya sebagai pemetik buah kelapa sawit. Dan
sebagai buruh kecil di perkebunan itu, ia kini merasa mampu
menghidupi keluarganya dengan 8 orang anak--dengan gaji Rp
20.000 sebulan, dan 67 kg beras. Ditambah dengan hasil ladang
yang dikerjakan istrinya, Wadri mampu menyekolahkan anak-anaknya
sampai SLA.
Kejadian fatal memang selalu mengintai pemetik kelapa sawit. Itu
dialami Samidi, 18 tahun yang lalu. Tapi akibatnya masih dia
rasakan sampai sekarang: kedua kakinya lumpuh. Waktu itu
Perkebunan Kelapa Sawit Pabatu, di Tebingtinggi, 90 km dari
Medan, masih menggunakan tangga untuk memungut buah sawit. Dan
pada hari naas itu, Samidi, kini 44 tahun, telah memanjat 8
pohon.
Pada pohon kesembilan peristiwa itu terjadi. Begitu Samidi
memasang tangga pada pohon sawit yang tingginya 11 meter, ia
langsung naik sambil menggenggam kapak. Tandan pertama langsung
ia rontokkan. Tapi ketika mengayunkan kapak untuk meruntuhkan
tandan kedua, tangga bergoyang dan langsung terlepas dari
celah-celah pelepah sawit tempatnya tersandar.
Samidi terkapar di bawah. "Kaki saya terasa kebas, tapi tak
sakit," dia bertutur, "dan ketika saya gerakkan, ternyata kedua
kaki saya telah lumpuh." Ia sempat meraung memanggil
teman-temannya yang kemudian membawa dia ke rumah sakit
perkebunan di Tebingtinggi.
Ketika akhirnya dokter di rumah sakit itu menyatakan kelumpuhan
kedua kakinya tak mungkin diobati, Samidi menangis berhari-hari.
"Menurut dokter saraf kedua kaki saya sudah rusak karena
terjatuh itu," kata laki-laki kelahiran Jawa Tengah itu, "dan
itu berarti saya cacat seumur hidup."
Hari-hari ini Samidi masih jadi penghuni rumah sakit itu,
mungkin juga untuk selama-lamanya. Beruntung, bahwa meskipun
masa kerjanya di perkebunan itu belum sampai 2 tahun, ia
langsung dipensiun sejak kelumpuhannya, ditambah pengobatan
gratis dan tinggal di rumah sakit. Setiap bulan ia kini menerima
pensiun Rp 7.500.
Pada tahun-tahun permulaan berbaring di rumah sakit, "sering
saya diganggu pikiran jelek untuk membunuh diri." Tapi lama-lama
rupanya jiwa tenang-dan pasrah. Lebih-lebih bila ia ingat ketiga
anaknya. Dan karena kasihan, setahun setelah lumpuh ia
menceraikan istrinya. "Saya suruh dia mencari suami lain," kata
Samidi. Wanita itu memang kawin lagi. Tapi hanya setahun, kini
ia kembali menjanda. Bahkan seminggu sekali wanita itu membawa
anak-anaknya menengok Samidi di rumah sakit. "Bulan lalu anak
saya yang tertua memberi saya seorang cucu," ungkap laki-laki
itu dengan bangga.
Sekarang Samidi memang telah betah berada di rumah sakit. Untuk
kesibukannya sejak beberapa tahun lalu ia belajar menyulam.
Hari-harinya di rumah sakit kini ia habiskan dengan menyulam,
menerima pesanan para keluarga pasien. "Inilah nasib saya, bekas
pemetik buah sawit," katanya setengah mengeluh. Mungkin karena
peristiwa Samidi, perkebunan-perkebunan kelapa sawit sekarang
tidak lagi menggunakan tangga.
Di perkebunan kepala sawit milik PNP X di Bekri, Lampung Tengah,
Kemis sekeluarga tinggal di sebuah bedeng 6 x 9 meter. Dengan
status buruh harian tetap, laki-laki kelahiran Kroya, Jawa
Tengah itu, setiap hari harus berlomba mengejar target pemetikan
agar mendapat premi. Sebab apabila dari tiap 3 hektar tanaman
kelapa sawit dia mengumpulkan lebih dari 40 tandan setiap hari,
maka dari tiap kelebihan itu dia mendapat premi Rp 25 per
tandan. "Karena itu penghasilan saya setiap bulan rata-rata
mencapai Rp 35.000 di luar beras 48 kg," ungkap Kemis, 30 tahun.
Gaji harian Kemis terhitung hanya Rp 625. "Karena itu untuk
mengejar premi istri saya sering turut memetik juga," tambahnya.
Untuk mencukupkan biaya sekolah ketiga anak mereka, istri Kemis
juga memenuhi halaman belakang bedeng mereka dengan tanaman
sayur, sebagian dijual.
Yang dikhawatirkan Kemis adalah dalam beberapa tahun belakangan
ini buah kelapa sawit di perkebunan itu tak begitu banyak.
Tandan-tandannya juga kecil-kecil. Dengan begitu terkadang dia
sulit mericari tambahan petikan agar mendapat premi. Namun,
menurut Kemis, pendapatan para buruh pemetik tak akan
terpengaruh meskipun akhir-akhir ini Indonesia mulai mengimpor
kelapa sawit dari Malaysia (lihat juga EkBis). "Yang penting,"
tambah pemetik itu, "saya harus bekerja tiap hari." Sebab di PNP
itu satu hari tidak masuk kerja, gaji pemetik dipotong Rp 1.000
dan beras dikurangi 3 kg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini