Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dia menengadah ke pohon sawit

Suka duka pemetik kelapa sawit di perkebunan-perkebunan. risiko kecelakaan siap menanti. bahkan ada yang lumpuh seumur hidup.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELEWATI rerumputan yang sarat embun, ia melompati parit demi parit. Sesekali tangannya berpegang pada pelepah kelapa sawit yang menjuntai di mana-mana, mengatur napas. Di pagi yang dingin itu tubuhnya mulai berkeringat. Tapi di depannya, di celah-celah jejeran pohon kelapa sawit, parit-parit masih membentang--dan ia terus melompat. Itulah yang dikerjakan Wadri setiap pagi untuk mencapai bagian kebun kelapa sawit yang harus dipetiknya. Maka pemetik buah kelapa sawit di Perkebunan Mata Pao (milik Socfindo) di Deli Serdang (Sum-Ut) itu mempersiapkan peralatannya: sebuah kapak kecil, arit dan beberapa utas tali plastik. Hari itu dia harus memetik di bagian kebun tua dengan ketinggian pohon rata-rata 7 meter. Sesaat lamanya Wadri mengamati pohon kelapa sawit yang hendak dia petik. Kemudian ia mengitari pohon sambil menengadah ke atas, meneliti buah-buah yang sudah matang. Tak lama, sebuah galah panjang dari bambu yang memang sudah tersedia di sekitar pohon ditancapinya arit. Dengan alat ini Wadri pun menjolok tandan-tandan buah kelapa sawit. Sekitar pukul 12.00 Wadri telah merontokkan 85 tandan. Tapi pekerjaan berikutnya tak kalah berat membersihkan duri-duri dengan kapak, mengumpulkan buah-buah sawit itu dan memanggulnya ke tempat pengumpulan berjarak ratusan meter. Dari tempat ini kemudian buah-buah sawit itu diangkut dengan lori ke pabrik. Setandan buah sawit ada yang mencapai berat 50 kg. "Waktu muda, saya mampu sekaligus memanggul 4 sampai 5 tandan besar," tutur Wadri, 48 tahun. Sekarang dia hanya mampu mengangkat 2 tandan besar sekaligus. Merasa Mampu Laki-laki kelahiran Pemalang, Jawa Tengah itu, memang sejak berusia 23 tahun sudah berada di bawah pohon kelapa sawit. Pada mulanya ia memang ngeri setiap hari harus bergelut dengan tandanan sawit yang penuh duri itu. "Malahan suatu ketika kepala saya hampir ditimpa setandan sawit besar--untung saja saya cepat mengelak," ungkap laki-laki tamatan Sekolah Rakyat (SD) itu. Tapi yang tak mungkin dilupakannya adalah ketika beberapa jari kakinya hancur ditimpa tandan sawit besar sehingga harus diopname beberapa minggu di rumah sakit. Setelah menjadi bapak dari beberapa orang anak, barulah Wadri mencintai pekerjaannya sebagai pemetik buah kelapa sawit. Dan sebagai buruh kecil di perkebunan itu, ia kini merasa mampu menghidupi keluarganya dengan 8 orang anak--dengan gaji Rp 20.000 sebulan, dan 67 kg beras. Ditambah dengan hasil ladang yang dikerjakan istrinya, Wadri mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai SLA. Kejadian fatal memang selalu mengintai pemetik kelapa sawit. Itu dialami Samidi, 18 tahun yang lalu. Tapi akibatnya masih dia rasakan sampai sekarang: kedua kakinya lumpuh. Waktu itu Perkebunan Kelapa Sawit Pabatu, di Tebingtinggi, 90 km dari Medan, masih menggunakan tangga untuk memungut buah sawit. Dan pada hari naas itu, Samidi, kini 44 tahun, telah memanjat 8 pohon. Pada pohon kesembilan peristiwa itu terjadi. Begitu Samidi memasang tangga pada pohon sawit yang tingginya 11 meter, ia langsung naik sambil menggenggam kapak. Tandan pertama langsung ia rontokkan. Tapi ketika mengayunkan kapak untuk meruntuhkan tandan kedua, tangga bergoyang dan langsung terlepas dari celah-celah pelepah sawit tempatnya tersandar. Samidi terkapar di bawah. "Kaki saya terasa kebas, tapi tak sakit," dia bertutur, "dan ketika saya gerakkan, ternyata kedua kaki saya telah lumpuh." Ia sempat meraung memanggil teman-temannya yang kemudian membawa dia ke rumah sakit perkebunan di Tebingtinggi. Ketika akhirnya dokter di rumah sakit itu menyatakan kelumpuhan kedua kakinya tak mungkin diobati, Samidi menangis berhari-hari. "Menurut dokter saraf kedua kaki saya sudah rusak karena terjatuh itu," kata laki-laki kelahiran Jawa Tengah itu, "dan itu berarti saya cacat seumur hidup." Hari-hari ini Samidi masih jadi penghuni rumah sakit itu, mungkin juga untuk selama-lamanya. Beruntung, bahwa meskipun masa kerjanya di perkebunan itu belum sampai 2 tahun, ia langsung dipensiun sejak kelumpuhannya, ditambah pengobatan gratis dan tinggal di rumah sakit. Setiap bulan ia kini menerima pensiun Rp 7.500. Pada tahun-tahun permulaan berbaring di rumah sakit, "sering saya diganggu pikiran jelek untuk membunuh diri." Tapi lama-lama rupanya jiwa tenang-dan pasrah. Lebih-lebih bila ia ingat ketiga anaknya. Dan karena kasihan, setahun setelah lumpuh ia menceraikan istrinya. "Saya suruh dia mencari suami lain," kata Samidi. Wanita itu memang kawin lagi. Tapi hanya setahun, kini ia kembali menjanda. Bahkan seminggu sekali wanita itu membawa anak-anaknya menengok Samidi di rumah sakit. "Bulan lalu anak saya yang tertua memberi saya seorang cucu," ungkap laki-laki itu dengan bangga. Sekarang Samidi memang telah betah berada di rumah sakit. Untuk kesibukannya sejak beberapa tahun lalu ia belajar menyulam. Hari-harinya di rumah sakit kini ia habiskan dengan menyulam, menerima pesanan para keluarga pasien. "Inilah nasib saya, bekas pemetik buah sawit," katanya setengah mengeluh. Mungkin karena peristiwa Samidi, perkebunan-perkebunan kelapa sawit sekarang tidak lagi menggunakan tangga. Di perkebunan kepala sawit milik PNP X di Bekri, Lampung Tengah, Kemis sekeluarga tinggal di sebuah bedeng 6 x 9 meter. Dengan status buruh harian tetap, laki-laki kelahiran Kroya, Jawa Tengah itu, setiap hari harus berlomba mengejar target pemetikan agar mendapat premi. Sebab apabila dari tiap 3 hektar tanaman kelapa sawit dia mengumpulkan lebih dari 40 tandan setiap hari, maka dari tiap kelebihan itu dia mendapat premi Rp 25 per tandan. "Karena itu penghasilan saya setiap bulan rata-rata mencapai Rp 35.000 di luar beras 48 kg," ungkap Kemis, 30 tahun. Gaji harian Kemis terhitung hanya Rp 625. "Karena itu untuk mengejar premi istri saya sering turut memetik juga," tambahnya. Untuk mencukupkan biaya sekolah ketiga anak mereka, istri Kemis juga memenuhi halaman belakang bedeng mereka dengan tanaman sayur, sebagian dijual. Yang dikhawatirkan Kemis adalah dalam beberapa tahun belakangan ini buah kelapa sawit di perkebunan itu tak begitu banyak. Tandan-tandannya juga kecil-kecil. Dengan begitu terkadang dia sulit mericari tambahan petikan agar mendapat premi. Namun, menurut Kemis, pendapatan para buruh pemetik tak akan terpengaruh meskipun akhir-akhir ini Indonesia mulai mengimpor kelapa sawit dari Malaysia (lihat juga EkBis). "Yang penting," tambah pemetik itu, "saya harus bekerja tiap hari." Sebab di PNP itu satu hari tidak masuk kerja, gaji pemetik dipotong Rp 1.000 dan beras dikurangi 3 kg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus