Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mengapa Sutiman Membunuh Lukman dan Menyajikannya untuk Makanan Babi

Sosok Sutiman yang membunuh majikannya, Law Ek Mong dan mencincang korban untuk makanan babi.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA benci dan muak melihatnya, begitu alasan Sutiman membunuh majikannya, Lay Ek Mong, dan mencincang korban untuk makanan babi. Janji pengusaha peternakan babi itu untuk menaikkan gaji buruhnya, tapi tidak pernah ditepati, membuat Sutiman marah. Bersama A.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiong, adik ipar Law Ek Mong, mereka membunuh Ek Mong tahun 1978 lalu di peternakan babi Tanjung Mulia, Medan. Tetapi kini Sutiman, 23 tahun, anak petani dari Asahan itu dikenal sebagai "orang baik" di LP Medan. Tidak ada tanda-tanda sebagai penjagal manusia dalam gerak-geriknya. Ia ramah dan sopan. Sebab itu pula ia dibiarkan berkeliaran di LP dan bertugas memasak di dapur LP. "Kami tidak khawatir ia akan melarikan diri," ujar Tulus petugas LP Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutiman tidak menyesali perbuatannya dan menerirna hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan hakim. "Hukuman itu pantas, tetapi sekarang saya sedih," katanya. Lain dari Sutiman, Lah Carnala alias Luluk di LP Kalisosok, Surabaya, selalu gugup kalau orang menanyakan kasus pembunuhan yang dilakukannya. "Saya pusing, mas, kalau mengingatnya lagi," ujar Luluk.

Ia nekat membunuh pembantu rumah tangga orang tuanya, ketika korban menuntut pertanggungjawaban Luluk atas hubungan gelap mereka, 8 Juli yang lalu. Untuk menghilangkan jejak dan mudah membuangnya dari Hotel Bali Surabaya, tempat Katiyem dibunuh, Luluk memotong-motong mayat wanita itu. "Kalau saya sadis tentu gunting dan pisau saya siapkan dulu," bantah Luluk atas tuduhan sadis kepadanya.

Semua alat-alat itu dibeli Luluk setelah Katiyem yang berbadan dua meninggal kena pukul tangannya. Seperti juga Luluk, pembunuh Ir. Nurdin Koto, Togas, tidak banyak bi cara di LP Cipinang. Seperti menyesali diri, ia sering mengenakan baju robek "Tetapi ia selalu menyangkal sebagai pembunuh Nurdin Koto," kata Solihin Lamin, Kepala Pembinaan dan Pendi dikan LP Cipinang.

Sehari-harinya Carl Albert Togas 54 tahun, aktif di Masjid LP Cipinang ia memang masuk Islam, persis pada hari Maulid Nabi di LP Cipinang, Januari yang lalu. Semenjak itu ia rajin datang ke masjid untuk beribadat. Togas, menurut penelitian Polri, dilahirkan dalarn keluarga berkecukupan di Ujungpandang. Anak Kepala Dinas Kehutanan Pare-Pare tersebut cukup cerdas dan dimanja keluarganya ia menamatkan SMA di Ujungpandang dan kemudian merantau ke Bandung.

Di kota ini ia bekerja pada bagian administrasi Universitas Kristen Indonesia dan terdaftar sebagai mahasiswa. Di kota ini pula ia menemukan Sukini dan hidup bersama dengan wanita iu sampai dinikahkan Pendeta Sujono di Salatiga, kota asal Sukini, 20 tahun kemudian (1974). Togas sering berpindah-pindah kerja dan banyak menganggur.

Beberapa kali ia terlibat tindak kriminal kecil-kecilan --seperti pencurian, penipuan, bahkan memakai seragam ABRI. Selain itu ke hidupannya banyak tergantung pada belas kasihan kenalan-kenalannya. Ia juga dikenal hidup dengan cara "besar pasak daripada tiang." Sukini, seperti juga Togas, dilahirkan di lingkungan keluarga berada. Ayahnya Kapten KNIL.

Sebab itu pula, Sukini dikenal sebagai orang yang mempunyai cara hidup ke-belanda-belandaan dan suka berpakaian bagus. Kehidupan ini tidak sesuai dengan penghasilan Togas. Akibatnya kedua suami-istri itu sering cekcok. Tetapi kedua suami istri itu selalu berusaha menutupi kekurangan mereka, dengan cara hidup bermewah-mewah. "Togas terlalu idealis dan kurang menyesuaikan diri dengan kenyataan," kesimpulan penelitian Polri.

Dari data-data itu pula Polri menyimpulkan bahwa penjahat itu tidak harus datang dari keluarga yang kekurangan. Para pembunuh Bo'i, yaitu keluarganya sendiri, juga tergolong kelas sedang-sedang saja. Motifnya, seperti yang terungkap pada sidang pengadilan yang tengah berlangsung, memang aneh.

Ayah si korban, Kiki (60 tahun), semula katanya tak merasa membunuh anaknya. Merasa terpengaruh ilmu sirep kemanakannya, Saptari, seakan-akan ketika itu Kiki sedang menggorok seekor babi. Hal itu dikatakannya kemudian, di tempat tahanannya, sambil menahan ir matanya. Didakwa berada dalam pengaruh buto dari Gunung Simpay, beberapa bulan yang lalu Bo'i dianiaya keluarganya, termasuk ayah, ibu dan istrinya sendiri.

Jasadnya dicincang, direbus, lalu dibuang berpencar-pencar. Kejadian di Desa Sukasari di Cianjur (Jawa Barat) tersebut, 18 April lalu, sempat menggegerkan. Yang dituduh sebagai pelaku utama, Saptar (21 tahun), tetap pada pendiriannya. "Saya membunuh karena hanya melaksanakan pesan guru," ujar Saptari kepada TEMPO. Tanpa hendak bercerita lebih lanjut, pemuda bertubuh gempal dan bermata tajam itu menyalahkan pamannya, yang dianggapnya "telah menyelewengkan ajaran guru." Ia lalu menutup mulut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Si Pembunuh dan Korbannya"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus