MENGUNGKAPKAN siapa mayat di Jalan Jenderal Sudirman, ternyata
tidak semudah membuka kasus yang sama yaitu: kasus Nurdin Koto.
Seminggu setelah potongan-potongan mayat ditemukan, polisi sudah
memastikan tubuh itu adalah Nurdin--dan belum sebulan lamanya C.
A. Togas sudah tertangkap sebagai pembunuhnya. Namun sampai saat
ini masih menjadi tandatanya: Benarkah Togas bersalah?
Di pemeriksaan pendahuluan Togas mengakui, melakukan pembunuhan
dan memotong-motong mayat itu karena dendam. Tetapi pengakuan
itu dicabutnya kembali di meja hijau. Menurut Togas, pembunuhnya
adalah Ibrahim dan Mochtar yang disuruh oleh Lukman Hakim,
Kepala Bagian Personalia PT Bogasari, tempat Nurdin bekerja.
Sayangnya polisi tidak begitu tuntas melakukan penyidikan ketika
mayat Ir Nurdin ditemukan. Tempat kejadian flat PT Bogasari yang
dipenuhi percikan darah, tidak diperiksa dengan habis-habisan
oleh polisi. Sidik-sidik jari yang ada di dalam rumah itu tidak
diteliti di laboratorium. Inilah kesalahan utama polisi, menurut
hasil penelitian Dinas Penelitian dan Pengembangan Polri.
Jika saja polisi cepat memeriksa tempat itu dan mengambil semua
sidik jari, dengan gampang tuduhan Togas kepada Ibrahim dan
Mochtar bisa terbuktikan. Tetapi ide untuk memeriksa secara
tuntas itu terlambat setahun lamanya. Baru setelah majelis hakim
menemukan bukti-bukti percikan darah di kasur Ir Nurdin
Koto--ketika pemeriksaan setempat dilakukan--pemeriksaan sidik
jari di sana dilaksanakan--setahun kemudian. Hasilnya mudah
diduga, semua bekas telah lenyap dimakan waktu.
Togas sendiri memang tidak bisa membuktikan tuduhannya. Ibrahim
dan Mochtar sampai saat ini tidak diketahui dan apakah memang
kedua orang ini ada. Lukman Hakim membantah mengenal kedua orang
itu. Ia hanya membenarkan Nurdin diskors menjelang kematiannya
karena tidak disiplin. Majelis hakim, diketuai Bismar Siregar,
mengenyampingkan tuduhan Togas itu, dan menjatuhkan hukuman mati
kepada Togas.
Masih ingat cerita Haryono yang "hilang"? Tahun yang lalu
sesosok mayat dalam karung ditemukan di sebuah kali tepi Jalan
Raya Waru, Surabaya. Mayat itu diduga korban pembunuhan. Sebab
itu pihak RSU Sidoarjo tidak segera menguburnya, tapi
membiarkannya selama lima hari di kamar mayat. Setelah tidak
seorang pun keluarga korban datang, akhirnya Djamal, penjaga
mayat di rumah sakit itu menguburnya.
Tetapi beberapa hari kemudian Djamal diperintahkan membongkar
kembali mayat itu. Satu keluarga datang dari Jakarta dan mengaku
mayat itu kerabatnya. Ketika dibongkar, sudah susah mengenali
muka si mayat. Namun, keluarga itu yakin, mayat itu saudaranya
yang hilang, Haryono. Apalagi setelah mulut mayat dibukakan dan
masih terdapat gigi emas seperti punya Haryono.
Ketika proses persidangan sedang berlangsung ternyata Haryono
yang sebenarnya kembali ke rumah orang-tuanya di Jalan Bangka,
Jakarta. Ia masih hidup, hanya ingatan sedikit terganggu.
Persidangan perkara itu pun bubar. Dan mayat itu, "ternyata saya
sudah salah ambil," kata Djamal, geli mengingat pengalamannya.
Mayat siapakah itu? Tidak seorang pun yang peduli lagi rupanya.
Juga keluarga Haryono yang telah menguburnya kembali. Ia akan
tetap sebagai mayat tidak dikenal dari pembunuh yang tidak
dikenal pula.
Mirip dengan kasus itu, Di Bone, Sulawesi Selatan, diadili para
pembunuh yang menghabisi nyawa seorang gadis bernama Sumiaty.
Berkas yang datang dari Laksusda setempat tidak menyebutkan
dengan terang siapa korban itu. Tetapi dari pemeriksaan sidik
jari oleh polisi, mayat itu bukan Sumiaty, melainkan Hasse.
Hakim tidak mempersoalkan itu, para pembunuh yang mengaku itu
dijatuhi hukuman karena membunuh Sumiaty.
Padahal menurut pejabat polisi Bone, kalau yang mati itu Hasse
motif pembunuhan itu menjadi lain, begitu juga pelaku-pelakunya.
Tetapi misteri itu tetap rahasia, Hasse atau Sumiatykah mayat
itu, tidak pernah dijernihkan.
Masih tahun yang lalu, mayat-mayat tidak dikenal ditemukan pula
di perairan Jakarta. Sesosok tubuh terdampar di antara ilalang
rawa-rawa Semper dalam keadaan menyedihkan: tidak dikenali lagi
dan tubuh itu tinggal seonggok daging yang membubur (TEMPO 15
Maret 1980).
Rabu, 14 Oktober lalu subuh hari, penduduk Jalan Siliwangi 11,
dikagetkan oleh sesosok tubuh tertelungkup dengan tangan terikat
ke belakang di pinggir jalan itu. Setelah diperiksa ternyata
tidak bernyawa lagi. Tubuh korban penuh pasir dan sol sepatunya
aus setebal 1 cm. Pertanda korban diseret dengan mobil, entah
setelah meninggal atau sebelumnya.
Pemeriksaan mayat di LKUI (Lembaga Kriminologi UI) menyimpulkan:
"Pembunuhan itu merupakan pembunuhan yang paling sadis untuk
tahun ini." Sebelum korban meninggal, ia disiksa lebih dulu
dengan 29 kali tusukan senjata tajam. Luka paling banyak di
kepala korban. Diduga: pembunuhnya tidak satu orang dan
melakukan perbuatan itu dengan penuh kebencian terhadap
korbannya.
Korban tidak dikenal itu dipastikan keturunan Maluku, sekitar 30
tahun. Di bagian dadanya ada tulisan tatoo: avonture van Maluku.
Lengannya bertuliskan: Love Story, Di paha tertulis: Mr Gawat.
Tidak ada identitas lain kecuali di sarung kacamata ada tulisan:
Benny 234 SC. Namun tidak seorang pun merasa kehilangan "Mr
Gawat". Begitu juga orang-orang Maluku yang berkunjung ke RSCM,
tidak ada yang mengenal korban.
"Mr Gawat" tidak sendiri. Dari 1.144 kasus pembunuhan tahun
1979, menurut Dispen Polri, hanya 68,79% kasus yang berhasil
diungkpkan. Begitu juga tahun yang lalu, sekitar 35% kasus
pembunuhan yang masih kabur, dari 1.083 kasus yang tercatat.
Persentase- yang hampir sama juga terjadi tahun-tahun
sebelumnya.
Beberapa kasus memang ada yang berhasil diungkapkan siapa
korbannya walau tidak kunjung diketahui siapa pembunuhnya.
Beberapa bulan yang lalu, misalnya, ditemukan mayat di sebuah
rumah kosong di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Mulut korban
diikat dengan saputangan, dan matanya ditutupi plester. Yang
menarik kedua ibu jari korban diikat ke belaka.g dengan tali
rafia. "Ini cara yang istimewa, karena tidak biasa penjahat
mengikat jari," ujar dr. A. Mun'im dari Lembaga Kriminologi yang
memeriksa mayat itu. Kedua tan,,an itu kemudian diikat menjadi
satu dengan kaki korban.
KORBAN yang diperkirakan berusia 50 tahun, dipastikan sebagai
sopir taksi, yang mobilnya disewa untuk merampok Money Changer,
Tri Srikandi, di Jalan Alaydrus, Jakarta Pusat. Namun siapa
pelakunya, sampai sekarang belum terungkap.
Berbagai teknik pembunuhan yang dilakukan juga menambah
kesulitan polisi mengungkapkan kasus demi kasus. Misalnya
seorang pejabat Dinas Pajak Kota Medan tahun lalu meninggal
ditabrak dalam mobilnya. Penabraknya tidak diketahui. Mayat
korban bernama Sutarman itu dikebumikan sebagai korban
kecelakaan.
Tetapi istri korban ternyata tidak puas, lalu melaporkan
kematian itu kepada polisi sebagai pembunuhan. Motifnya, menurut
Ny. Sutarman, ada orang-orang yang sakit hati karena tidak
kebagian manipulasi yang dilakukan almarhum suaminya. Tetapi
siapa orang itu? Tidak berhasil diketahui.
Di kota yang sama tahun ini terjadi pula pembunuhan semacam itu.
Kali ini korbannya bernama Abdul Majid, guru SMA di Medan Ia
ditemukan meninggal ketika pesiar ke Teluk Mengkudu, Deli
Serdang. Polisi Medan menduga kematian itu ada hubungan dengan
perbuatan Majid sebelumnya. Guru ini dikenal suka menggoda
murid-murid wanitanya. Tapi siapa pembunuh Majid? Tetap saja
tandatanya.
Berbagai nama bisa dijejerkan sebagai korban pembunuhan yang
tidak terungkap. Kasus-kasus yang terungkapkan pun banyak -yang
diragukan kembali. Contohnya kasus pembunuhan Drs. Aribowo dan
istrinya di Jakarta. Hasanudin yang dituduh sebagai pelakunya
membantah tuduhan itu. Awan gelap tambah menutupi kasus itu
setelah Hasanudin melarikan diri. Agaknya, para almarhumah yang
tahu persis siapa pembunuh mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini