Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Ketukan di rumah mbah goeno

Mbah goenoredjo, dari kampung kenteng, kel. nogotirto & setyoatmojo dari desa modinan, gamping, yogya terkenal sebagai pembuat blangkon. presiden soeharto, pernah memanggil mbah goeno membuat blangkon.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah malam itu rumah tembok Mbah Goenoredjo di Kampung Kenteng, Yogyakarta, sudah tertutup rapat. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pemilik rumah segera bangkit, dan membuka pintu. Tamunya malam itu agak istirnewa. R. Soewito, Lurah Desa Kemusuk Godean, Yogya, berdiri di hadapannya dengan sikap terburu-buru. Adik Presiden RI ini menyampaikan pesan bahwa Pak Harto ingin dibuatkan blangkon. Mbah Goeno disuruh pergi ke Jakarta. Si mbah gelagapan. "Mimpi menginjak istana saja belum pernah, kok ini . . ." tuturnya kemudian dengan bangga. Mbah Goeno, 67 tahun, terkenal sebagaipembuatblangkon, sejak 45 tahun lalu. Barangkali ia pembuat blangkon tertua yang masih hidup. Maka, di Kenteng, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Sleman, ia lebih beken dengan sebutan Goeno Blangkon. Esok harinya, bulan Oktober lalu Goeno dijemput sebuah mobil. Setelah mampir di Pasar Beringharjo Yogya membeli kain udeng (bahan khusus membuat blangkon) ia langsung dibawa ke Jakarta, "numpak montor mabur (naik pesawat terbang)." Mbah bertubuh kurus tinggi ini kikuk juga ketika harus mengukur kepala Pak Harto, putra-putra Presiden dan beberapa pejabat lain. Ada Seninya Kepala Negara mau mantu, ketika itu. Putra ketiganya, Bambang Triharmojo melakukan akad nikah dengan Halimah Agustina Kamil di Balai Kartini, Jakarta, tanggal 24 Oktober lalu. Empat hari empat malam menjelang pernikahan itu, Mbah Goeno bekerja keras. Hasilnya: 14 buah blangkon, dua di antaranya untuk Pak Harto. Balik ke Yogyakarta ia kembali naik pesawat, sambil mengantungi sejumlah uang, setelan jas dan bahan pakaian untuk istrinya. Kepergiannya itu ada hikmahnya. Pesanan langsung datang mengalir, antara lain dari Camat Gamping dan pencipta tari Bagong Kussudiarjo. Juga dari Purwodadi dan Wonosari pesanan datang bertubi. Mbah Goeno pun lalu semakin kokoh berikrar "akan membuat blangkon sampai mati." Rumah gedungnya -- cukup megah untuk ukuran desa--adalah hasil kegigihannya menekuni blangkon. Empat anaknya sudah kawin, tinggal satu yang masih duduk di bangky SPG. Untuk jasanya membuat blangkon, Goeno tak memasang tarif resmi. Tapi bila blangkon yang dibuatnya dari bahan halus ia mendapat antara Rp 2.000 Rp 2.500. Kalau bahannya kasar, Rp 1.500. Rata-rata ia bisa menyelesaikan dua buah blangkon sehari."Kalau blangkon asal jadi seperti yang dijual di pasar, sehari saya bisa bikin lima," katanya. Kakek dari enam cucu ini paling senang bila mendapat order membuat blangkon Mentaraman, Kagok atau blangkon model Solo. Blangkon yang merupakan perlengkapan pakaian Jawa tradisional di samping surjan, nyamping, keris dan selop, menurut Mbah Blangkon ini, "tak boleh dipakai sembarangan:" Udeng pun, katanya, penting artinya bagi orang Jawa. "Kalau ada yang memakai udeng untuk celana pendek atau taplak meja, saya akan menantang mati-matian," katanya bersemangat. "Menyepelekan udeng, katanya lagi, "sama artinya dengan menginjak-injak bendera Merah Putih." Sayang dia tak menjelaskan persamaan itu secara terperinci. Tapi Goeno merasa prihatin. Sebab kini semakin banyak orang Jawa yang enggan memakai blangkon, "apalagi yang muda-muda." Ia mendapat banyak pesanan, paling-paling kalau musim hajatan atau menjelang Lebaran. Selebihnya sepi. Karena sepinya, pernah Goeno terpaksa membuat blangkon untuk toko barang antik di samping Hotel Ambarukmo. Ini cuma berlangsung setahun (1978), karena ternyata tak laku. Mbah Goeno tak pernah bersekolah. Ia bisa membuat blangkon, hanya dengan melihat orang bekerja. Tapi ia bisa baca-tulis. Tulisan Jawanya, apalagi, cukup rapi. "Banyak mahasiswa belajar menulis Jawa kepada saya," ujarnya bangga. Ia juga dikenal kalangan muda sebagai guru karawitan dan membuat ukiran kayu untuk dekorasi rumah. Menjahit pun dikuasainya. Hanya, kalau menjahit bahan warna gelap "saya tak sanggup lagi." Maklum, meski sudah dibantu kacamata, penglihatannya sudah jauh berkurang. Blangkon, ternyata tak bisa dibuat sembarangan. "Ada seninya," kata Setyoatmojo dari Modinan, Kelurahan Banyuraden, Gamping, Yogyakarta. Pembuat blangkon, kata kakek yang punya enam cucu ini, "harus bisa menyesuaikannya dengan bentuk tubuh si pemakai " Sama-sama blangkon, tapi untuk yang bertubuh tinggi besar berbeda dengan blangkon bagi orang bertubuh tinggi kurus berleher panjang. "Kalau tak tahu seninya, akan kelihatan wagu (janggal)," katanya. Bakal Sirna Setyoatmojo yang kini sering sakit-sakitan, membuat blangkon sejak 1937. Ketika remaja ia sebenarnya berniat masuk Angkatan Laut. Orang tuanya tak setuju. Atmojo lalu jatuh sakit, setahun lamanya. Seorang pamannya jadi prihatin. Ia memberi kesibukan pada Atmojo. Dibelinya klebut (cetakan blangkon) lengkap dengan meja dan lemari. Setahun belajar pada seorang bernama Kawit, Atmojo sudah mahir membuat blangkon sendiri. Hasil kerjanya, menurut dia, bahkan sudah sampai ke luar negeri. Seorang dosen dari Sekolah Tinggi Theoloia Duta Wacana, Yogya, tiga tahun lalu memesan satu perangkat pakaian adat Jawa. Lengkap dengan blangkonnya. Dosen itu membawanya sebagai kenang-kenangan ke negerinya (Belanda) setelah sekian lama bermukim di Pulau Jawa. Atmojo memang menguasai cara pembuatan segala model blangkon. Mulai blangkon model Bali, Madura, Yogya, Solo, Kedu, Semarangan, Priangan sampai Banyumasan. Yang paling banyak dipesan yaitu model Yogya: jenis Pakualaman, Kagok dan Mentaraman yang bagian belakangnya pakai mondolan (bulatan seperti telur). Bila nanti pembuat blangkon yang tua-tua tiada, seni blangkon barangkali bakal sirna. Ini membuat Goeno dan Atmojo susah. Anak-anak mereka pun tak ada yang berminat mewarisi kepandaian kedua orang tua itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus