DI tengah malam itu rumah tembok Mbah Goenoredjo di Kampung
Kenteng, Yogyakarta, sudah tertutup rapat. Tiba-tiba terdengar
ketukan di pintu. Pemilik rumah segera bangkit, dan membuka
pintu. Tamunya malam itu agak istirnewa. R. Soewito, Lurah Desa
Kemusuk Godean, Yogya, berdiri di hadapannya dengan sikap
terburu-buru.
Adik Presiden RI ini menyampaikan pesan bahwa Pak Harto ingin
dibuatkan blangkon. Mbah Goeno disuruh pergi ke Jakarta. Si mbah
gelagapan. "Mimpi menginjak istana saja belum pernah, kok ini .
. ." tuturnya kemudian dengan bangga.
Mbah Goeno, 67 tahun, terkenal sebagaipembuatblangkon, sejak 45
tahun lalu. Barangkali ia pembuat blangkon tertua yang masih
hidup. Maka, di Kenteng, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping,
Sleman, ia lebih beken dengan sebutan Goeno Blangkon.
Esok harinya, bulan Oktober lalu Goeno dijemput sebuah mobil.
Setelah mampir di Pasar Beringharjo Yogya membeli kain udeng
(bahan khusus membuat blangkon) ia langsung dibawa ke Jakarta,
"numpak montor mabur (naik pesawat terbang)." Mbah bertubuh
kurus tinggi ini kikuk juga ketika harus mengukur kepala Pak
Harto, putra-putra Presiden dan beberapa pejabat lain.
Ada Seninya
Kepala Negara mau mantu, ketika itu. Putra ketiganya, Bambang
Triharmojo melakukan akad nikah dengan Halimah Agustina Kamil di
Balai Kartini, Jakarta, tanggal 24 Oktober lalu.
Empat hari empat malam menjelang pernikahan itu, Mbah Goeno
bekerja keras. Hasilnya: 14 buah blangkon, dua di antaranya
untuk Pak Harto. Balik ke Yogyakarta ia kembali naik pesawat,
sambil mengantungi sejumlah uang, setelan jas dan bahan pakaian
untuk istrinya.
Kepergiannya itu ada hikmahnya. Pesanan langsung datang
mengalir, antara lain dari Camat Gamping dan pencipta tari
Bagong Kussudiarjo. Juga dari Purwodadi dan Wonosari pesanan
datang bertubi. Mbah Goeno pun lalu semakin kokoh berikrar "akan
membuat blangkon sampai mati."
Rumah gedungnya -- cukup megah untuk ukuran desa--adalah hasil
kegigihannya menekuni blangkon. Empat anaknya sudah kawin,
tinggal satu yang masih duduk di bangky SPG.
Untuk jasanya membuat blangkon, Goeno tak memasang tarif resmi.
Tapi bila blangkon yang dibuatnya dari bahan halus ia mendapat
antara Rp 2.000 Rp 2.500. Kalau bahannya kasar, Rp 1.500.
Rata-rata ia bisa menyelesaikan dua buah blangkon sehari."Kalau
blangkon asal jadi seperti yang dijual di pasar, sehari saya
bisa bikin lima," katanya. Kakek dari enam cucu ini paling
senang bila mendapat order membuat blangkon Mentaraman, Kagok
atau blangkon model Solo.
Blangkon yang merupakan perlengkapan pakaian Jawa tradisional di
samping surjan, nyamping, keris dan selop, menurut Mbah Blangkon
ini, "tak boleh dipakai sembarangan:" Udeng pun, katanya,
penting artinya bagi orang Jawa. "Kalau ada yang memakai udeng
untuk celana pendek atau taplak meja, saya akan menantang
mati-matian," katanya bersemangat. "Menyepelekan udeng, katanya
lagi, "sama artinya dengan menginjak-injak bendera Merah Putih."
Sayang dia tak menjelaskan persamaan itu secara terperinci.
Tapi Goeno merasa prihatin. Sebab kini semakin banyak orang Jawa
yang enggan memakai blangkon, "apalagi yang muda-muda." Ia
mendapat banyak pesanan, paling-paling kalau musim hajatan atau
menjelang Lebaran. Selebihnya sepi. Karena sepinya, pernah Goeno
terpaksa membuat blangkon untuk toko barang antik di samping
Hotel Ambarukmo. Ini cuma berlangsung setahun (1978), karena
ternyata tak laku.
Mbah Goeno tak pernah bersekolah. Ia bisa membuat blangkon,
hanya dengan melihat orang bekerja. Tapi ia bisa baca-tulis.
Tulisan Jawanya, apalagi, cukup rapi. "Banyak mahasiswa belajar
menulis Jawa kepada saya," ujarnya bangga. Ia juga dikenal
kalangan muda sebagai guru karawitan dan membuat ukiran kayu
untuk dekorasi rumah. Menjahit pun dikuasainya. Hanya, kalau
menjahit bahan warna gelap "saya tak sanggup lagi." Maklum,
meski sudah dibantu kacamata, penglihatannya sudah jauh
berkurang.
Blangkon, ternyata tak bisa dibuat sembarangan. "Ada seninya,"
kata Setyoatmojo dari Modinan, Kelurahan Banyuraden, Gamping,
Yogyakarta. Pembuat blangkon, kata kakek yang punya enam cucu
ini, "harus bisa menyesuaikannya dengan bentuk tubuh si pemakai
" Sama-sama blangkon, tapi untuk yang bertubuh tinggi besar
berbeda dengan blangkon bagi orang bertubuh tinggi kurus
berleher panjang. "Kalau tak tahu seninya, akan kelihatan wagu
(janggal)," katanya.
Bakal Sirna
Setyoatmojo yang kini sering sakit-sakitan, membuat blangkon
sejak 1937. Ketika remaja ia sebenarnya berniat masuk Angkatan
Laut. Orang tuanya tak setuju. Atmojo lalu jatuh sakit, setahun
lamanya. Seorang pamannya jadi prihatin. Ia memberi kesibukan
pada Atmojo. Dibelinya klebut (cetakan blangkon) lengkap dengan
meja dan lemari. Setahun belajar pada seorang bernama Kawit,
Atmojo sudah mahir membuat blangkon sendiri.
Hasil kerjanya, menurut dia, bahkan sudah sampai ke luar negeri.
Seorang dosen dari Sekolah Tinggi Theoloia Duta Wacana, Yogya,
tiga tahun lalu memesan satu perangkat pakaian adat Jawa.
Lengkap dengan blangkonnya. Dosen itu membawanya sebagai
kenang-kenangan ke negerinya (Belanda) setelah sekian lama
bermukim di Pulau Jawa.
Atmojo memang menguasai cara pembuatan segala model blangkon.
Mulai blangkon model Bali, Madura, Yogya, Solo, Kedu,
Semarangan, Priangan sampai Banyumasan.
Yang paling banyak dipesan yaitu model Yogya: jenis Pakualaman,
Kagok dan Mentaraman yang bagian belakangnya pakai mondolan
(bulatan seperti telur).
Bila nanti pembuat blangkon yang tua-tua tiada, seni blangkon
barangkali bakal sirna. Ini membuat Goeno dan Atmojo susah.
Anak-anak mereka pun tak ada yang berminat mewarisi kepandaian
kedua orang tua itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini