Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mendigitalkan Aksara, Menjaga Bahasa

Pengarsipan aksara tradisional ke dalam bentuk digital menjadi cara lain untuk mempopulerkan kembali huruf kuno yang mulai dilupakan.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pegiat aksara Nusantara dan pengelola blog writingtradition.blogapot.com, Ridwan Maulana, bersama karya bukunya. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ridwan Maulana menggali dan mendigitalkan aksara daerah.

  • Upaya melestarikan aksara sekaligus bahasa.

  • Fon aksara daerah bisa diunduh gratis.

Mendigitalkan Aksara, Menjaga Bahasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

----------------

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu ikhtiar menjaga eksistensi bahasa daerah di Tanah Air adalah memelihara keberadaan aksara tradisional khas Nusantara. Pengarsipan aksara tradisional ke dalam bentuk digital menjadi cara lain untuk mempopulerkan kembali huruf kuno yang mulai dilupakan.

------------------

Berawal dari hobi membuat tulisan memakai aksara Sunda sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Ridwan Maulana kini punya obsesi mengoleksi aksara-aksara yang ada di Nusantara. Selain mahir menulis dengan aksara Sunda, pemuda berusia 22 tahun asal Bekasi, Jawa Barat, ini pun sudah bisa menulis menggunakan sejumlah aksara tradisional: surat Batak, aksara Kerinci, surat Ulu Rejang, had Lampung, aksara Jawa, aksara Bali, Lontara, dan aksara Bima.

“Mulanya saya belajar menulis aksara Sunda karena saya kan ada latar belakang orang Sunda,” kata Ridwan kepada Tempo, Kamis lalu. Selepas sekolah dan mulai berkuliah, rasa penasaran Ridwan terhadap aksara Nusantara terus berkembang. Ditambah dia aktif berkontribusi di Aksaradinusantara.com, situs berisi beragam fon aksara Nusantara yang dibuat oleh para pegiat aksara dari seluruh Indonesia.

Ridwan pun gemar melakukan riset aneka huruf kuno dari berbagai literatur. Ia merasa prihatin karena banyak aksara Nusantara yang tak lagi digunakan. “Sebetulnya pegiat aksara di Indonesia ada banyak. Tapi saya melihat mereka bekerja masing-masing dan bersifat kedaerahan saja alias berfokus di aksara asal daerah mereka sendiri.” Kebanyakan pun, dia menambahkan, berasal dari daerah yang memang aksaranya masih cukup populer, seperti Jawa dan Bali. Sementara itu, ada sejumlah aksara daerah yang sama sekali tak diperhatikan, seperti aksara Kerinci dari Jambi.

Gara-gara itu, Ridwan tergerak untuk mengumpulkan aneka aksara dari berbagai daerah dan melakukan pengarsipan secara digital. Cara yang dilakukan mahasiswa tingkat akhir jurusan pendidikan bahasa Inggris Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung itu adalah mengkonversi berbagai aksara tradisional menjadi bentuk fon digital. Tujuannya, kata Ridwan, agar aksara-aksara ini bisa kembali hidup karena digunakan.

“Fon-fon itu nantinya bisa dipakai di aplikasi penulisan atau aplikasi penyuntingan grafis, foto, dan video pada ponsel maupun komputer,” ujarnya. Hal ini dimungkinkan karena Ridwan menggunakan sistem Unicode yang umum digunakan dalam sistem digitalisasi aksara dari seluruh dunia. Agar bisa terbaca di perangkat digital, Ridwan “menumpangkan” berbagai karakter aksara tradisional ke dalam kode huruf Latin. “Mayoritas aksara tradisional kita belum terdaftar di Unicode. Jadi, kalau dikonversi langsung dalam bentuk fon, belum bisa ditampilkan secara universal.”

Proyek digitalisasi yang pertama kali ia kerjakan adalah aksara Bima. Materinya ia dapatkan dari Syukri Abubakar, peneliti kebudayaan asal Bima. “Saya dapatnya dalam bentuk gambar, lalu di­-tracing menggunakan aplikasi pembuat fon,” ia menuturkan. Proses mengkonversi aksara dari naskah atau gambar menjadi fon digital, menurut Ridwan, sebetulnya cukup mudah. “Hal yang membuat sulit adalah proses riset dan pencarian literaturnya.”

Selain mendapat sumber dari orang-orang yang masih menggunakan aksara tradisional, Ridwan biasa mengaduk-aduk isi Internet untuk menemukan jurnal penelitian yang kebanyakan dilakukan orang asing. “Dari dalam negeri malah susah.”

Tangkapan layar konten Instagram Writing Tradition Project. Instagram/@writing.tradition.id

Sambil mengumpulkan aneka aksara tradisional, Ridwan melakukan pemetaan asal daerahnya dan membuat silsilah turunannya. Ia mengkategorikan aksara berdasarkan asal mula: turunan Pallawa yang masih digunakan atau non-Pallawa yang tinggalan naskahnya masih banyak dan hidup. Lalu ada aksara turunan Pallawa yang sudah tak lagi digunakan dan hanya ada di naskah kuno.

Ada pula aksara tradisional buatan yang tak diketahui pembuatnya dan tujuan penggunaannya. Lalu aksara yang bukan berasal dari kebudayaan Pallawa, tapi diadopsi dari luar. Juga aksara yang sama sekali tidak diketahui asal-usulnya dan tinggalan kunonya sangat sedikit.

Hasil risetnya itu dipublikasikan dalam blog Writingtradition.blogspot.com. Di sana Ridwan menyediakan tautan untuk mengunduh aksara-aksara yang sudah ia konversi menjadi fon digital. Sejauh ini sudah ada 36 fon aksara tradisional yang dibuat oleh Ridwan dan bisa diunduh gratis. Hasil riset Ridwan yang lebih lengkap dijadikan buku Aksara-aksara di Nusantara setebal 220 halaman, yang ia terbitkan secara mandiri. “Jual bukunya pakai sistem pre-order,” kata dia.

Setahun terakhir, Ridwan mulai merambah Instagram untuk memperkenalkan karyanya lewat akun @writing.tradition.id. Di akun ini, ia lebih banyak mengunggah konten edukasi tentang aksara-aksara tradisional dalam bentuk grafis yang mudah dipahami. Ia juga kerap membuat unggahan kutipan kata bijak bertuliskan aksara tradisional, lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sesekali ia mempromosikan produk seperti kaus dan buku catatan dengan desain menggunakan tulisan aksara tradisional.

Media sosial dipilih, kata Ridwan, karena saat ini penggunaannya semakin masif, terutama di kalangan anak muda. “Saya ingin anak muda kenal aksara tradisional yang ada di Nusantara.” Upaya ini cukup berhasil karena jumlah pengunduh fon aksara tradisional itu terus bertambah. “Paling banyak diunduh aksara Bima. Padahal aksara ini sempat dinyatakan punah karena sudah tidak digunakan.”

Ridwan menjalankan proyek ambisiusnya ini tanpa sokongan dari mana pun alias murni atas keinginan sendiri. Dia bercita-cita nantinya dapat merangsang gerakan literasi memakai aksara tradisional di berbagai daerah. “Kebanyakan bahasa daerah itu kan tradisinya lisan, bukan tulisan,” ujarnya. Ikhtiar pencatatan dan pengarsipan aksara secara digital ini, Ridwan mengimbuhkan, bisa menjadi jalan untuk menjaga keberadaan bahasa daerah. “Aksara bisa digunakan untuk menjaga bahasa agar tetap hidup.”

Adapun bagi orang yang berminat mempelajari menulis menggunakan aksara tradisional, Ridwan menyatakan bahwa tingkat kesulitannya tak terlalu tinggi. “Aksara daerah itu biasanya berumpun-rumpun, misalnya di daerah Sumatera Utara ada empat aksara Batak. Nah, biasanya karakternya mirip-mirip.” Jadi, dengan menghafal satu jenis aksara saja, seseorang bisa dengan mudah beradaptasi dengan aksara dalam rumpun yang sama.*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus