Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAMBU-RAMBU untuk mencegah munculnya dokter-dokter palsu berpraktek secara gelap, memang sudah dipasang sejak lama. Tapi pertengahan pekan lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bogor, masih merasa perlu memancangkan tanda pengaman baru. Yaitu lewat anjuran agar setiap dokter yang berpraktek di wilayah itu menempelkan tanda izin praktek atau salinan ijazah kedokterannya di ruang praktek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jauh sebelumnya, pihak Depkes memang telah menetapkan peraturan tentang izin praktek seorang dokter. Antara lain, harus ada ijazah dokter, salinan SK penugasan dan penempatan kerja dokter yang bersangkutan. Pengajuan izin diajukan melalui Suku Dinas Kesehatan untuk selanjutnya diteruskan ke Kanwil Depkes setempat. Dan agar lebih aman lagi, sejak 1981, pengajuan izin praktek harus disertai rekomendasi IDI yang meliputi wilayah tempat praktek si dokter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anjuran IDI Bogor bukan tak ada alasan. Seminggu sebelum anjuran itu dikeluarkan, seseorang yang mengaku bergelar dokter, Hendro (bukan nama sebenarnya) ditangkap polisi Bogor dengan tuduhan melakukan pengobatan umum sebagai laiknya seorang dokter, tetapi tanpa izin. Polisi bersama pengurus IDI Bogor menggerebek Hendro pada saat belasan pasien "dokter" itu sedang menunggu giliran pemeriksaan di tempat prakteknya di Desa Sindang Barang, Bogor.
Setelah memasuki ruang praktek, para petugas meminta agar Hendro menunjukkan surat izin praktek dan identitas dokternya. Ternyata ia tidak bisa memenuhi. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia kedokteran yang diajukan dr. J.M. Sugiarta, Humas IDI Bogor, tak bisa dijawabnya. "Istilah dalam pengobatan yang lazim pun dia tak tahu," kata Sugiarta.
Kejanggalan di ruang praktek juga terlihat. Letak bantal di ranjang pasien yang biasanya di sebelah kiri, pada ruang praktek itu berada di sebelah kanan. Kecurigaan-kecurigaan itulah yang menyebabkan Hendro, 40 tahun, mendekam di Kores 822 Bogor. Ketika diperiksa di kantor polisi, dalam kantung celananya ditemukan benda-benda seperti jimat: ujung tanduk menjangan, taring babi hutan, batu akik tiga buah, tulisan Arab dan kain putih berupa ikat pinggang.
Hendro yang mengaku dokter itu, sejak berpraktek pada 1976 telah empat kali pindah tempat. Ia pun tak pernah memasang papan nama. Tapi rupanya praktek itu tak lepas dari pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Bogor. Bersama IDI cabang Bogor, DKK pernah memanggil Hendro pada 1979. Tapi panggilan itu tak digubrisnya. Tapi suatu saat seorang pasiennya, O. Somantri, mengadu ke DKK, karena anaknya, Rakhmat, 6 tahun, meninggal setelah disuntik Hendro 25 kali selama 25 hari.
Sebelumnya Rakhmat diopname di RSU Bogor selama 6 hari: Karena Somantri terpengaruh ucapan tetangganya yang mengatakan Hendro dokter cespleng, maka dibawalah anaknya ke dokter ini. Dengan pengaduan ini, Hendro dipanggil kembali. Sekali lagi ia tak muncul. Menurut istrinya, Hendro selalu sibuk di bagian riset bedah RS Ciptomangunkusumo, Jakarta. Setelah dicek di RSCM, ternyata hal itu tak benar.
Kecurigaan makin bertambah. Sekali lagi Hendro diundang pada pertemuan ilmiah IDI Bogor. Ia tak juga datang. Maka diputuskan: orang yang mengaku dokter itu harus ditangkap. Sayang penangkapan agak lamban, karena, kata dr. Wahyu, pejabat Kepala DKK Bogor, "Kami ingin mengumpulkan bukti yang lebih lengkap."
Hendro mengaku ia melakukan praktek liar hanya untuk mencari uang. Sampai saat ditangkap, katanya, ia dapat membeli rumah, tanah, dua mobil dan sebuah vespa. "Saya tak bermaksud mencelakakan orang, tapi ingin menolong karena banyak yang datang minta diobati," kata bapak empat orang anak itu. Mula-mula Hendro mengaku pernah kuliah di FK UI tingkat IV. Pengakuan ini kemudian diralatnya. "Saya hanya ikut-ikutan kuliah saja," kata lelaki yang berbadan gempal itu.
Pengetahuannya tentang pengobatan, katanya, banyak didapat dari belajar di poliklinik umum UI, di samping sering menghadiri seminar dan pertemuan ilmiah -- meski cuma sebagai pendengar. Sedang pengetahuan obat-obatan didapat dari brosur obat detailman yang datang pada dia. Agaknya karena itulah penulisan resep Hendro tak sesuai dengan aturan. "Banyak kejanggalannya," kata dr. J.M. Sugiarta.
Korban yang meninggal di tangan Hendro, bukan hanya Rakhmat. Seorang dalang dari Jawa Barat, R. Entah Lirayana, juga meninggal setahun lalu. Mulanya Entah kena serangan jantung, dan Hendro memberikan suntikan. Tapi empat jam kemudian Entah meninggal. Tapi karena anak Entah, R. Etty Kurniati yang juga sakit jantung, sembuh berkat Hendro, keluarga dalang itu tak menuntut.
Ruchyati, penduduk Sindang Barang yang kena penyakit kulit, juga sembuh berkat Hendro. Padahal sebelumnya tiga dokter terdahulu tak mampu mengobati penyakitnya. "Biarlah dia dokter palsu, yang penting penyakit saya sembuh," ujar Ruchyati kemudian.
Korban lainnya dari praktek Hendro adalah Apotek Naga Farma di Bogor yang banyak menerima resepnya. Meskipun begitu, kata Drs. Andi Rustandi si pemilik, antara apoteknya dengan Hendro tak ada hubungan apa-apa. "Kami hanya melayani resep dari dokter sesuai dengan isi resepnya," katanya.
Bersamaan hari dengan penggerebekan Hendro, di Jakarta, Bakri (nama samaran), 40 tahun, juga ditahan Kosek 7042, Jakarta Selatan. Ia juga dituduh memiliki ijazah kedokteran palsu dan praktek dokter tanpa izin. Bakri menyulap lembar ijazah rusak yang ia dapat dari percetakan UI dengan menempelkan fotonya, lalu difotokopi. Padahal, ia hanya jebolan FK Universitas Nusantara (yang telah ditutup oleh P&K) sampai tingkat IV, dan pernah menjadi detailman.
Bakri, ayah empat anak ini, sejak 1978 membuka praktek di Jalan Bukit Duri 29. Ia juga aktif memberikan pelayanan kesehatan di Yayasan At-Thahiriyah dan kepada calon jamaah haji. Sejak ia berpraktek memang belum ada pengaduan dari pihak yang mungkin dirugikan. Kasus ini terbongkar karena pihak Kanwil Depkes DKI mendapat informasi tentang ketakbenaran ijazah dokter yang dimiliki Bakri.
Dr. Koesprapto pimpinan tim perizinan dokter praktek Kanwil Depkes DKI, mengadakan ceking. Hasilnya, nama Bakri memang tak tercantum sebagai dokter yang ada dalam perizinan praktek. Di Jakarta mekanisme pengontrolan agar tak timbul kasus serupa selama ini memang sudah dilakukan lewat Puskesmas dan Suku Dinas Kesehatan setempat. Tapi juga diharapkan laporan dari masyarakat bila ada hal-hal yang meragukan.
Di Jakarta ada empat ribu dokter, sehingga agaknya pengontrolan secara ketat cukup sulit. Dr. Ayup Sani Ibrahim, llumas IDI Pusat, memandang kasus Hendro dan Bakri sebagai kasus kriminal. Jadi bukan wewenang IDI. "Itu bukan berarti IDI tidak melakukan kontrol terhadap dokter palsu," katanya. Pengamatan selalu dilakukan oleh Sesama dokter kata Ayup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo