Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dunia taluk, pantai kusamba

Pantai kusamba di kab. klungkung & karangasem. penduduknya menjadi petani garam dengan menjemur air asin di bedengan dari belahan batang pohon kelapa yang di sewanya. hasilnya dibagi dengan pemilik bedeng. (sd)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG gadis kecil melawan lapar di pantai Kusamba. Inilah profil lain dari Pulau Bali yang sering tidak dilihat. Taluk, 11 tahun, bermata bulat cekung, bibirnya putih pucat, badannya kerempeng sementara tangannya dengan gemetar ditadahkan: "Tiang lapar, tiang belum makan!" Sejumlah anak-anak lain segera ikut menadahkan tangan mereka seperti tari kecak. Kusamba terletak di batas Kabupaten Klungkung dan Karangasem. Perahu-perahu di Kusamba terkenal karena memiliki moncong seperti ikan dengan warna-warni yang amat menggirangkan pelukis. Tak jauh dari sana ada Gua Lawa, gua yang dihuni kelelawar dan termasuk dalam peta para turis. Tapi Kampung Belatung, tanah pijak Taluk dan saudara-saudaranya, tandus dan gersang. Dari sana terlihat Pulau Nusa Penida samar-samar di kejauhan. Pemandangan indah--tapi tak bisa dimakan. Kaktus Berduri Untuk mempertahankan hidup, pasir pantai sudah digarap. Hamparan sepanjang 6 kilometer digunakan untuk lokasi membuat garam. Puluhan bedeng tempat penyaringan dibangun. Sari air asin itu dyemur di belahan batang pohon kelapa, supaya mengkristal jadi garam. Taluk, seperti yang lain-lain, kemudian menyauk kristal itu dari tempat penjemuran (lihat gambar). Bila matahari bagus, setiap bedeng akan menghasilkan antara 10 sampai 25 Kg garam kristal. Warnanya putih sekali, konon mutunya lebih bagus dari garam tambak. Tapi kalau sudah musim hujan seperti sekarang, semuanya terasa sia-sia. Garam Kusamba tiap sore dipikul dijual di pasar Klungkung. Hasilnya tidak sepenuhnya masuk kocek petani garam, tentu. Harus dibagi dengan pemilik bedeng, pemilik- belahan alat penjemur. Mereka sendiri bernafkah Rp 25 sampai Rp 100 sehari. Tak heran kalau anak-anak mereka, masih di bawah umur, sudah keluar kampung minta belas kasihan. Entah kenapa turis jarang sekali menjamah Gua Lawa. Taluk pun sudah sering naik ke gunung untuk mengumpulkan kayu bakar. Tapi bukit-bukit itu sudah mati, tak ada lagi tumbuh pepohonan. Lereng-lerengnya menjadi liar, cocok tanam mustahil. Ladang tak sanggup menghidupi ubi atau kacang-kacangan. Yang ada hanya kaktus berduri, dan wanita-wanita miskin yang toh masih sempat menyiapkan sesajen untuk para dewa (lihat gambar). "Taluk lapar, Taluk belum makan!" katanya kepada yang lewat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus